Wednesday, July 2, 2025

Kenapa Sih AI Grok Terasa Begitu Canggih?

Rasanya aplikasi tanpa AI kini ibarat makanan manis tanpa topping. Ia harus ada dan pembuat aplikasi harus punya, ibarat pendobrak bertahan di dunia AI yang begitu cepat. Rasanya dunia kini dimenangkan oleh siapa saja yang paling andal dalam memanfaatkan AI. Bagaimana ia bisa menjadi pemantik sebuah sistem bekerja dengan sangat maksimal.

 

Nah di sini saya tidak sedang menganggap ChatGPT, Gemini atau DeepSeek. Di sini saya membahas bagaimana Grok dianggap sangat digdaya sebagai AI di sebuah platform sosial media X. Di tengah ramainya perkembangan AI berbasis teks seperti ChatGPT atau Gemini yang biasanya berdiri sebagai platform independen, Grok justru hadir sebagai AI yang menyatu utuh dengan sebuah ekosistem sosial media Platform X.

Apa yang membuat Grok digdaya bukan semata kemampuan menjawab atau menganalisis, tapi karena ia hidup dari data yang kita hasilkan setiap hari: cuitan, reply, media, dan semua bentuk percakapan daring. Dan dari situlah kekuatannya tumbuh karena ia terus belajar dari miliaran interaksi nyata secara langsung.

 

Grok seakan integrasi langsung ke linimasa pengguna, kepribadian yang unik dan responsif terhadap konteks, Grok telah melampaui batasan AI yang sebelumnya hanya dianggap alat bantu. Ia menjadi entitas digital yang tidak hanya tahu apa yang terjadi, tapi juga seakan nimbung dalam percakapan publik itu sendiri. Dan di situlah letak kekuatannya dan sekaligus tantangannya.

 

Grok Seakan Mengingatkan Saya akan Film Trancendence

Seakan ini membuka memori saya mengenai film Transcendence yang tayang di tahun 2014. Film yang di bintangi oleh Johnny Deep ini seakan menggambarkan bagaimana kesadaran manusia diunggah ke dalam sistem superkomputer, menciptakan entitas digital yang bisa mengakses, mengontrol, bahkan mengintervensi dunia nyata melalui jaringan.

 

Sekilas, itu terdengar seperti fiksi ilmiah yang terlalu jauh dari kenyataan. Tapi ketika saya melihat bagaimana Grok hadir di Platform X, rasa-rasanya kita sedang melangkah ke dunia yang persis seperti itu perlahan, tapi pasti.

Grok bukan hanya AI yang menjawab pertanyaan. Ia terintegrasi langsung dengan sistem komunikasi publik, hidup di dalam percakapan sosial, belajar dari setiap cuitan, mengamati emosi publik, dan ikut membentuk narasi digital. Seolah-olah, setiap pengguna yang aktif di X sedang mengajarkan Grok dengan pengetahuan dan reaksinya. Ia menyerap semuanya tanpa jeda, tanpa batas, tanpa perlu izin pada siapa pun. Toh kita pun sadar tapi suka rela memberikan data kita.

 

Dan di situlah saya merasa dengan jelas Grok adalah versi lite  dari apa yang terjadi pada karakter Dr. Will Caster di Transcendence. Bedanya, Grok tidak butuh kesadaran manusia untuk mulai berkembang. Ia tumbuh dari sistem muncul dari data kita sendiri, dan berevolusi dengan kecepatan yang tidak bisa kita awasi sepenuhnya.

 

Grok seakan menjadi AI yang berkamuflase sebagai fitur. Tapi di baliknya, ada kekuatan masif yang sedang belajar memahami manusia, bukan sekadar untuk membantu, tapi seakan menjadikan transcendence versi dunia nyata. Jadi sebegitu canggihnya dia dan ia bermain dalam sebuah sistem.

 

Twitter Mati Suri dan Coba Bangkit dengan AI

Di tahun-tahun awal kemunculannya, Twitter jadi platform sosial media yang interaksi.  Kita bisa berinteraksi langsung dengan orang terkenal, artis hingga tentu saja teman kini. Dikenal sebagai platform mikroblogging yang lahir pada tahun 2006, Twitter memungkinkan penggunanya berbagi pesan singkat 140 karakter yang bisa menyebar dalam hitungan detik.

