Saturday, May 3, 2025

QRIS, Kedaulatan Digital yang Bikin US Tak Dapat Cuan

Amerika sejak dulu memang doyannya perang, apa pun coba diperangi. Jadinya bila ada perang global atau konflik lokal, selalu ada Amrik di belakangnya. Tapi kali ini agak beda, di bawah kendali pemerintah Donald Trump, USA memberikan perang khas dirinya: perang dagang. Kedengarannya tak seru tapi ini bikin banyak negara di dunia jadi ketar-ketir termasuk RI.

 

Perang dagang dimulai dan banyak negara yang ketar-ketir. Amerika yang digdaya serasa jadi sapi perah atas ekonomi dunia. Kini ibarat menuntut balik atas apa yang selama ini mereka "pinjamkan": dominasi sistem, kekuatan dolar, dan kontrol atas teknologi global.

 

Lewat perang dagang, Donald Trump ingin mengatur ulang panggung ekonomi dunia. Tarif impor dinaikkan, kerja sama ditinjau ulang, dan negara-negara yang selama ini bergantung pada sistem buatan Barat mulai dihujani tekanan. Amerika tak lagi sekadar jualan barang, tapi juga menjual aturan main. Siapa yang tak patuh, siap-siap disingkirkan dari sistem.

 

Indonesia, tentu, ikut terkena dampaknya. Mulai dari tekanan soal ekspor baja, karet, hingga sorotan pada sistem pembayaran digital dalam negeri seperti GPN dan QRIS. Buat AS, langkah Indonesia mengembangkan sistem mandiri dianggap sebagai ancaman bukan hanya ekonomi, tapi juga geopolitik.

 

Tapi Indonesia tidak tinggal diam saja. Di tengah tekanan global, justru muncul tekad untuk bangkit dan berdiri di kaki sendiri: membangun arsitektur ekonomi digital yang lebih mandiri dan berdaulat. Kehadiran QRIS sangat membantu. Modal tap tap saja sudah bisa bayar di mana pun tanpa harus bawa duit.

 

Sejarah Hadirnya GPN dan QRIS: Jejak Digital Kedaulatan Pembayaran Indonesia

Dunia sedang berubah dengan cepat termasuk urusan pembayaran. Dulu sih proses pembayaran semuanya harus cash dan pilihan secara digital sangatlah sedikit. Namun kini sistem sudah berubah dan jadi lebih cepat.

Tak perlu lagi bawa dompet yang menggunung tingginya, bikin pantat jadi pegal saat dudukan. Sekarang dompet tipis saja atau bahkan lupa bawa ngga masalah. Yang penting bawa hape saja, tinggal tap tap saja buat proses pembayaran.

 

Pemerintah punya ide cepat, inovasi besar itu lahir saat ide GPN (Gerbang Pembayaran Nasional) dan QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) hadir. Sulit namun dengan cepat bisa mengubah proses pembayaran jadi lebih cepat.

 

Saat Semangat GPN dikobarkan

Sebelum GPN hadir, sistem pembayaran di Indonesia bisa dibilang ruwet. Setiap bank punya mesin EDC sendiri, dan transaksi antar bank menggunakan kartu debit seringkali harus melalui jaringan asing seperti Visa atau Mastercard.

 

Hasilnya? Biaya tinggi, efisiensi rendah, dan yang paling krusial: data transaksi masyarakat Indonesia dikirim ke luar negeri. Pakai Visa atau MasterCard biaya transaksi bisa sampai 3% dan itu memberatkan. Akhirnya masyarakat lebih mending tetap menggunakan pembayaran cash.

 

Bank Indonesia sadar akan masalah ini. Maka pada 21 Juni 2017, melalui Peraturan BI No. 19/8/PBI/2017, Indonesia resmi meluncurkan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN). Tujuannya sederhana biar semua pembayaran lokal terkoneksi satu sama lain. Apalagi saat itu pembayaran digital cukup banyak dan mulai tumbuh satu per satu.

