Thursday, August 12, 2021

Menjaga Kelestarian Biodiversitas Satwa dan Gambut Indonesia

Indonesia terkenal dengan kekayaan hayati yang sangat besar yaitu menjadi 10 besar negara dengan mega diversitas dan terbesar di Asia Tenggara dengan menyumbang 1,3% dari yang ada di dunia. Tak hanya itu saja, ada sejumlah berbagai diversitas dunia yang disumbangkan Indonesia. Mulai dari 17% spesies burung, 12% mamalia, dan 7,3% reptil dunia.

 

Jumlah yang besar tersebut nyatanya punya ancaman yang cukup besar. Salah satunya laju kepunahan yang bisa menimpa berbagai diversitas yang Indonesia miliki. Tingkat kepunahan ini diakibat oleh tinggi berbagai aktivitas yang mengancam satwa liar di tanah air.

 

Berbagai aktivitas ini kepunahan banyak hubungannya dari aktivitas yang disebabkan oleh manusia. Mulai dari perubahan iklim, eksploitasi alam, alih fungsi hutan, perburuan besar-besaran hingga perdagangan satwa liar.

Terkait perubahan iklim nyatanya sangat nyata, misalnya saja di laut terjadi beaching (pemutihan) karang yang merusak ekosistem terumbu karang, dampaknya sangat masih buat berbagai habitat yang hidup di sana. Naiknya suhu membuat kadar asam meningkat dan mengakibatkan semua ekosistem yang ada di sana rusak dalam sekejap.


Sedangkan di darat, terjadi perubahan iklim yang berdampak seperti terbakarnya lahan hutan tempat berbagai ekosistem. Bila tidak berhasil dicegah, itu artinya dalam kurun waktu singkat yaitu 80 tahun lalu, akan ada 50% spesies yang hilang di sekitar kita.

 

Tak hanya itu saja, ada banyak deforestasi yang sedang gencarnya terjadi di hutan. Ini berdampak sekali dengan tergerusnya lahan tempat satwa langka tinggal. Lokasi tersebut banyak digunakan oleh manusia mulai dari lokasi perkebunan, pertambangan, hingga lokasi perumahan. Terutama di lokasi perumahan sangat rentan konflik manusia dengan satwa liar.

 

Dalam proses deforestasi hutan sering dilakukan oleh manusia dengan cara membakar hutan. Selain caranya mudah dan murah dalam membakar ratusan atau bahkan ribuan hektar dalam sekejap. Pada masa kemarau dimanfaatkan dengan sangat optimal buat para pembakar hutan dengan dalih membuka lahan.

Ada banyak satwa liar yang menjadi korban karena tidak bisa menyelamatkan diri. Asap yang dihasilkan cukup lama padam. Terutama di hutan hujan tropis, ada banyak ekosistem satunya ekosistem gambut.

 

Sejarah Terbentuknya Gambut Hingga Vegetasi Penting

Gambut memang terkenal sebagai lahan basah yang terbentuk dari timbunan materi organik yang berasal dari sisa-sisa pohon, rerumputan, lumut, dan jasad hewan yang membusuk. Timbunan tersebut menumpuk selama ribuan tahun hingga membentuk endapan yang tebal.

Pada umumnya, gambut ditemukan di area genangan air, seperti rawa, cekungan antara sungai, maupun daerah pesisir. Proses terbentuknya gambut berpengaruh terhadap jenis-jenis dan karakter gambut. Oleh karena itu, gambut pedalaman memiliki bentuk dan karakter yang berbeda dengan gambut yang ada di daerah sekitar sungai dan pantai.

 

Sejak dulu daerah ini sangat identik dengan jumlah pasokan air yang sangat dan selalu tersedia sepanjang tahun. Inilah yang membuat gambut bisa mempertahankan air dalam jangka waktu lama. Air yang ada di dalam gambut membuat permukaan gambut lebih lunak dibandingkan lokasi tanah lainnya bahkan di musim kemarau sekalipun.

Hanya saja, bila terjadi kebakaran di dalam area gambut otomatis membuat api yang membakar gambut sangat sulit dipadamkan hingga berminggu-minggu. Asap yang dihasilkan sangat banyak dan menyesakkan dada bila saja terhirup oleh manusia.

 

Mengapa Lahan Gambut yang sehat itu penting?