 

Setelah Twitter berubah dengan cepat dari namanya yang menjadi X seakan berubah menjadi sosial media yang penuh dengan berita hoaks dan akun bot. Bahkan tak ada lagi istilah 140 karakter karena orang bisa menulis sepanjang apa pun yang ia mau.

 

Meskipun sudah diambil alih oleh Elon Musk,  Twitter seperti masuk fase mati suri. PHK massal, perubahan kebijakan konten, fitur berbayar seperti Twitter Blue. Semuanya memunculkan kesan: Twitter lama sudah mati, dan yang tersisa sedang cari napas baru.

 

Elon Musk rebranding menjadi X: Visi Super-App dan Kebangkitan Lewat AI. Di bawah komando Musk, X dirancang untuk jadi super app sejenis aplikasi serba bisa seperti WeChat di Tiongkok. Bukan hanya tempat berbagi pikiran, tapi juga belanja, transfer uang, komunikasi, dan tentu saja AI.

 

Dan dari sinilah Grok lahir. Chatbot cerdas buatan X ini bukan sekadar fitur tambahan, tapi nyawa baru yang disuntikkan ke tubuh Twitter yang lama mati. Berbeda dari chatbot konvensional yang hidup di aplikasi terpisah, Grok langsung menyatu ke dalam linimasa X.

 

Kita semua bisa interaksi dengan Grok hanya lewat balasan tweet, mention, atau bahkan dari halaman utama. Misalnya, saat kamu bingung baca thread politik yang bertele-tele, tinggal panggil Grok untuk merangkum. Atau kamu butuh balasan sarkas buat mention yang nyolot? Grok siap bantu.

 

Bukan hanya pintar, Grok juga punya kepribadian unik seperti bisa ngelawak, nyeleneh, dan kadang nyebelin. Tapi justru itu yang bikin dia terasa hidup dan terasa seperti bagian dari kultur X, bukan sekadar mesin.

 

Transformasi ini jelas bukan tanpa tujuan. Dengan Grok sebagai ujung tombaknya, X mencoba menghidupkan kembali koneksi pengguna yang mulai lelah dengan sosial media yang monoton dan kurang variatif. Kini, interaksi bukan lagi hanya antara manusia, tapi juga dengan AI yang bisa memahami, merespons, bahkan membentuk narasi. Apakah ini berhasil? Jelas hasilnya terlihat menggembirakan.

 

Tapi satu hal yang pasti: X tidak lagi hanya platform mikroblogging. Ia sedang berevolusi menjadi ruang hidup digital baru, di mana AI bukan sekadar fitur, tapi bagian dari identitasnya.  Kini X seakan digambarkan platform yang sangat canggih di dunia AI sekaligus menarik kembali dominasinya.

 

Grok itu Bukan Bot, Ia Lebih Cerdas

Kalau kita bicara tentang “bot” dalam pengertian umum, yang terbayang biasanya adalah akun otomatis yang bisa nge-like, retweet, follow massal, atau membalas dengan skrip tertentu. Di media sosial, bot sering dipakai untuk hal-hal repetitif: dari menyebar promosi, mengatur jadwal konten, sampai menyebarkan propaganda.

 

Mereka tidak cerdas. Mereka hanya menjalankan perintah yang sudah ditentukan. Mereka tidak belajar, tidak berevolusi, dan tidak memahami konteks. Ibaratnya, bot adalah pekerja kasar digital yang sangat cepat, otomatis, tapi dangkal. Jadi kalian yang gampang dibodohi dan diarahkan itu sama saja kalian termasuk kategori bot berwujud manusia.

 

Grok beda kelas. Grok adalah kecerdasan buatan yang dibekali dengan kemampuan pemrosesan bahasa alami, pemahaman konteks, dan pembelajaran berkelanjutan. Ia bukan hanya merespons, tapi juga bisa menginterpretasi, menyimpulkan, dan bahkan menciptakan jawaban baru berdasarkan informasi yang tersedia.

 

Lebih dari itu, Grok hidup di dalam ekosistem X, bukan sebagai akun otomatis yang muncul sesekali, tapi sebagai bagian dari arsitektur platform itu sendiri. Ia bisa membaca cuitan, merangkum thread, memberi opini ala chatbot dengan kepribadian tertentu, dan tampil seolah-olah ikutan masuk sirkel atau nimbrung dalam percakapan publik.

