Thursday, July 15, 2021

Aceh, Pintu Masuk Jalur Rempah Nusantara

Sejak dulu Aceh terkenal dengan jalur pelayaran dunia, melibatkan aktivitas perdagangan dari berbagai jenis armada kapal asing. Para pelayar dan pedagang tiba dari berbagai penjuru, masuk ke gerbang jalur rempah nusantara. Total ada Aceh menyumbang tiga pelabuhan penting dari tiga kerajaan besar Aceh yang masyhur yaitu Mulai dari Kerajaan Lamuri di Aceh Besar, Kerajaan Samudera Pasai di Aceh Utara dan Kerajaan Aceh Darussalam di Kota Banda Aceh.

 

Itu belum lagi berkembangnya kota-kota satelit, akulturasi budaya hingga tentu saja bisnis yang menguntungkan masyarakat sekitar. Semua itu didukung pula dari berbagai aspek tingginya aktivitas di pelabuhan, lokasi masuk ke jalur rempah nan strategis,  dan kebijakan berupa pajak dan cukai yang diterapkan oleh Kerajaan yang berkuasa di Aceh saat itu.

 

Kala itu rempah-rempah telah menjadi bagian yang sangat penting, bahkan sangat berperan memainkan perkembangan peradaban modern manusia. Saking pentingnya, rempah-rempah jadi komoditas utama yang mampu mempengaruhi kondisi politik, ekonomi, maupun sosial budaya dalam skala global. Harganya yang dijual tinggi dan jumlahnya terbatas seakan menguntungkan salah satunya Aceh selaku gerbang masuk akan Jalur Rempah.

Para pedagang bisa memilih tiga jalur alternatif untuk bisa mendapatkan hasil alam yang selama ini mereka cari yaitu: rempah-rempah. Aceh kala itu terkenal dari hasil rempah-rempah berupa pala, cengkeh, dan lada. Beragam komoditi unggulan yang menjadi rebutan para pedagang ditambah dengan lokasi yang sangat strategis tentunya.


Landasan dari lahirnya sejumlah alur untuk menghindari kecelakaan kapal dagang. Pihak kerajaan memikirkan nasib para armada dan mengurangi tingkat kecelakaan di laut. Akhir lahirlah tiga jalur tersebut disebut dengan persimpangan Alur Aceh. Alur pertama ialah Alur Surat, jalur ini digunakan kapal dagang untuk akses ke Gujarat. Alur kedua yakni Terusan Bengali, jalur yang digunakan menyusuri Pantai Timur India. Terakhir adalah Alur Selat Malaka yang jadi akses masuk kapal asing ke nusantara.

 

Jalur Rempah pulalah yang kemudian membentuk dari banyaknya peradaban yang saling berinteraksi tersebut. Dalam kurun waktu singkat mampu menjelma sebagai ruang silaturahmi antar manusia lintas bangsa sekaligus sarana pertukaran dan pemahaman antarbudaya, melampaui konteks ruang dan waktu, yang dipertemukan oleh laut, samudra, dan sungai.

Tercatat ada 20 titik jalur rempah yang membentang di sepanjang negeri dan dua di antaranya berasal dari Aceh. Sudah pasti dari setiap titik menghidupkan banyak peradaban dan perniagaan dengan bangsa luar. Semangat menghidupkan jalur rempah itu artinya bentuk kita mengingat bangsa kita pernah masyhur dari perniagaan dan tentu saja komoditi unggulannya.

 

Sejarah Jalur Rempah dan Rasa Penasaran Bangsa Barat

Rempah-rempah menjadi komoditi yang sangat berharga di abad pertengahan. Besarnya aktivitas dagang membuat para saudagar dari Malabar mengambil inisiatif dalam budidaya Lada di akhir abad 13 secara luas di sejumlah wilayah nusantara. Aceh menjadi lokasi pilihan tersebut, ditambah lagi berbagai jenis rempah lainnya berhasil dibudidayakan. Semisal cengkeh yang dulunya tumbuh subur di wilayah timur nusantara yakni Maluku Utara dan Pala dari Kepulauan Banda.

Sebelum komoditi rempah-rempah populer, kerajaan di nusantara termasuk di Aceh masih sering menjual hasil alam berupa kayu dan bebatuan alam. Hanya saja komoditi ini kurang terangkat dikarenakan di daerah lainnya bisa didapatkan dengan murah. Harga jualnya pun tidak terlalu tinggi dan wilayah ekspor hanya sampai ke Kawasan India saja. Sampai pada akhirnya rempah-rempah populer dan dianggap sebagai segudang bahan baku penting khususnya untuk dunia makanan, dunia medis, kecantikan hingga wewangian yang tahan lama.

