Thursday, July 10, 2025

Dari Rumah Kecil untuk Mimpi Besar: Kisah 3R dan Pustaka Kampung Impian

Waktu menunjukkan pukul 14:00 siang, ini merupakan tahun ketiga saya datang ke Rumah Relawan Remaja (3R). Lokasi yang menjadi taman wisata buat para anak-anak sekitar. Dulunya merupakan daerah di pinggiran Kota Banda Aceh, perlahan kini sekitar sudah penuh sesak dengan pertokoan dan perumahan warga.

 

Lokasi 3R berada di sebuah gang sempit dan terlihat jelas sebuah bangunan 3 lantai yang terbuat dari kayu furnitur. Setiap bagiannya diberikan hiasan warna-warna, sekretariat 3R tertera tulisan: Rumah Baca. Pada lantai pertama berupa dapur besar dan ruang makan, ini menjadi tempat diskusi santai.

 

Selanjutnya di lantai dua, merupakan ruangan khusus yang diperuntukkan untuk proses belajar, berkarya hingga berdiskusi. Sedangkan lantai 3 diperuntukkan ruang tidur para anak-anak muda yang mengikuti camp.

 

Sekretariat 3R sangat hidup dengan sejumlah buku berbagai segmen usia. Pengunjung juga dimanjakan dengan Majalah Dinding karya anak-anak kampung impian. Saya yang datang ke sana, pertama sekali terperanjat dengan sejumlah karya yang terpampang di sana.

 

Setiap dinding dipenuhi dengan berbagai ornamen seni, bahan baku yang digunakan umumnya dari bahan daur ulang yang tak terpakai. Konsep daur seakan memberikan kesan hidup dan berkonsep open house. Ukiran kayu seakan menyerap panas yang datang, daerah yang kini sudah padat rumah penduduk itu seakan memberikan sirkulasi udara, baik untuk pengunjung yang datang terutama kegiatan di siang hari.

 

Cuaca siang itu cukup terik, namun di bangunan 3R saya tak merasakan hawa panas. Bahkan yang terlihat wajah serius relawan dalam mempersiapkan proyek. Tergambar wajah serius dan tidak lelah hingga akhirnya saya melihat seorang wanita yang menyapa saya. Beliaulah Kak Rahmiana Rahman.

 

Perkenalan saya telah lama dan terjalin hubungan dengan 3R. Ada banyak kegiatan yang di sana terlibat, dari pameran buku, mengajar anak-anak di sana hingga kelas belajar blog bersama mereka. Rasanya seakan siapa saja yang bisa membagikan ilmu ke sana seakan tak ada sia-sianya. Kak Rahma dan para penghuni lainnya dengan tangan terbuka menyambut siap saja.

 

Melihat Aksi dan Kegiatan di Pustaka Impian

Pertemuan saya dengan Kak Rahmiana Rahman, penggagas Pustaka Kampung Impian sekaligus trainer dari Global Ecobrick Alliance, berlangsung di tengah aktivitas penuh makna. Di lantai atas dari bangunan 3R tersebut sejumlah kegiatan positif dilaksanakan. Saya pun cukup sumringah karena sedang ada pelatihan khusus yaitu pematangan teknik Ecobrick yang mempertemukan para relawan muda dengan praktik nyata pengelolaan sampah plastik menjadi sesuatu yang bernilai dan ramah lingkungan.

Di rumah yang penuh semangat ini, Ecobrick bukan sekadar teknik, melainkan gaya hidup: mengolah, mendaur, dan mengedukasi. Semua peserta sangat antusias dengan tugas yang mereka laksanakan. Teknik yang diajarkan berupa pengisian botol plastik bekas dengan sampah plastik non-organik secara padat dan merata, hingga mencapai berat ideal agar dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan ramah lingkungan.

 

Selain teknik dasar pengisian, peserta juga diajarkan cara memilah plastik berdasarkan jenis, membersihkan sebelum digunakan, serta prinsip keamanan dan kekuatan dalam menyusun Ecobrick menjadi modul bangunan sederhana seperti kursi, meja, atau dinding taman.

 

Kenapa sih peserta didik dari 3R sangat penting paham Ecobrick?

Kak Rahmi pun bercerita bahwa dari belajar Ecobrick seakan merepresentasikan nilai-nilai inti yang dipegang teguh komunitas ini  yakni: kesederhanaan, kepedulian terhadap lingkungan, dan pendidikan yang membumi. Dalam praktiknya, Ecobrick bukan hanya solusi kreatif mengatasi sampah plastik yang sulit terurai, tetapi juga menjadi media belajar bagi anak-anak dan relawan untuk memahami siklus sampah dan tanggung jawab ekologis.