 

Hadirnya GPN membuat setiap pembayaran digital ada standarnya. Itu sudah dipersiapkan oleh Bank Indonesia agar nantinya sistem pembayaran nasional yang efisien, murah, dan berkedaulatan penuh. Sebenarnya GPN cukup terbantu dan berkembang pesat saat adanya pandemi. Membuat uang cash dianggap membantu penyebaran virus. Pembayaran dengan QR code jadi role model baru hingga kini

 

QRIS hadir buat Menyatukan Beragam Code

Setelah GPN sukses mengatur transaksi berbasis kartu, Indonesia tak berhenti di sana. Masuk ke era mobile payment, masyarakat justru dihadapkan pada masalah baru: terlalu banyak QR Code!. Nah tiap  dompet digital punya kode sendiri. Merchant harus pasang 4–5 QR berbeda hanya untuk melayani semua aplikasi. Ribet? Banget.

 

Melihat kekacauan ini, Bank Indonesia bersama ASPI (Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia) meluncurkan QRIS pada 17 Agustus 2019 sebagai standarisasi QR Code nasional. Hadirnya QRIS memungkinkan satu kode QR saja digunakan untuk menerima pembayaran dari semua aplikasi.

 

Kalian punya OVO, Gopay, Dana, LinkAja, maupun aplikasi bank seperti BCA Mobile atau BRImo. Semua mengakomodir konsep QRIS artinya ada dalam satu pembayaran yang sudah dicetuskan oleh Bank Indonesia.

 

Nah.. saat kalian belanja di sejumlah mercant dan UMKM yang sudah punya QRIS, cukup dengan pakai aplikasi QRIS. Serta semua data tersimpan di dalam negeri tanpa harus melalui perantara negara lain. Konsep ini mampu membantu banyak UMKM dalam proses transaksi.

 

GPN hadir buat menyatukan beragam bank lokal sedangkan QRIS hadir buat menyatukan QR Code beragam aplikasi pembayaran. Hidup jauh lebih simpel, biaya transaksi lebih murah, dan data transaksi kita tetap di dalam negeri.

 

Keuntungan Saat QRIS Lahir: Bayar Jadi Gampang, Ekonomi Makin Berdaulat

Ketika QRIS hadir pertama kali di 17 Agustus 2019, banyak orang belum sadar bahwa ini bukan sekadar soal “scan buat bayar”. Di balik satu kode QR yang sekarang kita lihat di warung kopi sampai gerobak pentol, tersembunyi banyak keuntungan besar baik untuk konsumen, pedagang, bahkan negara.

 

Biaya transaksinya juga super murah, bahkan gratis untuk jenis transaksi tertentu seperti pendidikan, bansos, dan donasi. Ini membuat banyak pedagang kecil berani mencoba teknologi baru dan tak harus pegang uang cash atau bahkan menukar uang yang kadang sulitnya minta ampun. Tinggal tempelkan hape di QRIS Code pedagang.

 

Nah.. QRIS bikin pembayaran digital berjalan lebih cepat dan efisien. Kamu nggak perlu lagi cari uang kembalian, nunggu mesin EDC konek, atau isi ulang kartu. Transaksi langsung tercatat, otomatis masuk ke sistem, dan bisa dipantau lewat aplikasi. Baik penjual maupun pembeli jadi lebih nyaman.

 

Ada satu hal dari QRIS yang spesial, yaitu akan mempercepat visi Indonesia menuju less cash society atau masyarakat tanpa uang tunai. Ini sejalan dengan Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) yang digagas Bank Indonesia. Semakin banyak orang terbiasa pakai QRIS, semakin efisien perekonomian kita. Penggunaan uang kertas berkurang, transaksi makin rapi, dan transparansi meningkat.

 

Ada juga ide yang cukup menarik dari negara ASEAN yaitu menghadirkan konsep ASEAN Pay dan QRIS bisa terhubung dengan sejumlah dompet digital negara tetangga. Tak perlu lagi harus menukarkan uang dan memperkuat ekonomi ASEAN dari dominasi barat.

 

QRIS Bukan Sekedar Menguntungkan Indonesia tapi ASEAN

QRIS sekarang nggak cuma buat dalam negeri. Turis Thailand bisa bayar makan di Bali pakai dompet digital negaranya. Sebaliknya, kita bisa ngopi di Kuala Lumpur cukup scan QRIS juga. Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura, dan Filipina lagi ngebut bangun koneksi lintas negara lewat sistem pembayaran QR ini.