 

Peran rempah-rempah juga berhasil revolusi dunia bahwa hasil alam dianggap menjadi komoditi berharga. Sebelumnya manusia lebih identik dengan hasil perut bumi seperti emas, kerajinan tangan berupa tembikar dan sutra. Hadirnya rempah-rempah mampu menghasilkan citra rasa makanan yang kuat, perkembangan dunia parfum, kosmetik hingga tentu saja penangkal wabah yang sedang melanda daratan Eropa.

 

Di sisi lain, Bangsa Eropa kala itu telah berhasil bangkit dari era kegelapan. Mereka mencoba meniti peradaban ulang khususnya dunia pelayaran dan perniagaan. Kala itu  Bangsa Eropa masih kalah jauh dibandingkan Bangsa Arab dan Kerajaan Ottoman. Kontrol kuat atas hasil rempah-rempah membuat harga yang ditawarkan melambung tinggi, ditambah lagi Kerajaan Ottoman punya pengaruh kuat akan perdagangan kala itu. Kerajaan Ottoman mendapatkan rempah-rempah dari pedagang Arab yang dibeli di India hingga ke pelabuhan-pelabuhan di Selat Malaka.

 

Bangsa Eropa menyadari kelangkaan ini dan kebutuhan besar akan rempah-rempah. Hingga akhirnya tercetus ide mencari sendiri kepulauan rempah-rempah tersebut. Jalur yang ditempuh adalah dengan mengitari Benua Afrika hingga akhirnya tiba di Cape Town, Afrika Selatan. Itu diambil karena daerah laut merah menjadi kuasa Ottoman dan memblokade pelaut dari Eropa.

 

Sampai akhirnya tiba di India, saat itulah para pelaut yang berasal dari Bangsa Portugis dan Spanyol tersebut tahu keberadaan kepulauan rempah-rempah tersebut. Selama ini hanya kabar burung yang tersampaikan dari pedagang Arab. Namun saat telah tiba di India, kala itulah mereka tahu bahwa lokasi rempah-rempah tersebar luas yang kini kita sebut dengan nusantara. 

Mulanya misi ini dicetus oleh Christopher Columbus yang kemudian kita mengenal sebagai Bapak penemu Benua Amerika, kemudian dilanjutkan dan dipopulerkan oleh Vasco da Gama. Terbukanya jalur baru dan tanpa perantara lagi otomatis tercipta jalur perdagangan baru khususnya jalur laut. Sebelumnya jalur perdagangan darat hanya dikenal jalur sutra yang membentang dari China di timur dan Eropa di bagian barat. Di Abad pertengahan juga, jalur laut sudah sangat diandalkan karena kemampuan navigasi kapal yang berkembang pesat.

 

Lambat laun dengan tingginya animo perjalanan laut seakan menghasilkan kota-kota pelabuhan di Asia Tenggara, India hingga Eropa. Alhasil melahirkan jalur laut baru yang dikenal dengan jalur rempah. Rute ini tercipta di awal abad 15 tepatnya di tahun 1497, kala itu menjelang akhir dari pengaruh Kerajaan Samudra Pasai di tahun 1517.

 

Sejak itulah Aceh menjadi ramai, selain sebagai gerbang masuknya armada kapal Eropa ke wilayah nusantara. Aceh yang sejak dulu punya kerajaan yang erat dengan perniagaan diawali dari Kerajaan Samudra Pasai hingga Kerajaan Aceh Darussalam. Melihat apa yang diterapkan oleh kerajaan lainnya di kawasan Selat Malaka.

 

Kerajaan Samudra Pasai melihat banyak aktivitas dagang sebagai peluang bisnis perniagaan. Target pasar yang mereka cari adalah Lada, Kamper, Kayu Bahar, kasturi, kemenyan. Sedangkan hasil tambang berupa emas, timah. Semua itu kemudian ditukar dengan sejumlah produk yang pedagang luar bawa seperti, sutra, kain chambray, dan tembikar. 

Letak kerajaan yang berada paling ujung sebelum tersambung ke Gujara, India, secara otomatis akses pelabuhan milik Kerajaan Samudra Pasai digunakan sebagai lokasi singgah. Pihak kerajaan berkoordinasi dengan menerapkan konsep bea cukai terutama barang ekspor hasil alam.  Selain itu cukai berlakukan pula pada kapal-kapal yang berlabuh di area kesultanan. Biayanya diukur dari ukuran dan jumlah muatan yang banyak.