Gambut menyimpan banyak karbon jika dibandingkan dengan hutan atau jenis tanah lainnya. Menjaga lahan gambut yang sehat dan utuh sangat penting untuk upaya mitigasi perubahan iklim. Saat hujan, gambut menyimpan banyak air. Di musim kemarau, tanah gambut melepaskan air secara perlahan-lahan untuk menyediakan pasokan air.

Ketika hujan turun dengan intensitas tinggi, gambut akan menyerap sebagian besar air sehingga banjir tidak lebih buruk. Air di lahan gambut menjadi tempat tinggal ikan. Ikan penting sebagai sumber makanan dan pendapatan. Hutan gambut menyediakan rumah bagi hewan.

 

Mengurangi dampak bencana banjir dan kemarau, Daya serapnya yang tinggi membuat gambut berfungsi sebagai tandon air.  Gambut dapat menampung air sebesar 450-850% dari bobot keringnya.

Habitat untuk perlindungan keanekaragaman hayati.

 

Berbagai macam flora dan fauna dapat tumbuh dan tinggal di lahan gambut. Beberapa jenis flora sangat berguna bagi masyarakat sehingga perlu dibudidayakan. Sementara itu, fauna yang tinggal di lahan gambut berperan penting dalam menjaga keberlangsungan hidup ekosistem gambut lainnya.

 

Lahan gambut menjaga perubahan iklim, lahan Gambut menyimpan cadangan karbon yang besar sehingga ketika lahan gambut Lahan gambut mengandung dua kali lebih banyak karbon dari hutan yang ada di seluruh dunia. Ketika terganggu, dikeringkan atau mengalami alih fungsi, simpanan karbon di dalam gambut terlepas ke udara dan menjadi sumber utama emisi gas rumah kaca.

 

Rusaknya Lahan Gambut, Apa Jadinya?

Saat ini banyak sekali rencana menggubah area gambut yang dirasa oleh Sebagian pihak yang punya kepentingan sebagai lokasi yang tak menguntungkan. Menjadikan lokasi tersebut jadi lebih berharga menurut mereka dengan mengubahnya menjadi area perkebunan sawit.

Sudah pasti ketika lahan gambut digunakan untuk perkebunan kelapa sawit, maka air akan dikeringkan, pohon ditebang, dan tanah gambut pundi gali. Itu belum lagi daya serap air yang dimiliki oleh sawit yang berakibat air yang disimpan oleh gambut bisa kering dalam seketika. Bahkan warnanya berubah menjadi kecokelatan.

 

Walaupun jumlah lahan gambut hanya sekitar 3-5% di permukaan bumi, namun keberadaannya  merupakan rumah bagi lebih dari 30% cadangan karbon dunia yang tersimpan di tanah. Diperkirakan lahan gambut menyimpan karbon dua kali lebih banyak dari hutan di seluruh dunia, dan empat kali dari yang ada di atmosfer. Lahan gambut di wilayah tropis menyimpan karbon yang paling banyak.

 

Misalnya saja penelitian tersebut dilakukan oleh Global Wetlands tahun 2019, Indonesia memiliki lahan gambut terbesar kedua di dunia dengan luas mencapai 22,5 juta ha. Sedangkan urutan pertama ditempati Brazil dengan luas lahan gambut sebesar 31,1 juta ha.

Adapun di Tanah Air, provinsi pemilik lahan gambut terbesar adalah Papua dengan luas 6,3 juta ha. Lalu ada Kalimantan Tengah (2,7 juta ha), Riau (2,2 juta ha), Kalimantan Barat (1,8 juta ha) dan Sumatera Selatan (1,7 juta ha), Papua Barat (1,3 juta ha), Kalimantan Timur (0,9 juta ha) serta Kalimantan Utara, Sumatera Utara, dan Kalimantan Selatan yang masing-masing memiliki 0,6 juta ha. 

 

Fakta buruknya adalah jumlah ini makin menyusut setiap tahunnya, pembukaan lahan dan pembakaran hutan membuat jumlah menyusut dalam kurun waktu singkat saja. Bahkan di masa depan kita akan sangat langka melihat lahan gambut yang sudah musnah dan beralih fungsi.

 

Bincang Lebih Lanjut Terkait Gambut dan Satwa Langka

Bicara tentang gambut dan satwa luar nyatanya membuka mata siapa saja untuk bisa peduli dengan keduanya. Selama ini hanya mereka yang eksper saja tahu banyak mengetahui hal tersebut. Namun kini melalui acara virtual melalui Zoom meeting bisa terwujud.

