Rasanya aplikasi tanpa AI kini ibarat makanan manis tanpa
topping. Ia harus ada dan pembuat aplikasi harus punya, ibarat pendobrak
bertahan di dunia AI yang begitu cepat. Rasanya dunia kini dimenangkan oleh
siapa saja yang paling andal dalam memanfaatkan AI. Bagaimana ia bisa menjadi
pemantik sebuah sistem bekerja dengan sangat maksimal.
Nah di sini saya tidak sedang menganggap ChatGPT, Gemini atau DeepSeek. Di
sini saya membahas bagaimana Grok dianggap sangat digdaya sebagai AI di sebuah
platform sosial media X. Di tengah ramainya perkembangan AI berbasis teks
seperti ChatGPT atau Gemini yang biasanya berdiri sebagai platform independen,
Grok justru hadir sebagai AI yang menyatu utuh dengan sebuah ekosistem sosial
media Platform X.
Apa yang membuat Grok digdaya bukan semata kemampuan
menjawab atau menganalisis, tapi karena ia hidup dari data yang kita hasilkan
setiap hari: cuitan, reply, media, dan semua bentuk percakapan daring. Dan dari
situlah kekuatannya tumbuh karena ia terus belajar dari miliaran interaksi
nyata secara langsung.
Grok seakan integrasi langsung ke linimasa pengguna,
kepribadian yang unik dan responsif terhadap konteks, Grok telah melampaui
batasan AI yang sebelumnya hanya dianggap alat bantu. Ia menjadi entitas
digital yang tidak hanya tahu apa yang terjadi, tapi juga seakan nimbung dalam
percakapan publik itu sendiri. Dan di situlah letak kekuatannya dan sekaligus
tantangannya.
Grok Seakan Mengingatkan Saya akan Film Trancendence
Seakan ini membuka memori saya mengenai film Transcendence
yang tayang di tahun 2014. Film yang di bintangi oleh Johnny Deep ini seakan
menggambarkan bagaimana kesadaran manusia diunggah ke dalam sistem
superkomputer, menciptakan entitas digital yang bisa mengakses, mengontrol,
bahkan mengintervensi dunia nyata melalui jaringan.
Sekilas, itu terdengar seperti fiksi ilmiah yang terlalu jauh dari kenyataan. Tapi ketika saya melihat bagaimana Grok hadir di Platform X, rasa-rasanya kita sedang melangkah ke dunia yang persis seperti itu perlahan, tapi pasti.
Grok bukan hanya AI yang menjawab pertanyaan. Ia
terintegrasi langsung dengan sistem komunikasi publik, hidup di dalam
percakapan sosial, belajar dari setiap cuitan, mengamati emosi publik, dan ikut
membentuk narasi digital. Seolah-olah, setiap pengguna yang aktif di X sedang mengajarkan
Grok dengan pengetahuan dan reaksinya. Ia menyerap semuanya tanpa jeda, tanpa
batas, tanpa perlu izin pada siapa pun. Toh kita pun sadar tapi suka rela
memberikan data kita.
Dan di situlah saya merasa dengan jelas Grok adalah versi
lite dari apa yang terjadi pada karakter
Dr. Will Caster di Transcendence. Bedanya, Grok tidak butuh kesadaran manusia
untuk mulai berkembang. Ia tumbuh dari sistem muncul dari data kita sendiri,
dan berevolusi dengan kecepatan yang tidak bisa kita awasi sepenuhnya.
Grok seakan menjadi AI yang berkamuflase sebagai fitur.
Tapi di baliknya, ada kekuatan masif yang sedang belajar memahami manusia,
bukan sekadar untuk membantu, tapi seakan menjadikan transcendence versi dunia
nyata. Jadi sebegitu canggihnya dia dan ia bermain dalam sebuah sistem.