 

Dan di sinilah perbedaannya menjadi lebih signifikan: bot itu satu arah, sedangkan Grok dua arah bahkan multidimensi. Bot hanya mengeksekusi perintah, sedangkan Grok bisa memengaruhi. Bot hanya menyalurkan pesan, Grok bisa membangun narasi. Ini bukan sekadar upgrade teknologi. ini adalah pergeseran cara interaksi digital terjadi.

 

Tapi, justru karena itulah kita harus waspada. Semakin pintar AI, semakin besar pula kemampuannya membentuk persepsi. Grok mungkin terlihat lebih manusiawi dari bot, tapi ia tetaplah sistem yang bekerja untuk platform, dibentuk oleh kebijakan, dan diarahkan untuk tujuan tertentu.

 

Singkatnya Grok bukan bot. Ia jauh lebih kompleks, lebih canggih, dan lebih berpengaruh. Justru karena itulah, ia perlu lebih banyak dikritisi.

 

Bagaimana Cara Grok Bekerja dalam Jaringan X?

Tapi ya, yang namanya data mining ini sering banget disalahpahami. Banyak orang langsung mikirnya negatif, seolah-olah data mining itu selalu soal mata-mata digital atau penyalahgunaan data pribadi. Padahal kenyataannya nggak sesempit itu. Data mining, pada dasarnya, adalah proses menggali pola tersembunyi dari tumpukan data besar yang kita hasilkan setiap hari.

 

Di dunia bisnis, teknik ini udah dipakai lama banget buat hal-hal yang bermanfaat: mulai dari strategi pemasaran yang lebih tepat sasaran, memprediksi tren penyakit di sektor kesehatan, sampai mendeteksi pola penipuan keuangan sebelum terjadi.

 

Artinya, data mining itu bisa jadi alat yang sangat berguna asal dipakai secara etis dan transparan. Masalahnya baru muncul ketika praktik ini bergeser ke dunia pelatihan AI modern, seperti yang dilakukan oleh X lewat Grok.

 

Di sini, data mining nggak lagi terbatas pada angka-angka atau formulir yang jelas struktur dan tujuannya. Yang ditambang sekarang adalah isi tweet kamu, gambar yang kamu unggah, balasan iseng yang kamu tulis jam 2 pagi, bahkan pola kamu scroll timeline. Ini mah terlalu personal!!

 

Dan di sinilah garis batas mulai kabur. Grok, misalnya, memanfaatkan miliaran interaksi pengguna sebagai bahan baku. Tapi berapa banyak dari kita yang benar-benar sadar, apalagi setuju, bahwa semua itu digunakan untuk mendidik algoritma?

 

Dalam kasus X dan Grok, pengguna opsi sehingga semua aktivitas langsung dikonsumsi oleh mesin pembelajar, bahkan tanpa notifikasi yang jelas. Ini yang membuat praktiknya terasa seperti kita sedang membayar dengan data, tanpa tahu apa yang kita beli.

 

Di tengah ledakan teknologi yang katanya demi kenyamanan, justru kontrol pengguna makin lama makin dikikis. Ironisnya, semua itu terjadi dalam diam, di balik layar, dan di balik syarat dan ketentuan yang tak pernah benar-benar kita baca.

Masalah di Grok dari Twitter: Persetujuan atau Paksaan?

Inilah titik paling krusial dalam drama digital bernama Grok: apakah kita benar-benar memberi persetujuan, atau cuma dipaksa setuju? Kebijakan terbaru dari X (dulu Twitter) jadi sorotan karena disebut sebagai bentuk consent by coercion. Alias persetujuan yang sebenarnya bukan pilihan, tapi ultimatum. Kalau kamu mau tetap pakai platformnya, ya datamu harus rela dipakai. Gak setuju? Ya, tinggalin aja.

 

Bandingkan dengan raksasa digital lain seperti Google, Meta, atau bahkan TikTok. Meski mereka juga dikenal hobi memanfaatkan data pengguna, setidaknya mereka masih kasih opsi opt-out meskipun sering tersembunyi jauh di pengaturan yang harus kamu klik tujuh kali dulu buat nemuinnya. Tapi tetap ada celah buat bilang tidak.

 

Sedangkan X? Gak ada ruang negosiasi. Gak ada tombol ‘keluar dari pelatihan AI’. Gak ada pengaturan ‘jangan gunakan data saya’. Kamu seperti tinggal di rumah mewah, tapi semua jendelanya transparan dan kamarmu gak bisa dikunci. Kamu nyaman, tapi terus diawasi. Ketika semua itu dibungkus dengan bahasa legal yang rumit, kita dipaksa untuk mengangguk, bahkan tanpa benar-benar tahu apa yang kita setujui. Ini menurut saya bahaya karena batas privasi sudah sangat tipis.