Salah satunya acara rutin yang dilakukan oleh komunitas Eco Blogger Squad bersama pakar Lahan Gambut dan Fauna Indonesia pada 6 Agustus 2021. Online Gathering kali ini bertema “Lindungi Lahan Gambut, Lindungi Fauna Indonesia”.

 

Serunya acara diisi oleh ekspernya di bidang terkait yaitu oleh Mbak Iola Abas selaku Koordinator Nasional Pantau Gambut. Serta Dr. Herliana Agustin selaku Peneliti Pusat Studi Komunikasi Lingkungan, Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran.

 

Selama lebih dua jam lebih, para eksper tersebut bercerita jauh mengenai lahan gambut di Indonesia dan satwa liar di Indonesia. Mengajak para Blogger saling tahu berbagai jenis satwa liar yang ada di hutan Indonesia. Apalagi banyak yang belum pernah dilihat sebelumnya, dan kebanyakan dari mereka habitatnya sedang terancam.

 

Perburuan satwa liar yang dijadikan sebagai hewan peliharaan menjadi masalah utama mulai dari obesitas, hilangnya kemampuan natural satwa liar hingga banyak yang membuang hewan liarnya saat dianggap tidak dibutuhkan. Otomatis satwa liar yang dipelihara berada di rantai teratas dari rantai makanan. Ada banyak hewan lainnya yang terancam bahkan manusia sendiri.

 

Selain itu banyak hewan yang dipelihara bukan di habitat asalnya yang dapat mengganggu spesies endemik yang tinggal di sana. Misalnya saja pada spesies Ikan Nila (Oreochromis niloticus) yang terkenal punya kemampuan hidup di dua kondisi yaitu air tawar dan estuarin.

 

Masyarakat mencoba memeliharanya karena ia punya nilai ekonomis tinggi di dunia perikanan. Hanya saja tanpa melihat kembali jenis spesies endemik yang ada di suatu perairan. Alasan utamanya karena Ikan Nila punya kemampuan bertahan hidup lebih kuat, ia bisa memusnahkan spesies yang lebih lemah di bawahnya. 

Salah satunya yang terjadi di Danau Lot Tawar yang ada di Aceh Tengah, ada banyak masyarakat yang melepaskan dan memelihara ikan tersebut di danau. Padahal di danau sudah ada ikan endemik lokal yang dikenal dengan Ikan Depik (Rasbora tawarensis). Akibatnya jumlah menurun dan membuat masyarakat kesulitan menemukannya kini.

 

Mengedukasi Masyarakat akan Satwa Liar

Dalam mengenal satwa liar harus dipupuk sejak usia dini, ini membuat anak-anak bisa sadar akan pentingnya satwa liar dan mengenalnya. Untuk masyarakat sendiri harus digalakkan edukasi menyuruh pada satwa liar.

 

Bila yang sebelumnya menganggap dari satwa liar sebagai sumber pencarian atau hobi. Namun kini bisa diedukasi karena bisa membuat satwa sejahtera di alamnya. Memang bagi manusia yang memeliharanya dianggap sebagai pemilik utamanya. Nyatanya satwa liar punya alam sendiri dalam menentukan hidupnya, bukan dari manusia langsung.

Ini membuat ia kehilangan kemampuan insting saat dilepas pada lingkungan. Memang banyak stigma yang beredar misalnya saja saat hewan yang dilepas pada penakaran BKSDA. Misalnya serangan jantung, diabetes dan sebagainya.

 

Itu karena porsi geraknya yang terbatas dan bahkan sudah cenderung obesitas, saat dilepas di lokasi penakaran membuat ia tak survive dan kemudian mati. Sering kali pihak BKSDA yang disalahkan, namun jarang penghobi yang disalahkan dalam hal ini.

 

Kini pun tren jadi breeder juga harus diedukasi, bukan hanya sebatas gaya-gayaan yang berakibat fatal pada nasib satwa liar. Toh… dengan menjaga hutan itu artinya menjaga alam mereka sebenarnya.

 

Indonesia dan Identitasnya Sebagai Pemilik Gambut Terbesar di Dunia

Dari 258.650 spesies pohon tinggi yang tercatat di dunia, 13%-15% terdapat di lahan gambut  Indonesia, yaitu 35-40 ribu spesies pohon tinggi. Selain itu, terdapat 35 spesies mamalia, 150 spesies burung, dan 34 spesies ikan di lahan gambut.