 

Embrionya? ASEAN Pay langkah pertama membangun kekuatan ekonomi digital regional, bebas dari dominasi jaringan global kayak Visa-Mastercard. Visi besarnya adalah ASEAN Pay, sebuah jaringan regional yang memungkinkan masyarakat Asia Tenggara bertransaksi lintas negara tanpa perlu dolar AS, tanpa perlu Visa atau Mastercard.

 

Jelas ini membuat Visa dan Mastercard gusar, apalagi itu produk andalan USA dalam transaksi global. Kalau negara-negara lain kayak India, Brasil, ASEAN juga bikin sistem pembayaran sendiri, dominasi Visa dan Mastercard bakal makin terkikis. Belum lagi, layanan kayak Google Pay, Apple Pay, PayPal, Amazon Pay juga bergantung pada jaringan mereka. Sekali pondasi goyah, runtuhlah semuanya.

 

QR Code Langkah Awal QRIS Hadir

Siapa sangka, teknologi kecil berbentuk kotak hitam-putih yang sekarang sering kita scan di warung kopi, minimarket, sampai tempat parkir ini, ternyata punya sejarah panjang yang dimulai dari pabrik mobil di Jepang. QR Code pertama kali ditemukan pada tahun 1994 oleh perusahaan Denso Wave, anak usaha dari grup otomotif raksasa, Toyota.

 

Penciptanya adalah Masahiro Hara, seorang insinyur yang ingin mengatasi masalah efisiensi dalam pelacakan komponen mobil. Pada masa itu, industri otomotif Jepang masih mengandalkan barcode biasa yang bentuknya hanya garis-garis.

 

Masalahnya, barcode hanya bisa menyimpan sedikit data, harus dipindai dari sudut tertentu, dan makin panjang garisnya kalau datanya makin banyak. Masahiro dan timnya kemudian merancang QR Code sebuah sistem dua dimensi yang bisa menyimpan ribuan karakter, dibaca dari berbagai arah, dan tetap bisa dipindai meskipun sedikit rusak atau kotor.

 

Inovasi ini awalnya untuk kebutuhan internal industri, tapi seiring waktu, teknologi ini berkembang dan diadopsi luas oleh banyak sektor, termasuk pembayaran digital. Uniknya meskipun hanya garis dan kode unik, namun tidak pernah ada kesalahan kode. Karena itu semua punya kode unik dari setiap produk dan proses pembayaran.

 

Di Indonesia sendiri, QR Code menjadi semakin populer seiring dengan pesatnya perkembangan dompet digital seperti OVO, GoPay, DANA, dan LinkAja. Namun, penggunaan QR Code yang berbeda-beda untuk tiap aplikasi sempat membuat sistem pembayaran digital jadi tidak praktis. Pedagang harus memiliki lebih dari satu kode QR agar bisa menerima pembayaran dari berbagai platform.

Melihat kondisi ini, Bank Indonesia bersama ASPI pada tahun 2019 meluncurkan QRIS sebagai solusi untuk menyatukan semua sistem pembayaran berbasis QR ke dalam satu standar nasional. Dengan QRIS, pengguna bisa memakai aplikasi apa pun baik itu dari bank atau dompet digital dan cukup memindai satu QR saja.

 

Merchant juga diuntungkan karena tak perlu lagi repot menyediakan banyak QR berbeda. Secara teknis, QRIS menggunakan standar internasional EMVCo yang sudah disesuaikan dengan kebutuhan dalam negeri. Selain praktis, QRIS juga memiliki sistem keamanan yang canggih dengan dukungan enkripsi dan kontrol dari BI.

 

Kehadiran QRIS bukan hanya mempermudah transaksi, tetapi juga menjadi langkah besar menuju kemandirian ekonomi digital nasional. QRIS memungkinkan UMKM, pedagang kaki lima, hingga perusahaan besar untuk terlibat dalam ekosistem digital tanpa harus mengeluarkan biaya besar untuk mesin EDC atau infrastruktur lainnya. Lebih jauh lagi, QRIS kini juga mulai merambah ke transaksi lintas negara.