 

Lewat Ecobrick, 3R mengajak masyarakat sekitar untuk terlibat aktif dalam proses daur ulang yang menyenangkan dan edukatif. Ini sejalan dengan visi 3R sebagai rumah pembelajaran hidup, di mana kegiatan sederhana seperti mengisi botol plastik bisa menumbuhkan kesadaran akan keberlanjutan, kolaborasi, dan cinta terhadap bumi.

 

Kak Rahmi dan Awal Mula Jadi Bagian dari Dunia Relawan

Kak Rahmi menyadari sejak awal bahwa menjadi relawan bukanlah perkara ringan. Ia paham betul berbagai tantangan yang dihadapi anak-anak di pelosok terutama karena kondisi mereka yang jarang tersorot dan luput dari perhatian publik. Media sosial pun menjadi senjatanya untuk menyuarakan potret kehidupan mereka: anak-anak yang bermain di alam, belajar dengan antusias, dan tetap bersemangat meski fasilitas terbatas.

 

Di mata anak-anak itu, gawai masih terasa asing. Namun setiap kali ada tamu dari luar yang datang, semangat mereka langsung menyala. Ada secercah harapan yang terlihat di mata mereka—haus akan pengetahuan, keinginan untuk belajar lebih banyak. Dari sinilah, berbagai ide mulai bermunculan di benak Kak Rahmi. Ia kemudian menggagas program SIGi, sebuah gerakan yang berfokus pada berbagi kebaikan di berbagai pelosok negeri. Program ini berkembang dan menjangkau banyak wilayah di Indonesia.

 

Pengalaman di Makassar yang penuh dengan gugusan pulau indah ternyata bersambut dengan kondisi serupa di Aceh. Di Aceh, Kak Rahmi melihat kenyataan pahit: masih banyak desa di wilayah pesisir dan pulau-pulau terluar yang belum tersentuh akses pendidikan yang layak. Bahkan di wilayah yang cukup dekat seperti Peukan Bada, masih banyak anak-anak yang belum mendapatkan kesempatan belajar secara optimal.

 

Melihat kondisi ini, ia kemudian mendirikan The Floating School (TFS), ini adalah sebuah inisiatif pendidikan alternatif yang bergerak dari desa ke desa, dari satu wilayah terpencil ke wilayah lainnya. Di Aceh, TFS menjadi langkah konkret untuk menjangkau anak-anak yang putus sekolah. Sekolah ini tidak hanya mengajar di ruang kelas, tetapi juga menghadirkan metode pembelajaran berbasis alam, keterampilan hidup, dan kebiasaan membaca.

 

Dari program ini, lahirlah inisiatif yang lebih permanen dan berdampak panjang yaitu Pustaka Kampung Impian. Program ini tak hanya menyediakan buku bacaan untuk anak-anak di desa, tetapi juga menempatkan para relawan pustakawan untuk tinggal dan mengabdi langsung. Mereka menjadi teman belajar, pendamping, sekaligus inspirator bagi anak-anak di pelosok.

 

Hingga kini, sudah ada lima Pustaka Kampung Impian yang berdiri, dari Klieng Cot Aron di Aceh Besar yang letaknya tak jauh dari sekretariat 3R, hingga ke Baling Karang, sebuah desa terpencil di Kecamatan Sekerak, Aceh Tamiang. Setiap pustaka membawa cerita, tantangan, dan harapan yang berbeda. Namun semuanya bermuara pada satu hal: memastikan anak-anak di pelosok tidak tertinggal dalam hak mereka untuk belajar dan bermimpi.

 

Jatuh Hati dan Berdedikasi Penuh di Dunia Relawan

Perkenalan pada dunia relawan Kak Rahmi dimulai sejak remaja, aktif dibanyak kegiatan di luar kampus. Kecintaan pada organisasi pecinta alam seakan punya korelasi besar pada hal tersebut. Dunia inilah yang mempertemukan Kak Rahmi dengan Bang Romi, sedari membangun cita-cita mereka mencerdaskan anak-anak di pelosok.

 

Pertemuan di tahun 2017 tersebut, membuat Kak Rahmi menetap di Aceh. Membangun keluarga kecil yang jadi cikal-bakal pusat aktivitas komunitas Rumah Relawan Remaja (3R).  Nama 3R dipilih sebagai harapan komunitas itu menjadi rumah bersama para pemuda. Hingga kini sekitar 300 pemuda dan mahasiswa telah menjadi relawan dalam banyak program 3R.

