Amerika sejak dulu memang doyannya perang, apa pun coba
diperangi. Jadinya bila ada perang global atau konflik lokal, selalu ada Amrik
di belakangnya. Tapi kali ini agak beda, di bawah kendali pemerintah Donald
Trump, USA memberikan perang khas dirinya: perang dagang. Kedengarannya tak
seru tapi ini bikin banyak negara di dunia jadi ketar-ketir termasuk RI.
Perang dagang dimulai dan banyak negara yang ketar-ketir. Amerika yang digdaya serasa jadi sapi perah atas ekonomi dunia. Kini ibarat menuntut balik atas apa yang selama ini mereka "pinjamkan": dominasi sistem, kekuatan dolar, dan kontrol atas teknologi global.
Lewat perang dagang, Donald Trump ingin mengatur ulang
panggung ekonomi dunia. Tarif impor dinaikkan, kerja sama ditinjau ulang, dan
negara-negara yang selama ini bergantung pada sistem buatan Barat mulai
dihujani tekanan. Amerika tak lagi sekadar jualan barang, tapi juga menjual
aturan main. Siapa yang tak patuh, siap-siap disingkirkan dari sistem.
Indonesia, tentu, ikut terkena dampaknya. Mulai dari
tekanan soal ekspor baja, karet, hingga sorotan pada sistem pembayaran digital
dalam negeri seperti GPN dan QRIS. Buat AS, langkah Indonesia mengembangkan
sistem mandiri dianggap sebagai ancaman bukan hanya ekonomi, tapi juga
geopolitik.
Tapi Indonesia tidak tinggal diam saja. Di tengah tekanan
global, justru muncul tekad untuk bangkit dan berdiri di kaki sendiri:
membangun arsitektur ekonomi digital yang lebih mandiri dan berdaulat.
Kehadiran QRIS sangat membantu. Modal tap tap saja sudah bisa bayar di mana pun
tanpa harus bawa duit.
Sejarah Hadirnya GPN dan QRIS: Jejak Digital Kedaulatan
Pembayaran Indonesia
Dunia sedang berubah dengan cepat termasuk urusan
pembayaran. Dulu sih proses pembayaran semuanya harus cash dan pilihan secara
digital sangatlah sedikit. Namun kini sistem sudah berubah dan jadi lebih
cepat.
Tak perlu lagi bawa dompet yang menggunung tingginya,
bikin pantat jadi pegal saat dudukan. Sekarang dompet tipis saja atau bahkan
lupa bawa ngga masalah. Yang penting bawa hape saja, tinggal tap tap saja buat
proses pembayaran.
Pemerintah punya ide cepat, inovasi besar itu lahir saat
ide GPN (Gerbang Pembayaran Nasional) dan QRIS (Quick Response
Code Indonesian Standard) hadir. Sulit namun dengan cepat bisa mengubah
proses pembayaran jadi lebih cepat.
Saat Semangat GPN dikobarkan
Sebelum GPN hadir, sistem pembayaran di Indonesia bisa
dibilang ruwet. Setiap bank punya mesin EDC sendiri, dan transaksi antar bank
menggunakan kartu debit seringkali harus melalui jaringan asing seperti Visa
atau Mastercard.
Hasilnya? Biaya tinggi, efisiensi rendah, dan yang paling
krusial: data transaksi masyarakat Indonesia dikirim ke luar negeri. Pakai Visa
atau MasterCard biaya transaksi bisa sampai 3% dan itu memberatkan. Akhirnya
masyarakat lebih mending tetap menggunakan pembayaran cash.
Bank Indonesia sadar akan masalah ini. Maka pada 21 Juni
2017, melalui Peraturan BI No. 19/8/PBI/2017, Indonesia resmi meluncurkan
Gerbang Pembayaran Nasional (GPN). Tujuannya sederhana biar semua pembayaran
lokal terkoneksi satu sama lain. Apalagi saat itu pembayaran digital cukup
banyak dan mulai tumbuh satu per satu.