Luas lahan gambut di Indonesia jadi yang terluas no. 4 di dunia dengan jumlah mencapai 15 juta ha, sedangkan untuk lahan gambut tropis hanya kalah dari Brazil. Bahkan menurut penelitian, ditemukan lahan gambut tertua 47 ribu tahun lalu yang ada di Kalimantan. Itu artinya Indonesia sejak dulu sudah identik dengan gambut.

 

Beberapa fauna merupakan spesies endemik dan dilindungi International Union for Conservation of Nature (IUNC) yang masuk ke dalam Red List IUNC, seperti buaya senyulong, langur, orang utan, harimau Sumatera, beruang madu, dan macan dahan.

Lahan gambut Indonesia bernilai penting bagi dunia, karena menyimpan setidaknya 53-60 miliar ton karbon, membuat kawasan ini sebagai salah satu kawasan utama penyimpan karbon dunia. Surga karbon lahan gambut Indonesia, hanya mampu ditandingi oleh hutan hujan di Amazon yang menyimpan 86 miliar ton karbon.

 

Menjaga Lahan Gambut, Menjaga Kadar Karbon

Pada musim pancaroba, langit seakan memerah kala kebakaran hutan terjadi. Daerah di Pulau Sumatera dan Kalimantan jadi lokasi kebakaran rutin yang terjadi. Waktu dan durasinya bahkan bisa berbulan-bulan lamanya.

Asap yang dihasilkan membuat Indonesia jadi negara pengekspor asap rutin buat negara tetangga. Setelah ditelisik lebih jauh, yang terbakar bukan hanya hutan karena saat hutan terbakar dan jadi abu. Api dan asap langsung saja padam.

 

Namun beda halnya yang terbakar adalah lahan gambut, ia akan menghasilkan gumpalan asap yang tebal. Bahkan lahan gambut yang kering sangat rentan terbakar. Lapisan gambut yang tebal hingga ke dalam tanah membuat asap makin mengganas. Butuh banyak air untuk memadamkannya sepenuhnya, tak jarang para pemadam hutan menyerah saat menghadapi kondisi ini.

 

Untuk itulah kita harus kuat menjaga hutan apa pun itu, bila saja telah rusak adalah dengan melakukan restorasi lahan. Prosesnya memang memakan banyak waktu dan tenaga, namun ini sangat bermanfaat untuk mengembalikan fungsi tanah di lahan gambut.

Proses restorasi dimulai dari tiga pendekatan yaitu proses pembasahan, penanaman ulang, dan merevitalisasi sumber pencaharian masyarakat sekitar di lokasi gambut. Pemerintah pun mulai serius dalam hal ini termasuk dengan lahirnya PP No. 57 tahun 2016 jo PP No. 71 tahun 2014.

 

Komitmen bersama Menjaga Satwa Liar dan Lahan Gambut

Ada banyak pembelajaran yang kami dapatkan dalam setiap pertemuan Virtual Zoom Meeting bareng Eco Blogger Squad. Selama ini kita tercerahkan bahwa satwa liar yang baik adalah hidup di alam dan lahan gambut bukanlah lahan yang tak bernilai. Namun berkat adanya mereka di alam, jadi penyusun dalam penyerapan karbon, menahan air tanah hingga menjaga iklim dunia.

Di akhir sesi, para peserta Gathering Online berfoto bersama dengan pemateri yaitu Mbak Iola Abas dan tentu saja Dr. Herliana Agustin. Sebelumnya ada banyak pertanyaan bagus yang dilontarkan oleh para blogger terkait materi.

 

Memang tak dipungkiri setiap pertemuan pasti penuh kejutan yang dihadirkan dari Eco Blogger Squad. Sehingga nyatanya mencintai hutan dan segala eksosistem yang ada di dalamnya jadi pekerjaan kita semua. Terutama mengedukasi masyarakat bahwa manusia tanpa hutan itu berarti sama dengan menghilangkan kesempatan melihat satwa langka kini dan di masa depan.

 

Semoga tulisan ini memberikan inspirasi untuk kita semua, akhir kata: Have a Nice Days

Share:

0 komentar:

Post a Comment

Kenalan Blogger

My photo
Blogger & Part Time Writer EDM Observer

Part of EcoBlogger Squad

Part of EcoBlogger Squad