Di rumah beliau yang berlokasi di Desa Lam Lumpu, Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar. Lokasi tersebut disulap sedemikian rupa menjadi perpustakaan dan tempat belajar anak-anak sekitar. Segudang visi besar dalam membagikan pengetahuannya terhadap dunia edukasi. Selaras dengan pendidikan Magister pendidikan yang diselesai di Universitas Negeri Makassar.

 

Menjadi relawan di Aceh masih terdengar asing, semangat mengabdi di kalangan milenial seakan tergerus oleh zaman. Segala perjuangan pasti akan membuahkan hasil, kisah Cut Nyak Dhien dulu melawan penjajah bersama Teuku Umar seakan menjadi bentuk perjuangan tanpa pamrih menjaga negeri.

 

Kini semangat perjuangan bergeser dari arah melawan penjajah ke dalam bentuk melawan ketidaktahuan dan pemerataan pendidikan. Pemerintah sering sekali kurang memperhatikan hidup masyarakat pelosok dan terluar dari NKRI. Bang Romi dan Kak Rahmi punya inisiasi besar dalam hal menginisiasikan semangat dalam mendidik anak-anak di daerah tersebut.

Saya pun mencoba bertanya, mengapa Kak Rahmi mau tinggal dan berkeluarga. Apalagi Aceh kala itu baru sembuh dari dua kejadian besar. Pertama konflik berkepanjangan yang membuat orang Aceh sedikit menutup diri dengan pendatang. Serta Gempa Bumi dan Tsunami di 2004, secara sarana dan prasarana hancur lebih. Berbeda jauh dengan tempat beliau lahir di Makassar.

 

Perlahan-lahan beliau menjawab, masalah lokasi dan letak bukan kendala. Di Sulawesi Selatan pun, beliau sudah memberdayakan lokasi yang jauh dan kecintaan pada alam serta relawan. Seakan dimensi letak bukan jadi kendala.

 

Hingga akhirnya di Aceh beliau bertemu dengan jodoh yaitu Romi Saputra yang punya minat kuat di dunia relawan. Kolaborasi dengan beliau ibarat saling mengisi satu sama lain, Kak Rahmi cekatan dalam deal dan negoisiasi di organisasi sedangkan Bang Romi punya kecekatan dalam bekerja dan menghimpun relawan untuk bergerak bersama.

 

Rumah Relawan Remaja: Tempat Tumbuhnya Cinta, Ide, dan Gerakan

Di balik sebuah gang sempit di Aceh Besar, berdiri sebuah rumah yang sederhana tapi sarat makna: Rumah Relawan Remaja (3R). Rumah ini bukan sekadar tempat tinggal atau sekretariat komunitas, tetapi menjadi ruang hidup tempat ide-ide besar tumbuh dan berproses. Didirikan pada tahun 2013 oleh Perdana Romi Saputra, suami dari Kak Rahmi, 3R lahir dari semangat untuk membangun komunitas yang hidup sederhana namun berdampak besar.

 

Lebih dari sekadar komunitas sosial, 3R hadir sebagai wadah belajar hidup bersama. Di sinilah anak-anak muda dari berbagai latar belakang datang dan saling mengenal dalam suasana kekeluargaan. Mereka belajar tentang makna kemanusiaan, pentingnya kerja kolektif, serta bagaimana menjalani hidup yang adil, damai, dan penuh makna.

 

Nilai-nilai utama yang ditanamkan di 3R tidak diajarkan melalui teori, tapi lewat praktik sehari-hari: bekerja dengan cinta, gotong royong, mengelola konflik, menjalin kemitraan, dan belajar mengorbankan ego demi tujuan bersama. Lima prinsip inilah yang menjadi fondasi kuat bagi setiap relawan yang datang dan pulang dengan hati yang lebih luas.

 

Pertama, cinta adalah bahan bakar utama. Di 3R, segala sesuatu dimulai dari hati. Ketika pekerjaan dilakukan atas dasar cinta, maka sekecil apa pun tugas akan terasa ringan dan bermakna. Cinta pula yang menuntun relawan menemukan panggilan hidupnya.

 

Kedua, kerja tim menjadi cara utama untuk mewujudkan visi. Relawan diajak untuk saling menopang, bukan saling menonjolkan diri. Seperti sapu lidi yang kuat karena diikat bersama, kerja kelompok di 3R menyatukan kekuatan dan meredam ego.