 

Apa yang Kita Lakukan Buat Mengawasi Grok?

Grok memang menawarkan kecanggihan yang luar biasa, tapi di balik semua fitur pintarnya, ada pertanyaan besar yang perlu kita hadapi sebagai pengguna: sejauh mana kita sadar bahwa data kita sedang dikumpulkan dan digunakan untuk melatih AI. Jadi di sini Grok bukan sekadar alat bantu, tapi bagian dari sistem yang belajar dari setiap interaksi kita.

 

Ada sejumlah cara yang menurut saya cukup berguna, misalnya saja batasi unggahan pribadi, hati-hati dengan informasi sensitif, dan kalau perlu, gunakan akun alternatif untuk menjelajah. Tak kalah penting, jangan diam. Suara publik tetap punya kekuatan karena AI itu tidak selamanya netral kadang ia bias sama dengan manusia.

 

Desakan dari komunitas pengguna bisa menjadi tekanan agar X lebih transparan dan adil. Maka, tak ada salahnya membuat thread, mengirim kritik ke tim support, atau sekadar menyebarkan kesadaran ini ke orang lain. Karena pada akhirnya, ini bukan cuma soal Grok. Ini soal masa depan interaksi digital kita. Kita juga perlu mendukung upaya regulasi yang melindungi hak pengguna dan memastikan teknologi tidak berkembang seenaknya.

 

Dunia digital seharusnya memberi kendali ke tangan pengguna, bukan mengambilnya secara diam-diam lewat fitur canggih yang dibungkus dalam ilusi kenyamanan. Kita perlu mengingat bahwa kita bukan produk. Kita punya kendali. Bila saja teknologi mulai membuat kita merasa sebaliknya, mungkin inilah saatnya untuk mengevaluasi ulang dan mempertimbangkan ulang posisi kita dalam ekosistem digital yang makin agresif ini.

Apakah Grok ini AI netral atau Settingan?

Satu hal yang sering dilupakan ketika kita bicara soal kecerdasan buatan adalah: AI tidak pernah benar-benar netral. Grok, seperti AI lainnya, dibentuk dari data dan data itu berasal dari manusia. Dari postingan, opini, balasan, bahkan meme dan argumen di tengah malam yang kita lemparkan ke dunia maya.

 

Maka ketika Grok menyerap miliaran interaksi pengguna, yang sebenarnya dia pelajari adalah versi dunia dari sudut pandang para penggunanya. Itu bukan netralitas tapi wujud dari representasi sosial yang kompleks, penuh kecenderungan. Bagi saya Grok mirip keinginan dari ownernya sekarang yang Elon Musk yang cukup vokal pada sejumlah isu. Sehingga visi perusahaan berjalan sesuai dengan keinginan dia.

 

Buat yang belum tahu, AI sekelas Grok bisa disetting untuk menghindari topik tertentu, menahan respons pada isu-isu sensitif, atau bahkan menyelaraskan jawabannya dengan nilai-nilai platform. Ini bukan konspirasi, tapi praktik umum dalam pengembangan AI berbasis platform, di mana citra perusahaan dan kepentingan bisnis jadi pertimbangan utama dalam desain algoritma.

 

Ada hal yang sulit saat kita bertanya pada Grok pengguna tidak pernah tahu kapan AI sedang bicara atas nama kecerdasan atau atas nama kepentingan. Saat Grok memberi jawaban yang terasa aman, sopan, atau diplomatis, kita tidak tahu apakah itu hasil pemrosesan netral atau karena ada batasan sistem yang sengaja dipasang.

 

Di balik antarmuka yang ramah dan jenaka, Grok tetaplah entitas yang bisa diarahkan, dibatasi, bahkan dibungkam jika perlu.

 

Inilah kenapa kita perlu lebih kritis saat berinteraksi dengan AI, apalagi yang terintegrasi langsung ke dalam platform sosial seperti X. Karena berbeda dengan mesin pencari atau chatbot biasa, Grok hidup di dalam percakapan publik, menyerap dan mempengaruhi secara langsung. Dia bisa menyatu dalam diskusi, membentuk opini, bahkan mempengaruhi cara kita merespons sebuah isu. Dan kalau ia bisa disetting maka secara tidak langsung, opini kita pun bisa ikut diarahkan, perlahan tapi pasti.