 

Ini dilakukan karena banyak dari kapal yang harus menempuh jarak yang cukup jauh dan melelahkan. Berbagai fasilitas dari lokasi kapal bersandar hingga tidak hanya pihak kesultanan yang diuntungkan tapi juga masyarakat sekitar yang ingin menjual berbagai produknya.

 

Pasalnya, perdagangan laut dapat mendorong pertumbuhan kota di daerah pantai karena penguasa lokal akan membangun pelabuhan untuk melayani kebutuhan pedagang asing. Termasuk juga dalam membina hubungan politik dan budaya, inilah yang membuat Kerajaan Samudra Pasai punya ikatan kuat dengan mitra dagang dan diplomatik dengan kerajaan sekitar

 

Tongkat Estafet Perniagaan dari Kerajaan Aceh Darussalam

Berdirinya Kesultanan Aceh Darussalam di Abad 16 secara tak langsung jadi seakan memberikan pengaruh besar dalam percaturan kekuasaan di Aceh. Kerajaan Aceh sadar saat itu perniagaan dan kemaritiman menjadi sentra utama kerajaan. Pengaruhnya yang kuat secara tak langsung menjadikan banyak kapal dagang singgah. Menjadikan kerajaan sebagai pintu masuk Jalur Rempah yang kerap disinggahi berbagai kapal dari tiap penjuru negeri.

Fokus utamanya adalah hasil alam berupa rempah-rempah yang diekspor ke sejumlah mitra dagang. Strategi ini diambil kala peran besar pelabuhan Aceh Darussalam menggantikan Pelabuhan Malaka yang ditaklukkan Portugis. Pengaruh ini menyebabkan pusat perdagangan rempah-rempah otomatis berpindah ke Kerajaan Aceh Darussalam.

 

Meskipun begitu, itu jadi tongkat estafet kerajaan Islam di Aceh yang tujuannya adalah perniagaan dengan bangsa lainnya. Letaknya yang lebih condong ke Benua Asia dan punya jarak tempuh lebih pendek dibandingkan Kerajaan Samudra Pasai dan Kerajaan Melayu seakan membuat citra Kerajaan Aceh Darussalam menguat. Tak butuh waktu lama dan kemudian menjadi daerah lokasi eksportir berbagai jenis rempah-rempah ke India hingga ke Eropa.  Bahkan sejumlah kerajaan nusantara seperti Kerajaan Maluku dan Banten.

Ibu Kota yang dipilih oleh Kerajaan Aceh Darussalam adalah Kutaraja yang kini dikenal dengan Banda Aceh. Berbagai hasil alam umumnya mudah dijangkau terutama rempah-rempah. Pihak kesultanan memikirkan proses distribusi dari komoditi unggulan mereka bisa diekspor dengan harga tinggi. Cara dengan membangun sejumlah akses jalan, jembatan hingga barang bisa dibawa dengan mudah ke pelabuhan.

 

Pelabuhan yang dibangun berada Acin yang kini dikenal dengan Gampong Pande, Banda Aceh. Terpilihnya lokasi ini karena menjadi hilir dari Krueng Aceh. Lokasi ini terjadi akulturasi berbagai budaya dari berbagai pedagang yang singgah. Sudah pasti Kerajaan Aceh Darussalam sangat diuntungkan dalam ini dan meningkat taraf hidup masyarakat yang ingin menjual produk unggulannya hingga ke mancanegara.

Kerajaan menilai lokasi ini mudah dijangkau oleh para penjual komoditi yang membawa hasil alamnya melalui jalur sungai. Sedangkan untuk para pedagang, lokasi ini dipilih karena memiliki area masuk kapal yang aman dari badai laut dan tentu saja bisa menambatkan kapal.

 

Tak hanya satu lokasi saja, Kesultanan juga membangun pelabuhan untuk kapal-kapal yang ingin bertolak ke Selat Malaka. Lokasi yang dipilih adalah Krueng Raya, salah satu saksi yang masih tersisa adalah Benteng Inong Balee, lokasi ini disinyalir sebagai  pelabuhan  singgahnya para pedagang kala itu. Pada lokasi singgah terjadi pertukaran barang dagangan dari banyak pedagang yang datang dari China, India, Turki, dan Eropa.