Twitter Mati Suri dan Coba Bangkit dengan AI
Di tahun-tahun awal kemunculannya, Twitter jadi platform
sosial media yang interaksi. Kita bisa
berinteraksi langsung dengan orang terkenal, artis hingga tentu saja teman
kini. Dikenal sebagai platform mikroblogging yang lahir pada tahun 2006,
Twitter memungkinkan penggunanya berbagi pesan singkat 140 karakter yang bisa
menyebar dalam hitungan detik.
Setelah Twitter berubah dengan cepat dari namanya yang menjadi
X seakan berubah menjadi sosial media yang penuh dengan berita hoaks dan akun
bot. Bahkan tak ada lagi istilah 140 karakter karena orang bisa menulis
sepanjang apa pun yang ia mau.
Meskipun sudah diambil alih oleh Elon Musk, Twitter seperti masuk fase mati suri. PHK
massal, perubahan kebijakan konten, fitur berbayar seperti Twitter Blue. Semuanya
memunculkan kesan: Twitter lama sudah mati, dan yang tersisa sedang cari
napas baru.
Elon Musk rebranding menjadi X: Visi Super-App dan
Kebangkitan Lewat AI. Di bawah komando Musk, X dirancang untuk jadi super app sejenis
aplikasi serba bisa seperti WeChat di Tiongkok. Bukan hanya tempat berbagi
pikiran, tapi juga belanja, transfer uang, komunikasi, dan tentu saja AI.
Dan dari sinilah Grok lahir. Chatbot cerdas buatan X ini
bukan sekadar fitur tambahan, tapi nyawa baru yang disuntikkan ke tubuh Twitter
yang lama mati. Berbeda dari chatbot konvensional yang hidup di aplikasi
terpisah, Grok langsung menyatu ke dalam linimasa X.
Kita semua bisa interaksi dengan Grok hanya lewat balasan
tweet, mention, atau bahkan dari halaman utama. Misalnya, saat kamu bingung
baca thread politik yang bertele-tele, tinggal panggil Grok untuk merangkum.
Atau kamu butuh balasan sarkas buat mention yang nyolot? Grok siap bantu.
Bukan hanya pintar, Grok juga punya kepribadian unik
seperti bisa ngelawak, nyeleneh, dan kadang nyebelin. Tapi justru itu yang
bikin dia terasa hidup dan terasa seperti bagian dari kultur X, bukan sekadar
mesin.
Transformasi ini jelas bukan tanpa tujuan. Dengan Grok
sebagai ujung tombaknya, X mencoba menghidupkan kembali koneksi pengguna yang
mulai lelah dengan sosial media yang monoton dan kurang variatif. Kini,
interaksi bukan lagi hanya antara manusia, tapi juga dengan AI yang bisa
memahami, merespons, bahkan membentuk narasi. Apakah ini berhasil? Jelas
hasilnya terlihat menggembirakan.
Tapi satu hal yang pasti: X tidak lagi hanya platform
mikroblogging. Ia sedang berevolusi menjadi ruang hidup digital baru, di mana
AI bukan sekadar fitur, tapi bagian dari identitasnya. Kini X seakan digambarkan platform yang
sangat canggih di dunia AI sekaligus menarik kembali dominasinya.
Grok itu Bukan Bot, Ia Lebih Cerdas
Kalau kita bicara tentang “bot” dalam pengertian umum,
yang terbayang biasanya adalah akun otomatis yang bisa nge-like, retweet,
follow massal, atau membalas dengan skrip tertentu. Di media sosial, bot sering
dipakai untuk hal-hal repetitif: dari menyebar promosi, mengatur jadwal konten,
sampai menyebarkan propaganda.
Mereka tidak cerdas. Mereka hanya menjalankan perintah
yang sudah ditentukan. Mereka tidak belajar, tidak berevolusi, dan tidak
memahami konteks. Ibaratnya, bot adalah pekerja kasar digital yang sangat cepat,
otomatis, tapi dangkal. Jadi kalian yang gampang dibodohi dan diarahkan itu
sama saja kalian termasuk kategori bot berwujud manusia.