 

Saat ini, QRIS sudah bisa digunakan di Thailand dan Malaysia, dan akan segera terkoneksi dengan negara-negara ASEAN lainnya melalui inisiatif ASEAN Cross-Border Payment. Ini menunjukkan bahwa QRIS tak hanya penting bagi dalam negeri, tapi juga menjadi bagian dari strategi regional untuk integrasi keuangan digital. Menariknya, meskipun QRIS adalah produk buatan Indonesia, ia merupakan hasil pengembangan dari teknologi global yang dimodifikasi dan disesuaikan demi kepentingan nasional.

 

QRIS adalah contoh nyata bagaimana Indonesia bisa memanfaatkan inovasi global seperti QR Code dari Jepang, lalu mengolahnya menjadi solusi lokal yang revolusioner. Dengan QRIS, transaksi digital menjadi lebih mudah, inklusif, murah, dan aman.

 

Setiap kali kita memindai QRIS, kita tak hanya sedang membayar kita juga ikut berkontribusi dalam mendorong transformasi ekonomi digital bangsa. Dari pabrik mobil di Jepang sampai warung kaki lima di Nusantara, siapa sangka kotak kecil itu membawa cerita besar tentang inovasi, kolaborasi, dan kedaulatan digital.

 

Jalur Menuju ASEAN Pay

Buat yang belum tahu, jalan menuju ASEAN Pay sudah ada. Itu dibuktikan seperti QRIS sudah bisa digunakan di Thailand dan Malaysia. Lalu juga turis Thailand bisa bayar di Bali pakai PromptPay. Kini Indonesia sedang mencoba memperluas konektivitas ke Filipina dan Singapura. Semuanya dengan adanya kesepakatan ASEAN Central Bank QR Connectivity Initiative.

 

Tak heran nantinya akan ada sistem cross-border real-time payment. Artinya, bukan cuma QR, tapi juga bisa transfer uang antarnegara dalam hitungan detik. Jelas ini menguntungkan ekonomi ASEAN yang selama ini dianggap kalah dengan Asian Timur dan bahkan Uni Eropa. ASEAN Pay adalah wujudnya.

 

Namun itu semua hadir dengan segudang tantangan biar bisa terwujud. Pertama sekali tentu saja melakukan standarisasi teknologi. Ini karena tidak semua negara ASEAN punya sistem yang sama bagusnya. Menyatukan protokol teknis, keamanan, dan enkripsi QR bukan hal gampang.

 

Tapi untungnya, BI dan negara ASEAN lainnya sudah menyepakati standar QR Code internasional EMVCo, jadi ini tinggal soal waktu. Asalkan sudah terkoneksi, penerapan bisa diterapkan dalam beberapa tahun ke depan.

Ini juga dalam penerapan satu regulasi saja, karena alasannya di setiap negara punya aturan berbeda soal pajak, perlindungan konsumen, dan keamanan data. Integrasi lintas batas berarti harus ada kesepakatan hukum yang kuat. Biar tak ada satu negara ASEAN yang diuntungkan karena regulasi di negaranya sesuai tapi tidak di negara lainnya.

 

Penerapan yang tak kalah penting tentu saja akses teknologi. Ada banyak negara ASEAN yang belum familiar dengan pembayaran digital. Di sini peran masing-masing pemerintah memberikan literasi serta memperkuat akses teknologi digital. Biar para wisatawan bisa datang dan membayar dengan mudah di negara tujuannya.

 

Terakhir tentu saja mengatur kurs dan volatilitas mata uang. Ini bertujuan ada saat QR digunakan pada lintas negara. Nilai suatu barang yang dibeli nantinya akan secara langsung terkonversi sesuai kurs berjalan. Ini butuh sistem konversi real-time yang andal dan adil. Jadi sistem Money Charger bisa berkurang karena menukarkan uang kadang bikin repot buat dibawa.

 

Lalu Muncul Pertanyaan, Apakah ASEAN Pay Bisa Terwujud?

Sangat bisa. Bahkan sudah mulai. Seperti membangun jalan tol antarnegara, memang butuh waktu. Tapi jalurnya sudah terbentuk. Dukungan dari bank sentral kuat, teknologinya makin matang, dan yang paling penting: kebutuhannya nyata.

 

Di tengah dunia yang makin digital, masyarakat ASEAN butuh sistem pembayaran yang mudah, terhubung, dan tidak tergantung pada dolar AS atau sistem global yang tidak inklusif. ASEAN Pay bukan sekadar proyek teknologi. Ini adalah simbol bahwa Asia Tenggara bisa bersatu lewat ekonomi digital. Dan Indonesia, lewat QRIS, berada di barisan depan gerakan ini.