 

Ketiga, relawan belajar mengelola konflik. Dalam hidup bersama, perbedaan pasti muncul. Namun, konflik di 3R bukan dianggap masalah, melainkan ruang belajar dalam mengenal diri, memahami orang lain, dan menyatukan pandangan demi tujuan yang lebih besar.

 

Keempat, 3R mendorong kolaborasi. Setiap orang punya keahlian unik. Dengan bersinergi, tantangan yang tampak rumit bisa dipecahkan bersama. Di sinilah relawan belajar saling mengisi dan menghargai kontribusi masing-masing.

 

Dan terakhir, yang paling penting, adalah kemampuan untuk mengorbankan diri sendiri (self-denial). Menjadi relawan berarti siap bekerja untuk orang lain, tanpa pamrih. Di titik inilah ketulusan diuji, dan dari sini pula keteguhan dan keikhlasan tumbuh kuat.

 

Rumah Relawan Remaja bukan hanya tempat ide Pustaka Kampung Impian dilahirkan, tetapi juga tempat banyak jiwa muda ditempa untuk menjadi pribadi yang berdampak. Di sinilah, semangat “Satukan Gerak, Terus Berdampak” benar-benar hidup—dalam senyuman anak-anak, dalam karya ecobrick, dalam setiap buku yang dikirim ke pelosok, dan dalam cerita-cerita kecil yang terus bergulir dari rumah sederhana bernama 3R.

 

Memberdaya Budaya Membaca dan Kesederhanaan Sejak Dini

Sebagai seorang ibu, jelas Kak Rahmi dituntun untuk multi tasking dalam banyak hal. Mengurusi segala kebutuhan teknis dan non teknis berkaitan dengan Pustaka Kampung Impian. Tanpa melupakan dua buah hatinya.

 

Beliau pun mengajarkan sejak dini buah hatinya dengan bersahabat dengan alam, membaca, dan tentunya berkarya. Saat Kak Rahmi sedang sibuk mengurusi proses Ecobrick serta menidurkan si Kecil. Saya pun ditemani Salam, anak tertua dari Kak Rahmi.

 

Ia punya perbendaharaan kata yang sangat banyak meskipun belum genap 5 tahun. Ia mengajak saya mengeksplorasi setiap sudut sekretariat 3R. Memperlihatkan karya-karya anak kampung impian hingga akhirnya meminta permintaan sulit yaitu Menggambar.

 

Bang… Gambar Kereta Api Listrik Jepang..!!

Bang… Gambar Mobil Balap…!!!

 

Satu jam bersama Salam akhirnya saya banyak belajar, tumbuh kembang dan karakter anak bisa dibentuk sejak dini. Kebiasaan membaca dan berkarya jadi cerminan anak-anak dalam mengeksplorasi daya pikir dan imajinasinya. Ini jadi modal berharga di usia dewasanya kelak.

Kak Rahmi juga sering bercerita pada anak-anaknya sebelum tidur. Cerita yang ia dapatkan dari beragam buku yang dibeli di toko buku. Tak berhenti di situ saja, di kanal Youtube miliknya, beliau berbagai review buku pada sejumlah pegunjung. Buku-buku tersebut bisa jadi referensi para ibu lainnya dalam membeli buku.

 

Sama halnya dengan anak-anak yang hidup di pelosok dan terpencil negeri. Mereka punya segudang kemampuan, hanya saja media belajar yang terbatas seakan tak bisa mengeluarkan potensi terbaiknya.

 

Kak Rahmi juga mengajarkan nilai kesederhanaan dan rasa syukur. Untuk bisa masuk ke masyarakat dibutuhkan nilai kesederhanaan yang tulus. Mereka seakan yakin atas niat tulus kita dalam membangun negeri. Visi inilah yang membuat Pustaka Kampung Impian bisa menjangkau hingga ke pelosok Aceh.

 

Berbagai Kebaikan Melalui Sosial Media

Selain sebagai pegiat literasi, Kak Rahmi juga tergolong pegiat sosial media. Setiap kegiatannya berkaitan dengan 3R selalu beliau bagikan di sosial media. Ini seakan mendorong anak muda lainnya tertarik mengetahui kegiatan yang beliau lakukan.

 

Tak hanya yang berkaitan dengan Pustaka Kampung Impian saja. Ada pengalaman mengolah botol dan plastik menjadi barang berharga, mengelola kebun organik, hingga hunting buku terbaru di toko buku. Beliau sadar bahwa generasi milenial dan di bawahnya akan termotivasi atas nilai positif yang kita bagikan.