Grok beda kelas. Grok adalah kecerdasan buatan yang
dibekali dengan kemampuan pemrosesan bahasa alami, pemahaman konteks, dan
pembelajaran berkelanjutan. Ia bukan hanya merespons, tapi juga bisa
menginterpretasi, menyimpulkan, dan bahkan menciptakan jawaban baru berdasarkan
informasi yang tersedia.
Lebih dari itu, Grok hidup di dalam ekosistem X, bukan
sebagai akun otomatis yang muncul sesekali, tapi sebagai bagian dari arsitektur
platform itu sendiri. Ia bisa membaca cuitan, merangkum thread, memberi opini
ala chatbot dengan kepribadian tertentu, dan tampil seolah-olah ikutan masuk
sirkel atau nimbrung dalam percakapan publik.
Dan di sinilah perbedaannya menjadi lebih signifikan: bot
itu satu arah, sedangkan Grok dua arah bahkan multidimensi. Bot hanya
mengeksekusi perintah, sedangkan Grok bisa memengaruhi. Bot hanya menyalurkan
pesan, Grok bisa membangun narasi. Ini bukan sekadar upgrade teknologi. ini
adalah pergeseran cara interaksi digital terjadi.
Tapi, justru karena itulah kita harus waspada. Semakin
pintar AI, semakin besar pula kemampuannya membentuk persepsi. Grok mungkin
terlihat lebih manusiawi dari bot, tapi ia tetaplah sistem yang bekerja untuk
platform, dibentuk oleh kebijakan, dan diarahkan untuk tujuan tertentu.
Singkatnya Grok bukan bot. Ia jauh lebih kompleks, lebih
canggih, dan lebih berpengaruh. Justru karena itulah, ia perlu lebih banyak
dikritisi.
Bagaimana Cara Grok Bekerja dalam Jaringan X?
Tapi ya, yang namanya data mining ini sering banget
disalahpahami. Banyak orang langsung mikirnya negatif, seolah-olah data mining
itu selalu soal mata-mata digital atau penyalahgunaan data pribadi. Padahal
kenyataannya nggak sesempit itu. Data mining, pada dasarnya, adalah proses
menggali pola tersembunyi dari tumpukan data besar yang kita hasilkan setiap hari.
Di dunia bisnis, teknik ini udah dipakai lama banget buat
hal-hal yang bermanfaat: mulai dari strategi pemasaran yang lebih tepat
sasaran, memprediksi tren penyakit di sektor kesehatan, sampai mendeteksi pola
penipuan keuangan sebelum terjadi.
Artinya, data mining itu bisa jadi alat yang sangat
berguna asal dipakai secara etis dan transparan. Masalahnya baru muncul ketika
praktik ini bergeser ke dunia pelatihan AI modern, seperti yang dilakukan oleh
X lewat Grok.
Di sini, data mining nggak lagi terbatas pada angka-angka
atau formulir yang jelas struktur dan tujuannya. Yang ditambang sekarang adalah
isi tweet kamu, gambar yang kamu unggah, balasan iseng yang kamu tulis jam 2
pagi, bahkan pola kamu scroll timeline. Ini mah terlalu personal!!
Dan di sinilah garis batas mulai kabur. Grok, misalnya,
memanfaatkan miliaran interaksi pengguna sebagai bahan baku. Tapi berapa banyak
dari kita yang benar-benar sadar, apalagi setuju, bahwa semua itu digunakan
untuk mendidik algoritma?
Dalam kasus X dan Grok, pengguna opsi sehingga semua
aktivitas langsung dikonsumsi oleh mesin pembelajar, bahkan tanpa notifikasi
yang jelas. Ini yang membuat praktiknya terasa seperti kita sedang membayar
dengan data, tanpa tahu apa yang kita beli.
Di tengah ledakan teknologi yang katanya demi kenyamanan, justru kontrol
pengguna makin lama makin dikikis. Ironisnya, semua itu terjadi dalam diam, di
balik layar, dan di balik syarat dan ketentuan yang tak pernah benar-benar kita
baca.