 

QRIS dan ASEAN Pay, Bikin USA dan Trump Kebakaran Jenggot

Bayangin kamu punya warung, lalu tetangga kamu yang biasanya nebeng ambil untung dari setiap transaksi di warung itu tiba-tiba gak dapet bagian lagi.

 

Kira-kira gimana ekspresinya? Nah, itulah kira-kira perasaan Amerika (terutama era Donald Trump) ketika Indonesia memperkenalkan QRIS. Meskipun gak pernah secara gamblang Trump ngomong, “Saya benci QRIS!”, tapi kalau lihat dari gaya kepemimpinan dan cara pandang ekonominya, ya... bisa jadi QRIS termasuk daftar hal yang bikin beliau garuk-garuk kepala.

 

Lho kok bisa? Gini, QRIS itu kan dibuat supaya kita gak tergantung lagi sama sistem pembayaran global kayak Visa dan Mastercard yang notabene perusahaan raksasa asal Amerika. Biasanya, setiap kita gesek kartu, Amerika ngumpulin fee sampai 3% plus data transaksi kita.

 

Tapi dengan QRIS, jalur itu diputus. Fee jadi lebih murah, datanya aman di dalam negeri, dan yang paling penting: gak ada cuan buat si Paman Sam. Nah, dari sudut pandang “America First”-nya Trump, ini jelas masuk kategori: Tidak menguntungkan Amerika? Coret!

 

Trump juga terkenal anti-globalisasi kalau globalisasi itu gak bikin Amerika untung, ya ditinggal. Mulai dari perang dagang sama China, keluar dari perjanjian internasional, sampai nyuruh TikTok pindah tangan ke perusahaan Amerika. Intinya, semua yang bikin negara lain lebih mandiri dalam ekonomi digital selalu dianggap sebagai ancaman dominasi AS.

 

Termasuk langkah-langkah kayak QRIS atau ASEAN Pay, yang bisa bikin negara-negara Asia makin kompak dan gak lagi pakai dolar buat transaksi lintas negara. Di mata Trump, itu kayak sekumpulan bocah yang bikin klub rahasia tanpa ngajak dia.

 

Dan jangan lupa: di era digital, data itu kayak minyak baru. Amerika bisa kaya bukan cuma dari dolar, tapi dari data orang-orang di seluruh dunia lewat sistem keuangan dan platform digitalnya. Nah, QRIS menutup keran itu. Semua transaksi yang biasanya bisa diintip lewat jaringan luar, sekarang disimpan di sistem lokal.

 

Jadi tak heran kalau AS agak manyun. QRIS bukan cuma soal bayar pakai QR code, tapi simbol bahwa kita bisa berdiri di atas kaki sendiri dalam dunia digital yang selama ini dikuasai raksasa-raksasa luar negeri. QRIS dan ASEAN Pay wujud kemandirian dan tentu saja membuat negara ASEAN leluasa atas pembayarannya masing-masing.

 

Satu hal yang saya rasa penting, pembayaran asing seperti Visa dan Mastercard tidak bisa menyentuh hingga ke akar rumput. Mereka yang dulunya pakai Visa dan Mastercard tentunya datang dari kalangan menengah ke atas. Ini jelas menyulitkan untuk masyarakat kecil dan usaha level kecil.

 

Saat QRIS hadir, ia bisa menjangkau ke level bawah, membuat saldo yang cuman 20K saja bisa membayar kopi elit meskipun setelahnya dompet digitalnya kosong. Sedangkan Visa dan Mastercard kalian harus punya saldo besar dan tentu saja pembayarannya rumit.

 

Kini pembayaran digital menjadi sangat mudah, rasanya ketinggalan Hape lebih menakutkan dari ketinggalan dompet. Jadi selamat datang atas kehadiran QRIS yang jadi wujud kedaulatan digital RI. Sebuah berita baik buat negeri karena selama ini berita baik jadi sangat langka kita dengar.

 

Semoga tulisan saya ini menginspirasi kita semua, Akhir kata, have a nice days.

Share:

0 komentar:

Post a Comment

Kenalan Blogger

My photo
Blogger & Part Time Writer EDM Observer