 

Pertama mereka penasaran, lalu tertarik, dan kemudian jadi bagian dalam kegiatan yang beliau laksanakan. Saya termasuk salah satunya yang tertarik dalam program yang dulunya bernama The Floating School.

 

Pengalaman bisa ke salah satu pulau terpencil di Aceh. Pulo Aceh menawarkan tantangan dan pariwisata, beliau mengemasnya dalam program mengajar buat anak muda yang ingin menyalurkan ilmunya. Relawan senang dan anak-anak mendapatkan ilmu pengetahuan yang sebelumnya belum mereka tahu.

 

Sosial media juga beliau gunakan dalam membagikan perkembangan sang buah hati. Beliau bercerita banyak kepada saya tentang parenting kedua buah hatinya. Sejak dini mereka ditanamkan nilai kejujuran, kesederhanaan, keingintahuan, dan eksplorasi diri. Ini jadi modal sang anak saat besar, saat banyak orang tua kini yang mengedepankan nilai individualis dan kapitalis.

 

Kini ada banyak kegiatan yang beliau bagikan, semua tak jauh-jauh dengan buku. Semua yang berbau dengan bacaan seakan jadi santapan. Terbaru ada sejumlah lomba menulis yang diperlombakan untuk para penulis Aceh. Di sana ada banyak penulis muda yang siap unjuk gigi di dunia literasi, tulisan terbaik akan dibukukan sebagai wujud buku Antologi yang menambah koleksi bacaan.

 

Mimpi Berdirinya Pustaka Kampung Impian

Berdirinya Pustaka Kampung Impian di lima lokasi tersebut tentunya tidak bisa dilaksanakan Kak Rahmi dan Bang Romi semata. Butuh banyak tangan-tangan yang peduli yang bisa mendonasikan, menyalurkan, dan mengajarkan.

 

Wadah 3R jadi kesempatan para relawan turut serta dalam Rekrutmen Relawan Pustaka Kampung Impian. Menjadi guru impian dalam kelas edukatif dan interaktif. Persyaratannya tidaklah sulit, pustakawan yang terpilih cukup berkomitmen, menyukai dunia pendidikan, peduli pada anak-anak dan belum berkeluarga.

 

Nantinya selama setahun, pustakawan pilihan akan ditempatkan di lokasi pustakawan yang ada di Aceh. Makin sulit medan penempatannya, jelas membuat pustakawan bisa menularkan pengalaman setahunnya saat kembali ke masyarakat.

Penulis juga sempat mewawancarai pustakawan yang telah bertugas, mereka bercerita banyak bahwa setahun itu terasa spesial. Mulai dari perjalanan menuju desa tempat Pustaka Impian berdiri, berbaur dengan masyarakat sekitar, hingga bertemu anak-anak kampung di sana.

 

Mereka mengajarkan banyak hal dan semangat apa anak-anak di sana. Mulai dari mengajarkan membaca, menggambar, hingga pidato. Pustakawan juga mengajarkan pada anak-anak bahwasanya:

 

Proses belajar mengajar tak harus di dalam kelas saja tapi juga di alam terbuka

 

Para pustakawan nantinya akan membentuk sejumlah kelas, mulai dari kelas Membaca Dasar, Membaca Lanjut, Menulis, Kesenian Tradisional, Prakarya, dan Kelas Fotografi. Selain kelas untuk anak-anak, para pemuda-pemudi diperuntukkan pada kelas fotografi dan menjahit serta kelas bersama ibu-ibu.

 

Jendala Dunia Bernama Pustaka

Di zaman serba digital nyatanya kita tak bisa membendung arus globalisasi informasi. Segudang informasi yang didapatkan di perangkat digital bersifat semu dan menjebak. Ada banyak bias informasi yang menyesatkan dan yang paling rentan adalah orang tua dan anak-anak.

 

Pustaka menjadi filter dalam menahan ketidakbenaran informasi, meskipun banyak yang beranggapan pustaka ketinggalan. Namun anggapan itu salah besar, di pustaka jadi jendela meluruskan informasi dan menyatukan pengetahuan. Dunia digital yang dinilai terlalu komersial membuat proses belajar tidak sefokus pustaka.

Inilah yang menginisiasikan lahirnya pustaka. Di daerah pedalaman, anak-anak mulai tergoda dengan game online atau berbagai hiburan yang belum layak ia konsumsi. Kehadiran pustaka juga menghapus kegundahan para ibu atas anak mereka. Serta sangat berguna selama pandemi, anak-anak bisa mengisi waktu kosong selama masa sekolah daring berlangsung lama.