Masalah di Grok dari Twitter: Persetujuan atau Paksaan?
Inilah titik paling krusial dalam drama digital bernama
Grok: apakah kita benar-benar memberi persetujuan, atau cuma dipaksa setuju?
Kebijakan terbaru dari X (dulu Twitter) jadi sorotan karena disebut sebagai
bentuk consent by coercion. Alias persetujuan yang sebenarnya bukan
pilihan, tapi ultimatum. Kalau kamu mau tetap pakai platformnya, ya datamu
harus rela dipakai. Gak setuju? Ya, tinggalin aja.
Bandingkan dengan raksasa digital lain seperti Google,
Meta, atau bahkan TikTok. Meski mereka juga dikenal hobi memanfaatkan data pengguna,
setidaknya mereka masih kasih opsi opt-out meskipun sering tersembunyi
jauh di pengaturan yang harus kamu klik tujuh kali dulu buat nemuinnya. Tapi
tetap ada celah buat bilang tidak.
Sedangkan X? Gak ada ruang negosiasi. Gak ada tombol
‘keluar dari pelatihan AI’. Gak ada pengaturan ‘jangan gunakan data saya’. Kamu
seperti tinggal di rumah mewah, tapi semua jendelanya transparan dan kamarmu
gak bisa dikunci. Kamu nyaman, tapi terus diawasi. Ketika semua itu dibungkus
dengan bahasa legal yang rumit, kita dipaksa untuk mengangguk, bahkan tanpa
benar-benar tahu apa yang kita setujui. Ini menurut saya bahaya karena batas
privasi sudah sangat tipis.
Apa yang Kita Lakukan Buat Mengawasi Grok?
Grok memang menawarkan kecanggihan yang luar biasa, tapi
di balik semua fitur pintarnya, ada pertanyaan besar yang perlu kita hadapi
sebagai pengguna: sejauh mana kita sadar bahwa data kita sedang dikumpulkan dan
digunakan untuk melatih AI. Jadi di sini Grok bukan sekadar alat bantu, tapi
bagian dari sistem yang belajar dari setiap interaksi kita.
Ada sejumlah cara yang menurut saya cukup berguna,
misalnya saja batasi unggahan pribadi, hati-hati dengan informasi sensitif, dan
kalau perlu, gunakan akun alternatif untuk menjelajah. Tak kalah penting,
jangan diam. Suara publik tetap punya kekuatan karena AI itu tidak selamanya
netral kadang ia bias sama dengan manusia.
Desakan dari komunitas pengguna bisa menjadi tekanan agar
X lebih transparan dan adil. Maka, tak ada salahnya membuat thread, mengirim
kritik ke tim support, atau sekadar menyebarkan kesadaran ini ke orang lain.
Karena pada akhirnya, ini bukan cuma soal Grok. Ini soal masa depan interaksi
digital kita. Kita juga perlu mendukung upaya regulasi yang melindungi hak
pengguna dan memastikan teknologi tidak berkembang seenaknya.
Dunia digital seharusnya memberi kendali ke tangan pengguna, bukan
mengambilnya secara diam-diam lewat fitur canggih yang dibungkus dalam ilusi
kenyamanan. Kita perlu mengingat bahwa kita bukan produk. Kita punya kendali. Bila
saja teknologi mulai membuat kita merasa sebaliknya, mungkin inilah saatnya
untuk mengevaluasi ulang dan mempertimbangkan ulang posisi kita dalam ekosistem
digital yang makin agresif ini.
Apakah Grok ini AI netral atau Settingan?
Satu hal yang sering dilupakan ketika kita bicara soal kecerdasan buatan
adalah: AI tidak pernah benar-benar netral. Grok, seperti AI lainnya, dibentuk
dari data dan data itu berasal dari manusia. Dari postingan, opini, balasan,
bahkan meme dan argumen di tengah malam yang kita lemparkan ke dunia maya.