 

Jauh sebelum kerajaan Aceh sudah ada kerajaan lainnya seperti Kerajaan Lamuri. Bekas peninggalan seperti pelabuhan, benteng, hingga menara pengontrol perdagangan. Jejak masa lalu tersebutlah yang membuat Kerajaan Aceh Darussalam mendirikan di lokasi serupa, sehingga para pedagang terdahulu ingat akan rute lama tersebut. Berlokasi jauh dari laut lepas secara tak memudahkan kapal pedagang bisa bersandar sebelum melanjutkan perjalanannya.

Selain dari Jalur Rempah tersebut yang memotong di Selat Malaka. Di kemudian hari lahir juga pusat-pusat pelabuhan di Pantai Barat Aceh banyak disinggahi kapal-kapal asing dari Inggris, India, Arab, China, bahkan Amerika di abad 18 hingga 19. Tujuan mereka datang ke Aceh tidak lain untuk mendapatkan hasil rempah berupa pala.  Total ada sebanyak delapan pelabuhan di Pantai Barat Aceh  mulai dari Meulaboh, Kuta Bahagia, Pulau Kayu, Labuhan Haji, Susoh, Meukek, Tapaktuan, dan Singkil.

 

Kejayaan jalur rempah itu bertahan bertahun-tahun hingga akhirnya ekspansi dari berbagai bangsa asing seperti Portugis hingga Belanda. Perlahan tapi pasti itu membuat kerajaan Aceh dan di nusantara tidak punya kekuatan seperti dulu. Jalur rempah yang dulu terkenal akan komoditi rempah seakan kalah saingan dengan komoditi lainnya. Bahkan secara tak langsung anak cucu kita melupakan kejayaan Aceh dalam hal perniagaan tempo lalu.

 

Merefleksikan Sejarah Aceh melalui Jalur Rempah

Dulu saat penulis masih duduk di bangku sekolah sangat menyukai materi terkait dengan sejarah. Materi yang menarik tentu saja perkembangan kerajaan dan berbagai suku di tanah air. Proses interaksi kerajaan dulu tentu saja mengandalkan akses kapal yang kini menjadi cikal bakal negeri maritim.

Hubungan yang kuat membuat banyak bangsa luar menyukai nusantara. Tanah yang subur, mitra bisnis yang baik hingga punya pelabuhan yang bagus. Semua itu coba direfleksikan kembali, membangun kembali sisa kejayaan dari maritim. Khususnya Aceh, sudah punya timeline besar yang dikejar yaitu memperkenalkan kembali Jalur Rempah.

 

Tahapan ini sudah dimulai sejak 2020 dalam proses sosialisasi jalur rempah. Dilanjutkan program kerja sama, dokumentasi, publikasi hingga terwujud dalam Warisan Dunia dari UNESCO di tahun 2024. Apalagi ada dua jalur yang Aceh sumbang dari 20 titik Jalur Rempah Nusantara.

Terwujudnya dua lokasi tersebut sebagai lokasi Jalur Rempah juga harus sering dipromosikan pada generasi muda. Selama ini mereka kurang tahu bahwa Aceh dulunya punya koneksi yang sangat besar dengan bangsa-bangsa besar. Melalui dua pelabuhan besar dan berbagai kota satelit yang ada di sekitarnya seakan mampu melahirkan dua kerajaan besar.

 

Kedua lokasi itu datang dari kerajaan masyhur Aceh terdahulu yaitu Kerajaan Aceh Darussalam dan Kerajaan Samudra Pasai. Bagi penulis, Kerajaan Lamuri juga layak ditambahkan berkat sebagai pelopor awal perniagaan dan dunia maritim nusantara dengan bangsa luar.

 

Landasan ini juga bisa digunakan kembali di era modern kini sembari mengangkat citra Aceh. Di tengah arus globalisasi dan perdagangan global yang sangat besar, jalur Rempah bisa jadi penguat menciptakan perputaran roda ekonomi seperti dulu.

 

Mungkin dulu Aceh erat kaitannya dengan berbagai jenis rempah-rempah seperti Pala, Cengkeh, dan Lada sebagai komoditi ekspor. Namun kini ada banyak potensi ekspor menjanjikan yang bisa dibawa pulang kapal-kapal ekspor ke lokasi singgah berikutnya. Para pedagang pastinya bertukar hasil barang dagangan atau bahkan membeli produk yang masyarakat sekitar miliki.