 

Pada 3R tak ingin kegiatannya disusupi oleh tujuan politisasi atau embel-embel kegiatan mereka. Murni yang dilakukan untuk membantu anak-anak yang hidup di pelosok. Mereka yang polos dan tak tahu apa-apa jadi media politik orang tak bertanggung jawab. Inilah yang selalu dijaga oleh 3R.

 

Kehadiran Pustaka Kampung Impian

Membaca buku jadi gudang sumber ilmu pengetahuan, hanya saja tak semua orang bisa mengakses buku yang baik meskipun kini telah berkembang pesat akses informasi. Bagi masyarakat pedalaman, semua itu dan tersentuh.

 

Ada sejumlah wilayah terluar dan terpencil di Aceh yang masih merasakan itu semua. Anak-anak sangat kesulitan untuk bisa mendapatkan pengetahuan. Angka lanjut sekolah serupa, letak sekolah jauh, akses transportasi sulit hingga tentu saja buku. Bermain dengan alam atau membantu orang tua bekerja adalah opsi, sedangkan mengejar pendidikan harus merantau ke kota besar.

 

Pustaka Kampung Impian merupakan salah satu program belajar alternatif Rumah Relawan Remaja (3R). Program ini dilaksanakan sejak tahun 2016 di berbagai desa terpencil dan terdampak bencana, total kini telah ada sebanyak 5 desa yang menjadi penerima buku dari 3R dalam mewujudkan kampung impian.

 

Pada kelima desa tersebut, jelas akses ke sana sangatlah sulit. Pertama ada Desa Bah dan Serempah Kecamatan Ketol Kabupaten Aceh Tengah. Desa ini hampir sedekade silam pernah diguncang gempa hebat. Dampaknya adalah kedua kampung itu sampai harus direlokasi oleh Pemda setempat.

 

Efek paling terasa adalah banyak sekolah yang rusak, kehadiran Pustaka Kampung Impian pada dua desa tersebut ibarat Oase di padang pasir. Memberikan secercah harapan baru dan juga menghilangkan traumatik korban pasca gempa. Buku-buku sumbang jadi modal berharga anak-anak belajar menggapai impian tersebut.

 

Lokasi kedua kemudian bergeser ke Baling Karang, Kecamatan Sekerak, Kabupaten Aceh Tamiang. Berdiri sebuah bangunan rumah panggung dengan ornamen dan corak warna-warni. Lokasi inilah yang menjadi lokasi Pustaka Kampung Impian anak-anak setempat. Makin terlihat indah saat menghadap ke arah Pantai Baling Karang yang mengalir deras Sungai Tamiang.

 

Pantai Barat Aceh pun tak ketinggalan berdiri Pustaka Kampung Impian, Berlokasi di Dusun Sarah, Desa Alue Keujruen, Kemukiman Manggamat, Aceh Selatan. Meskipun berada di tengah rimba, akses yang bisa menembus dusun tersebut hanya menggunakan perahu yang hilir mudik di aliran Sungai Kluet.

 

Perjalanan pustakawan ke sana sangat sulit, meskipun jarak lurusnya hanya 11 mil dari Kota Tapak Tuan, tak ada akses lainnya selain menggunakan perahu motor. Perjalanan bisa memakan waktu 2 sampai dengan 3 jam, melawan arus Sungai Kluet untuk mengantarkan buku-buku ke pustaka di sana.

 

Dan dua terakhir berada di Aceh Besar, pertama adalah Pustaka Kampung Impian di Klieng Cot Aron, Kabupaten Aceh Besar. Menjadi lokasi Pustaka Kampung Impian yang paling mudah dijangkau dan terletak tak jauh dari sekretariat 3R. Saat proses peresmian, penulis termasuk salah satu orang yang hadir dan melihat sebuah Pustaka Kampung buat anak-anak sekitar.

 

Terakhir tentunya, Pustaka Kampung Impian di Desa Lapeng, Pulo Aceh, Kab. Aceh Besar. Sebagai salah satu pulau terluar sebelah barat Indonesia, Pulo Aceh jelas sangat tertinggal dalam berbagai hal. Aspek pendidikan jadi fokus utama, ada banyak anak-anak Desa Lapeng yang putus sekolah dan bisa mendapatkan akses pengetahuan.

 

Tahun 2018, sebuah bangunan panggung sederhana akhirnya berdiri di tengah Desa Lapeng. Bangunan ini jadi sebuah wujud pustaka, sesuatu yang didambakan oleh anak-anak setempat. Desa Lapeng pun sebelumnya telah rutin dikunjungi terutama dalam mengajar anak setempat.