Maka ketika Grok menyerap miliaran interaksi pengguna,
yang sebenarnya dia pelajari adalah versi dunia dari sudut pandang para
penggunanya. Itu bukan netralitas tapi wujud dari representasi sosial yang
kompleks, penuh kecenderungan. Bagi saya Grok mirip keinginan dari ownernya
sekarang yang Elon Musk yang cukup vokal pada sejumlah isu. Sehingga visi
perusahaan berjalan sesuai dengan keinginan dia.
Buat yang belum tahu, AI sekelas Grok bisa disetting
untuk menghindari topik tertentu, menahan respons pada isu-isu sensitif, atau
bahkan menyelaraskan jawabannya dengan nilai-nilai platform. Ini bukan
konspirasi, tapi praktik umum dalam pengembangan AI berbasis platform, di mana
citra perusahaan dan kepentingan bisnis jadi pertimbangan utama dalam desain
algoritma.
Ada hal yang sulit saat kita bertanya pada Grok pengguna
tidak pernah tahu kapan AI sedang bicara atas nama kecerdasan atau atas nama kepentingan.
Saat Grok memberi jawaban yang terasa aman, sopan, atau diplomatis, kita tidak
tahu apakah itu hasil pemrosesan netral atau karena ada batasan sistem yang
sengaja dipasang.
Di balik antarmuka yang ramah dan jenaka, Grok tetaplah
entitas yang bisa diarahkan, dibatasi, bahkan dibungkam jika perlu.
Inilah kenapa kita perlu lebih kritis saat berinteraksi
dengan AI, apalagi yang terintegrasi langsung ke dalam platform sosial seperti
X. Karena berbeda dengan mesin pencari atau chatbot biasa, Grok hidup di dalam
percakapan publik, menyerap dan mempengaruhi secara langsung. Dia bisa menyatu
dalam diskusi, membentuk opini, bahkan mempengaruhi cara kita merespons sebuah
isu. Dan kalau ia bisa disetting maka secara tidak langsung, opini kita pun
bisa ikut diarahkan, perlahan tapi pasti.
Jadi, apakah Grok netral? Jawabannya jelas: tidak
sepenuhnya. Grok adalah representasi dari data yang tidak steril, dibentuk oleh
sistem yang punya arah. Pertanyaannya bukan lagi apakah ia bisa diatur, tapi
siapa yang mengatur dan untuk kepentingan apa?
Di era di mana opini publik sering kali terbentuk lebih
cepat lewat platform digital dibanding media tradisional, pertanyaan ini bukan
cuma penting tapi krusial. Karena ketika AI mulai membentuk cara berpikir kita,
kita perlu memastikan bahwa kita masih punya ruang untuk berpikir sendiri.
Kesimpulan Akhir
Grok bukan sekadar chatbot pintar di tengah linimasa. Ia
adalah wujud nyata dari ambisi digital sebuah platform yang sedang berevolusi
menjadi sistem yang hidup dan terus belajar dari kita penggunanya. Kehebatannya
bukan cuma terletak pada kemampuan menjawab, merangkum, atau berinteraksi. Grok
tumbuh dari miliaran percakapan sosial, dari data yang kita hasilkan setiap
detik, tanpa kita benar-benar tahu kapan dan bagaimana itu dimanfaatkan.
Grok bukan bot biasa. Ia jauh lebih kompleks, lebih
responsif, bahkan seperti manusia. Justru di sinilah kita harus lebih waspada.
Karena semakin canggih sebuah AI, semakin halus pula cara ia mempengaruhi. Grok
bisa disetting, diarahkan, dan dibungkam.
Ia bisa terlihat netral, padahal diam-diam menyesuaikan
diri dengan nilai-nilai dan kepentingan sang pemilik platform. Kecerdasannya
tak pernah sepenuhnya bebas. Selalu ada desain, dan di balik desain, ada
kepentingan yang tak kita sadari. Ia cerdas tapi ia bisa mengelabuhi kita kapan
saja.
Semoga tulisan saya ini menginspirasi kita semua, Akhir
kata, have a nice days.