Hadirnya GPN membuat setiap pembayaran digital ada
standarnya. Itu sudah dipersiapkan oleh Bank Indonesia agar nantinya sistem
pembayaran nasional yang efisien, murah, dan berkedaulatan penuh. Sebenarnya
GPN cukup terbantu dan berkembang pesat saat adanya pandemi. Membuat uang cash
dianggap membantu penyebaran virus. Pembayaran dengan QR code jadi role model
baru hingga kini
QRIS hadir buat Menyatukan Beragam Code
Setelah GPN sukses mengatur transaksi berbasis kartu,
Indonesia tak berhenti di sana. Masuk ke era mobile payment, masyarakat justru
dihadapkan pada masalah baru: terlalu banyak QR Code!. Nah tiap dompet digital punya kode sendiri. Merchant
harus pasang 4–5 QR berbeda hanya untuk melayani semua aplikasi. Ribet? Banget.
Melihat kekacauan ini, Bank Indonesia bersama ASPI
(Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia) meluncurkan QRIS pada 17 Agustus 2019 sebagai
standarisasi QR Code nasional. Hadirnya QRIS memungkinkan satu kode QR saja
digunakan untuk menerima pembayaran dari semua aplikasi.
Kalian punya OVO, Gopay, Dana, LinkAja, maupun aplikasi
bank seperti BCA Mobile atau BRImo. Semua mengakomodir konsep QRIS artinya ada
dalam satu pembayaran yang sudah dicetuskan oleh Bank Indonesia.
Nah.. saat kalian belanja di sejumlah mercant dan UMKM
yang sudah punya QRIS, cukup dengan pakai aplikasi QRIS. Serta semua data
tersimpan di dalam negeri tanpa harus melalui perantara negara lain. Konsep ini
mampu membantu banyak UMKM dalam proses transaksi.
GPN hadir buat menyatukan beragam bank lokal sedangkan
QRIS hadir buat menyatukan QR Code beragam aplikasi pembayaran. Hidup jauh
lebih simpel, biaya transaksi lebih murah, dan data transaksi kita tetap di
dalam negeri.
Keuntungan Saat QRIS Lahir: Bayar Jadi Gampang, Ekonomi
Makin Berdaulat
Ketika QRIS hadir pertama kali di 17 Agustus 2019, banyak
orang belum sadar bahwa ini bukan sekadar soal “scan buat bayar”. Di balik satu
kode QR yang sekarang kita lihat di warung kopi sampai gerobak pentol,
tersembunyi banyak keuntungan besar baik untuk konsumen, pedagang, bahkan
negara.
Biaya transaksinya juga super murah, bahkan gratis untuk
jenis transaksi tertentu seperti pendidikan, bansos, dan donasi. Ini membuat
banyak pedagang kecil berani mencoba teknologi baru dan tak harus pegang uang
cash atau bahkan menukar uang yang kadang sulitnya minta ampun. Tinggal
tempelkan hape di QRIS Code pedagang.
Nah.. QRIS bikin pembayaran digital berjalan lebih cepat
dan efisien. Kamu nggak perlu lagi cari uang kembalian, nunggu mesin EDC konek,
atau isi ulang kartu. Transaksi langsung tercatat, otomatis masuk ke sistem,
dan bisa dipantau lewat aplikasi. Baik penjual maupun pembeli jadi lebih
nyaman.
Ada satu hal dari QRIS yang spesial, yaitu akan mempercepat
visi Indonesia menuju less cash society atau masyarakat tanpa uang
tunai. Ini sejalan dengan Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) yang digagas Bank
Indonesia. Semakin banyak orang terbiasa pakai QRIS, semakin efisien
perekonomian kita. Penggunaan uang kertas berkurang, transaksi makin rapi, dan
transparansi meningkat.
Ada juga ide yang cukup menarik dari negara ASEAN yaitu
menghadirkan konsep ASEAN Pay dan QRIS bisa terhubung dengan sejumlah dompet
digital negara tetangga. Tak perlu lagi harus menukarkan uang dan memperkuat
ekonomi ASEAN dari dominasi barat.
QRIS Bukan Sekedar Menguntungkan Indonesia tapi ASEAN
QRIS sekarang nggak cuma buat dalam negeri. Turis
Thailand bisa bayar makan di Bali pakai dompet digital negaranya. Sebaliknya,
kita bisa ngopi di Kuala Lumpur cukup scan QRIS juga. Indonesia, Malaysia,
Thailand, Singapura, dan Filipina lagi ngebut bangun koneksi lintas negara
lewat sistem pembayaran QR ini.