 

Melalui program yang digagas oleh Kak Rahmi terlebih dulu yaitu Program The Floating School (TFS) Aceh merekrut para anak muda dari berbagai lini keahlian untuk ikut serta mengajar dan berbagi inspirasi secara suka rela kepada adik-adik Pulo Aceh dalam dua kelas besar yaitu kelas komputer dan prakarya.

 

Tak berhenti di situ saja, Kak Rahmi bersama 3R membeli tanah di sana dan mendirikan Kebun Impian Lapeng. Sejumlah tumbuhan dan bunga ditanam pada kebun tersebut yang dikelola oleh Pustakawan yang menetap di Pulo Aceh.

 

Sesekali saat melihat Pustaka Kampung Impian di Desa Lapeng, tentunya tak lupa melihat kebun yang penuh hasil alam hampir mendekati waktu panen. Para Pustakawan yang ditempati di sana bisa menghilangkan jenuh di Pulo Aceh dengan berkebun.

 

Semua Bisa Ambil Bagian, Tak Harus Jadi Pustakawan

Kak Rahmi selalu percaya bahwa setiap orang punya cara sendiri untuk berkontribusi. Dalam program Pustaka Kampung Impian, menjadi pustakawan bukanlah satu-satunya jalan untuk ikut serta. Memang, ada beberapa syarat khusus untuk mereka yang ingin menjadi pustakawan lapangan—seperti belum berkeluarga dan siap tinggal di lokasi terpencil selama setahun penuh. Tapi jangan khawatir, pintu kontribusi tetap terbuka lebar bagi siapa saja yang ingin ikut menebar kebaikan.

 

Salah satu caranya adalah lewat jalur donatur. Banyak sekali orang baik yang telah menyumbangkan dana maupun buku-buku berharga untuk anak-anak di pelosok Aceh. Dana tersebut digunakan oleh tim 3R untuk membeli buku yang sesuai dengan kebutuhan dan tingkat pemahaman anak-anak di desa binaan. Bukan asal beli, tapi dipilih dengan penuh pertimbangan agar benar-benar berdampak.

 

Bentuk lain dari dukungan adalah mendonasikan buku-buku bekas. Di rumah kita, mungkin ada banyak buku yang sudah tak terbaca, namun masih sangat layak dan bermanfaat. Buku-buku seperti itu bisa disumbangkan ke 3R. Setelah melalui proses seleksi oleh tim, buku-buku itu akan disalurkan ke Pustaka Kampung Impian atau dipajang di sudut-sudut sekretariat 3R, yang juga berfungsi sebagai ruang baca komunitas. Buku anak, majalah pengetahuan populer, hingga buku mewarnai—semuanya punya tempat dan pembacanya masing-masing.

 

Dan jika belum bisa jadi pustakawan atau donatur, masih ada jalan lain. Kita bisa menjadi bagian dari tim distribusi, yaitu mereka yang secara langsung menyalurkan buku-buku ke lokasi pustaka. Dari yang paling dekat di Klieng Cot Aron, Aceh Besar, hingga ke pelosok paling jauh seperti Baling Karang di Aceh Tamiang. Perjalanan yang panjang memang, tapi penuh pengalaman tak terlupakan. Seperti kata Kak Mia, "Makin jauh dan menantang perjalanannya, makin banyak cerita yang bisa kalian bagikan setelahnya."

 

Karena sesungguhnya, kebaikan tak selalu harus dimulai dari hal besar. Kadang cukup dari satu buku, satu langkah, dan satu niat untuk ikut bergerak bersama.

 

Menjadi bagian dari 3R juga bisa berbagai cara salah satunya jadi mentor yang menginspirasi. Salah satunya saya menjadi mentor untuk menulis dan blog. Rasanya ada banyak potensi yang dikembangkan tak selalu di dunia membaca dan menulis secara konvensional. Blog dianggap sebagai wadah baru yang bisa digunakan oleh warga 3R. Mereka bisa menulis dan mengapresiasikan diri melalui tulisan, selain itu melatih kemampuan self writing. Ini yang kadang penulis malas lakukan, serta wujud ini juga membuat lahir keterampilan.

Saya mencontohkan di sini, peserta didik yang datang dari 3R, kemudian bisa mengasah kemampuan baru. Mereka bisa belajar cara mengedit sejumlah tools yang ada blog hingga proses panjang lainnya. Semuanya dilakukan dengan sabar dan percaya diri, tak berhenti di situ saja mereka juga akan paham cara dalam memperindah blog. Apakah dari penggunaan judul, pemilihan kalimat hingga proses editing agar enak saat di tayang.