Pemerintah Aceh pun sadar dengan potensi ini, berada di Ujung Pulau Sumatra yang terhubung langsung ke Benua Asia pastinya lebih menjanjikan. Alasan itulah berdiri sejumlah pelabuhan besar di sejumlah kota di Timur Aceh hingga ke Banda Aceh.  Lokasi persinggahan kini pun tak hanya identik dengan perniagaan saja tapi sudah meliputi budaya, makanan hingga pariwisata.

 

Dulunya lokasi pelabuhan persinggahan hanya dimanfaatkan armada kapal barang saja. Namun di era modern melahirkan berbagai jenis kapal. Manusia pun tak hanya memanfaatkan transportasi air kapal sebagai alat berpindah dan mengangkut muatan namun ke arah pariwisata. Banyak kapal Pesiar yang melintas dan bahkan singgah ke Aceh. Tujuan mereka semata-mata ingin melihat ragam budaya, wisata hingga kuliner Aceh. 

Jelas Jalur Rempah mampu mengangkat taraf hidup masyarakat pesisir terkait dunia pariwisata. Sedangkan masyarakat daratan tinggi Aceh bisa merasakan dampak dari hasil alam yang mereka miliki. Pemerataan kesejahteraan pun terlihat dan berkesinambungan karena Jalur Rempah tak hanya menguntungkan masyarakat yang hidup di pesisir namun juga masyarakat di daerah daratan tinggi. Kini Aceh punya komoditi unggulan yang tumbuh di daratan tinggi dan punya nilai ekspor relatif besar di pasar global.

 

Untuk bisa mempersiapkan itu semua, dibutuhkan akses yang mudah menuju pelabuhan. Mulai dari pembangunan jalan tol yang menghubungkan setiap pelabuhan, peralatan pendukung bongkar muat dari ekspor ataupun impor hingga gudang penyimpanan barang. Bila itu semua telah ada dan sudah lolos standarisasi, itu tandanya pelabuhan yang Aceh miliki sudah layak menerima berbagai kapal masuk dan keluar dari mancanegara. Terlebih lagi, jauh sebelumnya sudah ada Qanun khusus No. 36 tahun 2000 yang mengatur tentang perdagangan dan pelabuhan bebas.

 

Jalur Rempah Kini: Tak hanya Komoditi tapi Nilai Jual Wisata

Bila dulunya Aceh terkenal dengan hasil alam berupa rempah-rempah, namun kini Aceh terkenal dengan segudang komoditi lainnya. Mulai dari hasil alam, hasil tambang bahkan ke hasil laut. Komoditi yang menjadi unggulan untuk saat ini berupa: Kopi, minyak nilam, kelapa sawit, kopra, kakao, pinang, dan karet. Untuk hasil laut berupa Ikan Tuna sirip kuning dan Lobster. Sedangkan hasil rempah-rempah hanya menyisakan lada saja.

Itu menandakan Aceh punya segudang komoditi unggulan yang bisa dijual. Bila sebelumnya, hanya mengandalkan rempah-rempah, kini komoditi lainnya memberikan ciri khas untuk Aceh. Sebagai contoh adalah komoditi kopi dan minyak nilam, yang sudah terkenal hingga ke mancanegara. Citra rasa dan wanginya yang kuat membuat produknya mampu bersaing di pasar global.

Pemerintah Aceh sedang giatnya membangun wisata, cara ini digodok mampu menjual produk alam unggulan sekaligus dibarengi dengan pertumbuhan lokasi wisata. Berbagai lokasi wisata pilihan yang dibangun mulai dari jelajah wisata sejarah, wisata alam, hingga wisata islami. Target ini diharapkan mampu mendongkrak pariwisata dari Jalur Rempah Aceh.

 

Melalui program membangkitkan Jalur Rempah, seakan kita sadar bahwa dari Jalur tersebut seakan mampu meningkat berbagai sektor yang dulunya harga terkait dengan perniagaan. Namun di era modern Jalur Rempah nyatanya memberikan kita pengetahuan bahwa nilai historis, ekonomi, budaya hingga pariwisata bisa mendongkrak Aceh. Membuat namanya kembali masyhur seperti yang didengar para saudagar asing yang singgah.

 

Semoga tulisan ini memberikan inspirasi kita semua pada Jalur Rempah negeri yang kini kembali diangkat sebagai bukti pentingnya Aceh dalam percaturan perniagaan dunia. Have a Nice Day Guys…

Share:

0 komentar:

Post a Comment

ROG Phone 8

Kenalan Blogger

My photo
Blogger & Part Time Writer EDM Observer

Part of EcoBlogger Squad

Part of EcoBlogger Squad