Embrionya? ASEAN Pay langkah pertama membangun kekuatan
ekonomi digital regional, bebas dari dominasi jaringan global kayak
Visa-Mastercard. Visi besarnya adalah ASEAN Pay, sebuah jaringan regional yang
memungkinkan masyarakat Asia Tenggara bertransaksi lintas negara tanpa perlu
dolar AS, tanpa perlu Visa atau Mastercard.
Jelas ini membuat Visa dan Mastercard gusar, apalagi itu
produk andalan USA dalam transaksi global. Kalau negara-negara lain kayak
India, Brasil, ASEAN juga bikin sistem pembayaran sendiri, dominasi Visa dan
Mastercard bakal makin terkikis. Belum lagi, layanan kayak Google Pay, Apple
Pay, PayPal, Amazon Pay juga bergantung pada jaringan mereka. Sekali pondasi
goyah, runtuhlah semuanya.
QR Code Langkah Awal QRIS Hadir
Siapa sangka, teknologi kecil berbentuk kotak hitam-putih
yang sekarang sering kita scan di warung kopi, minimarket, sampai tempat parkir
ini, ternyata punya sejarah panjang yang dimulai dari pabrik mobil di Jepang.
QR Code pertama kali ditemukan pada tahun 1994 oleh perusahaan Denso Wave, anak
usaha dari grup otomotif raksasa, Toyota.
Penciptanya adalah Masahiro Hara, seorang insinyur yang
ingin mengatasi masalah efisiensi dalam pelacakan komponen mobil. Pada masa
itu, industri otomotif Jepang masih mengandalkan barcode biasa yang bentuknya
hanya garis-garis.
Masalahnya, barcode hanya bisa menyimpan sedikit data,
harus dipindai dari sudut tertentu, dan makin panjang garisnya kalau datanya
makin banyak. Masahiro dan timnya kemudian merancang QR Code sebuah sistem dua
dimensi yang bisa menyimpan ribuan karakter, dibaca dari berbagai arah, dan
tetap bisa dipindai meskipun sedikit rusak atau kotor.
Inovasi ini awalnya untuk kebutuhan internal industri,
tapi seiring waktu, teknologi ini berkembang dan diadopsi luas oleh banyak
sektor, termasuk pembayaran digital. Uniknya meskipun hanya garis dan kode
unik, namun tidak pernah ada kesalahan kode. Karena itu semua punya kode unik
dari setiap produk dan proses pembayaran.
Di Indonesia sendiri, QR Code menjadi semakin populer
seiring dengan pesatnya perkembangan dompet digital seperti OVO, GoPay, DANA,
dan LinkAja. Namun, penggunaan QR Code yang berbeda-beda untuk tiap aplikasi
sempat membuat sistem pembayaran digital jadi tidak praktis. Pedagang harus
memiliki lebih dari satu kode QR agar bisa menerima pembayaran dari berbagai
platform.
Melihat kondisi ini, Bank Indonesia bersama ASPI pada
tahun 2019 meluncurkan QRIS sebagai solusi untuk menyatukan semua sistem
pembayaran berbasis QR ke dalam satu standar nasional. Dengan QRIS, pengguna
bisa memakai aplikasi apa pun baik itu dari bank atau dompet digital dan cukup
memindai satu QR saja.
Merchant juga diuntungkan karena tak perlu lagi repot
menyediakan banyak QR berbeda. Secara teknis, QRIS menggunakan standar
internasional EMVCo yang sudah disesuaikan dengan kebutuhan dalam negeri.
Selain praktis, QRIS juga memiliki sistem keamanan yang canggih dengan dukungan
enkripsi dan kontrol dari BI.
Kehadiran QRIS bukan hanya mempermudah transaksi, tetapi
juga menjadi langkah besar menuju kemandirian ekonomi digital nasional. QRIS
memungkinkan UMKM, pedagang kaki lima, hingga perusahaan besar untuk terlibat
dalam ekosistem digital tanpa harus mengeluarkan biaya besar untuk mesin EDC
atau infrastruktur lainnya. Lebih jauh lagi, QRIS kini juga mulai merambah ke
transaksi lintas negara.