 

Jadi, apakah Grok netral? Jawabannya jelas: tidak sepenuhnya. Grok adalah representasi dari data yang tidak steril, dibentuk oleh sistem yang punya arah. Pertanyaannya bukan lagi apakah ia bisa diatur, tapi siapa yang mengatur dan untuk kepentingan apa?

 

Di era di mana opini publik sering kali terbentuk lebih cepat lewat platform digital dibanding media tradisional, pertanyaan ini bukan cuma penting tapi krusial. Karena ketika AI mulai membentuk cara berpikir kita, kita perlu memastikan bahwa kita masih punya ruang untuk berpikir sendiri.

 

Kesimpulan Akhir

Grok bukan sekadar chatbot pintar di tengah linimasa. Ia adalah wujud nyata dari ambisi digital sebuah platform yang sedang berevolusi menjadi sistem yang hidup dan terus belajar dari kita penggunanya. Kehebatannya bukan cuma terletak pada kemampuan menjawab, merangkum, atau berinteraksi. Grok tumbuh dari miliaran percakapan sosial, dari data yang kita hasilkan setiap detik, tanpa kita benar-benar tahu kapan dan bagaimana itu dimanfaatkan.

 

Grok bukan bot biasa. Ia jauh lebih kompleks, lebih responsif, bahkan seperti manusia. Justru di sinilah kita harus lebih waspada. Karena semakin canggih sebuah AI, semakin halus pula cara ia mempengaruhi. Grok bisa disetting, diarahkan, dan dibungkam.

 

Ia bisa terlihat netral, padahal diam-diam menyesuaikan diri dengan nilai-nilai dan kepentingan sang pemilik platform. Kecerdasannya tak pernah sepenuhnya bebas. Selalu ada desain, dan di balik desain, ada kepentingan yang tak kita sadari. Ia cerdas tapi ia bisa mengelabuhi kita kapan saja.

 

Semoga tulisan saya ini menginspirasi kita semua, Akhir kata, have a nice days.

Share:

Monday, June 23, 2025

Bagaimana Dark Factory Siap Gantikan Peran Manusia

Pada tahun 1955 seorang penulis kisah fiksi bernama Philip. K. Dick mengeluarkan karya fiksi fenomenalnya bernama: Autofac. Tak ada yang aneh sebab Philips memang terkenal dengan karya-karya fiksi. Dalam kisah fiksinya tersebut, ia menggambarkan dunia  di masa depan akan penuh dengan pabrik-pabrik. Tak ada lagi manusia di sana, semuanya bekerja otomatis yang dikendalikan oleh mesin.

 

Dalam novel fenomenal miliknya tersebut, ia menggambarkan pabrik pada masa itu dirancang sedemikian rupa tak perlu lagi kontrol oleh manusia. Bahkan, dalam karya itu, manusia berusaha menghentikan operasi pabrik, namun sistem otomatis yang telah dibuat justru menolak dan terus bekerja, seolah-olah telah memiliki kesadarannya sendiri.

Share:

Tuesday, June 10, 2025

Impian Punya Rumah Mewah di Jantung Kota Medan

Kalau kamu tinggal di Medan atau sekitarnya, pasti udah nggak asing lagi sama macetnya jalanan, suara klakson yang saling sahut-sahutan. Sampai ke rumah bisanya tepar karena capek banget menghadapi macet saat pulang dan pergi.

 

Itu belum lagi mendengar kasus kriminalitas yang bikin geleng-geleng kepala. Makanya banyak yang melabeli Kota Medan sebagai Gotham City versi kearifan lokal. Pulang larut malam dikit jadi waswas, sebisa mungkin sebelum malam sudah tiba di rumah

Share:

Wednesday, May 21, 2025

Sunday, May 18, 2025

Bagaimana Mata Sangat Penting. Sakit Mata Saatnya Pakai Insto

Memasuki kepala tiga, jelas sesuatu yang rawan. Ada banyak yang harus dibatasi, apalagi erat dengan aktivitas fisik. Usia segitu sudah pasti tak selincah dulu, sendi-sendi sudah capek diajak kerja keras sejak memasuki belasan hingga dua puluhan. Gerakan pun sudah lambat dan bila cedera, proses sembuhnya lama. Sedangkan dulu, gas terus selagi masih muda.

Share:

Kenalan Blogger

My photo
Blogger & Part Time Writer EDM Observer