 

Skill lainnya yang bisa hadir tentu cara dalam membuat gambar yang baik. Apakah itu datang dari kemampuan membuat gambar, mengedit gambar hingga infografis. Dalam dunia blog seorang blogger dilatih bisa banyak kemampuan dan itu terus berkembang. Saya pun sangat senang mereka sangat antusias, ada warna baru yang ditawarkan di dalam kelas. Semua menerimanya dan tentunya Kak Rahmi berjanji di masa depan akan lebih banyak peserta yang hadir.

Rahmiana Rahman: Menyatukan Gerak, Menebar Dampak dari Ujung Barat Negeri

Dalam sunyi sebuah gang sempit di Aceh Besar, ada suara yang tidak pernah padam: suara anak-anak membaca, relawan berdiskusi, dan plastik yang dipotong rapi untuk diubah menjadi ecobrick. Di balik semua itu, ada sosok sederhana yang tekun menyalakan nyala perubahan: Rahmiana Rahman.

 

Dedikasi Kak Rahmi, telah menjejak di berbagai pelosok Aceh selama tujuh tahun terakhir. Namun, akar perjuangannya jauh lebih panjang, tertanam sejak masa mudanya di Makassar, kala ia mulai menyadari bahwa pendidikan dan lingkungan adalah dua wajah dari wajah masa depan bangsa. Ia percaya, perubahan besar tidak selalu dimulai dari kota. Terkadang, ia bermula dari rumah kayu sederhana bernama Rumah Relawan Remaja (3R).

 

Upaya Kak Rahmi tak pernah setengah-setengah. Ia mendirikan Pustaka Kampung Impian, sebuah gerakan literasi yang hadir di lima desa terpelosok Aceh, dari Klieng Cot Aron hingga Baling Karang, menjawab kebutuhan anak-anak yang selama ini hidup dalam keterbatasan akses pendidikan. Tak sekadar mengirim buku, ia mengirim harapan melalui pustakawan muda yang tinggal dan mengabdi di desa, membentuk kelas, membacakan dongeng, dan menjadi teman tumbuh anak-anak di sana.

 

Namun perjuangan Kak Rahmi tidak berhenti di dunia literasi. Ia juga aktif dalam isu lingkungan dengan pendekatan khas: memberdayakan sampah menjadi karya seni bernilai guna. Plastik dan botol bekas yang semula menjadi masalah lingkungan, diubah menjadi Ecobrick  menjadi alat edukasi anak-anak. Bahkan, popok bekas buah hatinya pun ia daur ulang menjadi pot tanaman sebagai simbol bahwa tak ada yang benar-benar menjadi sampah, jika kita melihatnya dengan kasih dan kreativitas.

 

Semua inisiatif ini bukan sekadar proyek, tetapi laku hidup yang dijalani dengan tulus. Tidak heran jika namanya dua kali masuk dalam nominasi Satu Indonesia Award tingkat provinsi pada tahun 2020 dan 2021. Namun bagi banyak orang, Kak Rahmi sudah lebih dari layak untuk masuk ke panggung nasional. Ia adalah sosok yang menjawab tantangan zaman dengan kerja nyata, bukan kata-kata.

 

Di tengah gemerlap dunia digital yang sering menomorsatukan sensasi, Kak Rahmi hadir sebagai pengingat: bahwa gerak kecil yang dilakukan bersama, dengan niat tulus dan konsisten, akan terus berdampak. Ia menjadi perwujudan nyata dari semangat #SatukanGerak #TerusBerdampak sebuah nilai yang digaungkan dalam Anugerah Pewarta Astra 2025.

Dari desa-desa kecil, dari pot-pot buatan tangan sendiri, dari senyum anak-anak yang kini berani bermimpi lebih tinggi membuktikan bahwa gerak perempuan, ibu, dan relawan bisa menjadi kekuatan besar untuk membangun negeri. Di ujung barat Indonesia, ia tak sekadar memeluk cita-cita, tapi menjadikannya nyata, setapak demi setapak.

 

Nantinya semesta akan membalas semua lelah kita menjadi secercah harapan besar. Akhir kata, semoga tulisan ini menginspirasi. Have a nice days.

Share:

0 komentar:

Post a Comment

Kenalan Blogger

My photo
Blogger & Part Time Writer EDM Observer