Saat ini, QRIS sudah bisa digunakan di Thailand dan
Malaysia, dan akan segera terkoneksi dengan negara-negara ASEAN lainnya melalui
inisiatif ASEAN Cross-Border Payment. Ini menunjukkan bahwa QRIS tak hanya
penting bagi dalam negeri, tapi juga menjadi bagian dari strategi regional
untuk integrasi keuangan digital. Menariknya, meskipun QRIS adalah produk
buatan Indonesia, ia merupakan hasil pengembangan dari teknologi global yang
dimodifikasi dan disesuaikan demi kepentingan nasional.
QRIS adalah contoh nyata bagaimana Indonesia bisa
memanfaatkan inovasi global seperti QR Code dari Jepang, lalu mengolahnya
menjadi solusi lokal yang revolusioner. Dengan QRIS, transaksi digital menjadi
lebih mudah, inklusif, murah, dan aman.
Setiap kali kita memindai QRIS, kita tak hanya sedang
membayar kita juga ikut berkontribusi dalam mendorong transformasi ekonomi
digital bangsa. Dari pabrik mobil di Jepang sampai warung kaki lima di
Nusantara, siapa sangka kotak kecil itu membawa cerita besar tentang inovasi,
kolaborasi, dan kedaulatan digital.
Jalur Menuju ASEAN Pay
Buat yang belum tahu, jalan menuju ASEAN Pay sudah ada. Itu
dibuktikan seperti QRIS sudah bisa digunakan di Thailand dan Malaysia. Lalu
juga turis Thailand bisa bayar di Bali pakai PromptPay. Kini Indonesia sedang
mencoba memperluas konektivitas ke Filipina dan Singapura. Semuanya dengan adanya
kesepakatan ASEAN Central Bank QR Connectivity Initiative.
Tak heran nantinya akan ada sistem cross-border real-time
payment. Artinya, bukan cuma QR, tapi juga bisa transfer uang antarnegara dalam
hitungan detik. Jelas ini menguntungkan ekonomi ASEAN yang selama ini dianggap
kalah dengan Asian Timur dan bahkan Uni Eropa. ASEAN Pay adalah wujudnya.
Namun itu semua hadir dengan segudang tantangan biar bisa
terwujud. Pertama sekali tentu saja melakukan standarisasi teknologi. Ini
karena tidak semua negara ASEAN punya sistem yang sama bagusnya. Menyatukan
protokol teknis, keamanan, dan enkripsi QR bukan hal gampang.
Tapi untungnya, BI dan negara ASEAN lainnya sudah
menyepakati standar QR Code internasional EMVCo, jadi ini tinggal soal waktu.
Asalkan sudah terkoneksi, penerapan bisa diterapkan dalam beberapa tahun ke
depan.
Ini juga dalam penerapan satu regulasi saja, karena
alasannya di setiap negara punya aturan berbeda soal pajak, perlindungan
konsumen, dan keamanan data. Integrasi lintas batas berarti harus ada
kesepakatan hukum yang kuat. Biar tak ada satu negara ASEAN yang diuntungkan
karena regulasi di negaranya sesuai tapi tidak di negara lainnya.
Penerapan yang tak kalah penting tentu saja akses
teknologi. Ada banyak negara ASEAN yang belum familiar dengan pembayaran
digital. Di sini peran masing-masing pemerintah memberikan literasi serta
memperkuat akses teknologi digital. Biar para wisatawan bisa datang dan
membayar dengan mudah di negara tujuannya.
Terakhir tentu saja mengatur kurs dan volatilitas mata
uang. Ini bertujuan ada saat QR digunakan pada lintas negara. Nilai suatu
barang yang dibeli nantinya akan secara langsung terkonversi sesuai kurs
berjalan. Ini butuh sistem konversi real-time yang andal dan adil. Jadi sistem
Money Charger bisa berkurang karena menukarkan uang kadang bikin repot buat dibawa.
Lalu Muncul Pertanyaan, Apakah ASEAN Pay Bisa Terwujud?
Sangat bisa. Bahkan sudah mulai. Seperti membangun jalan
tol antarnegara, memang butuh waktu. Tapi jalurnya sudah terbentuk. Dukungan
dari bank sentral kuat, teknologinya makin matang, dan yang paling penting: kebutuhannya
nyata.
Di tengah dunia yang makin digital, masyarakat ASEAN
butuh sistem pembayaran yang mudah, terhubung, dan tidak tergantung pada dolar
AS atau sistem global yang tidak inklusif. ASEAN Pay bukan sekadar proyek
teknologi. Ini adalah simbol bahwa Asia Tenggara bisa bersatu lewat ekonomi
digital. Dan Indonesia, lewat QRIS, berada di barisan depan gerakan ini.
QRIS dan ASEAN Pay, Bikin USA dan Trump Kebakaran Jenggot
Bayangin kamu punya warung, lalu tetangga kamu yang
biasanya nebeng ambil untung dari setiap transaksi di warung itu tiba-tiba gak
dapet bagian lagi.
Kira-kira gimana ekspresinya? Nah, itulah kira-kira
perasaan Amerika (terutama era Donald Trump) ketika Indonesia memperkenalkan
QRIS. Meskipun gak pernah secara gamblang Trump ngomong, “Saya benci QRIS!”,
tapi kalau lihat dari gaya kepemimpinan dan cara pandang ekonominya, ya... bisa
jadi QRIS termasuk daftar hal yang bikin beliau garuk-garuk kepala.
Lho kok bisa? Gini, QRIS itu kan dibuat supaya kita gak
tergantung lagi sama sistem pembayaran global kayak Visa dan Mastercard yang
notabene perusahaan raksasa asal Amerika. Biasanya, setiap kita gesek kartu,
Amerika ngumpulin fee sampai 3% plus data transaksi kita.
Tapi dengan QRIS, jalur itu diputus. Fee jadi lebih
murah, datanya aman di dalam negeri, dan yang paling penting: gak ada cuan buat
si Paman Sam. Nah, dari sudut pandang “America First”-nya Trump, ini jelas
masuk kategori: Tidak menguntungkan Amerika? Coret!
Trump juga terkenal anti-globalisasi kalau globalisasi
itu gak bikin Amerika untung, ya ditinggal. Mulai dari perang dagang sama
China, keluar dari perjanjian internasional, sampai nyuruh TikTok pindah tangan
ke perusahaan Amerika. Intinya, semua yang bikin negara lain lebih mandiri
dalam ekonomi digital selalu dianggap sebagai ancaman dominasi AS.
Termasuk langkah-langkah kayak QRIS atau ASEAN Pay, yang
bisa bikin negara-negara Asia makin kompak dan gak lagi pakai dolar buat
transaksi lintas negara. Di mata Trump, itu kayak sekumpulan bocah yang bikin
klub rahasia tanpa ngajak dia.
Dan jangan lupa: di era digital, data itu kayak minyak
baru. Amerika bisa kaya bukan cuma dari dolar, tapi dari data orang-orang di
seluruh dunia lewat sistem keuangan dan platform digitalnya. Nah, QRIS menutup
keran itu. Semua transaksi yang biasanya bisa diintip lewat jaringan luar,
sekarang disimpan di sistem lokal.
Jadi tak heran kalau AS agak manyun. QRIS bukan cuma soal
bayar pakai QR code, tapi simbol bahwa kita bisa berdiri di atas kaki sendiri
dalam dunia digital yang selama ini dikuasai raksasa-raksasa luar negeri. QRIS
dan ASEAN Pay wujud kemandirian dan tentu saja membuat negara ASEAN leluasa
atas pembayarannya masing-masing.
Satu hal yang saya rasa penting, pembayaran asing seperti
Visa dan Mastercard tidak bisa menyentuh hingga ke akar rumput. Mereka yang dulunya
pakai Visa dan Mastercard tentunya datang dari kalangan menengah ke atas. Ini
jelas menyulitkan untuk masyarakat kecil dan usaha level kecil.
Saat QRIS hadir, ia bisa menjangkau ke level bawah,
membuat saldo yang cuman 20K saja bisa membayar kopi elit meskipun setelahnya
dompet digitalnya kosong. Sedangkan Visa dan Mastercard kalian harus punya
saldo besar dan tentu saja pembayarannya rumit.
Kini pembayaran digital menjadi sangat mudah, rasanya
ketinggalan Hape lebih menakutkan dari ketinggalan dompet. Jadi selamat datang
atas kehadiran QRIS yang jadi wujud kedaulatan digital RI. Sebuah berita baik
buat negeri karena selama ini berita baik jadi sangat langka kita dengar.
Semoga tulisan saya ini menginspirasi kita semua, Akhir kata, have a nice
days.
0 komentar:
Post a Comment