Waktu menunjukkan pukul 14:00 siang, ini merupakan tahun
ketiga saya datang ke Rumah Relawan Remaja (3R). Lokasi yang menjadi taman
wisata buat para anak-anak sekitar. Dulunya merupakan daerah di pinggiran Kota
Banda Aceh, perlahan kini sekitar sudah penuh sesak dengan pertokoan dan
perumahan warga.
Lokasi 3R berada di sebuah gang sempit dan terlihat jelas sebuah bangunan 3 lantai yang terbuat dari kayu furnitur. Setiap bagiannya diberikan hiasan warna-warna, sekretariat 3R tertera tulisan: Rumah Baca. Pada lantai pertama berupa dapur besar dan ruang makan, ini menjadi tempat diskusi santai.
Selanjutnya di lantai dua, merupakan ruangan khusus yang
diperuntukkan untuk proses belajar, berkarya hingga berdiskusi. Sedangkan
lantai 3 diperuntukkan ruang tidur para anak-anak muda yang mengikuti camp.
Sekretariat 3R sangat hidup dengan sejumlah buku berbagai
segmen usia. Pengunjung juga dimanjakan dengan Majalah Dinding karya anak-anak kampung
impian. Saya yang datang ke sana, pertama sekali terperanjat dengan sejumlah
karya yang terpampang di sana.
Setiap dinding dipenuhi dengan berbagai ornamen seni,
bahan baku yang digunakan umumnya dari bahan daur ulang yang tak terpakai.
Konsep daur seakan memberikan kesan hidup dan berkonsep open house. Ukiran kayu
seakan menyerap panas yang datang, daerah yang kini sudah padat rumah penduduk
itu seakan memberikan sirkulasi udara, baik untuk pengunjung yang datang
terutama kegiatan di siang hari.
Cuaca siang itu cukup terik, namun di bangunan 3R saya
tak merasakan hawa panas. Bahkan yang terlihat wajah serius relawan dalam
mempersiapkan proyek. Tergambar wajah serius dan tidak lelah hingga akhirnya
saya melihat seorang wanita yang menyapa saya. Beliaulah Kak Rahmiana Rahman.
Perkenalan saya telah lama dan terjalin hubungan dengan
3R. Ada banyak kegiatan yang di sana terlibat, dari pameran buku, mengajar
anak-anak di sana hingga kelas belajar blog bersama mereka. Rasanya seakan
siapa saja yang bisa membagikan ilmu ke sana seakan tak ada sia-sianya. Kak
Rahma dan para penghuni lainnya dengan tangan terbuka menyambut siap saja.
Melihat Aksi dan Kegiatan di Pustaka Impian
Pertemuan saya dengan Kak Rahmiana Rahman, penggagas Pustaka Kampung Impian sekaligus trainer dari Global Ecobrick Alliance, berlangsung di tengah aktivitas penuh makna. Di lantai atas dari bangunan 3R tersebut sejumlah kegiatan positif dilaksanakan. Saya pun cukup sumringah karena sedang ada pelatihan khusus yaitu pematangan teknik Ecobrick yang mempertemukan para relawan muda dengan praktik nyata pengelolaan sampah plastik menjadi sesuatu yang bernilai dan ramah lingkungan.
Di rumah yang penuh semangat ini, Ecobrick bukan sekadar
teknik, melainkan gaya hidup: mengolah, mendaur, dan mengedukasi. Semua peserta
sangat antusias dengan tugas yang mereka laksanakan. Teknik yang diajarkan
berupa pengisian botol plastik bekas dengan sampah plastik non-organik secara
padat dan merata, hingga mencapai berat ideal agar dapat dimanfaatkan sebagai
bahan bangunan ramah lingkungan.
Selain teknik dasar pengisian, peserta juga diajarkan
cara memilah plastik berdasarkan jenis, membersihkan sebelum digunakan, serta
prinsip keamanan dan kekuatan dalam menyusun Ecobrick menjadi modul bangunan
sederhana seperti kursi, meja, atau dinding taman.
Kenapa sih peserta didik dari 3R sangat penting paham
Ecobrick?
Kak Rahmi pun bercerita bahwa dari belajar Ecobrick
seakan merepresentasikan nilai-nilai inti yang dipegang teguh komunitas ini yakni: kesederhanaan, kepedulian terhadap
lingkungan, dan pendidikan yang membumi. Dalam praktiknya, Ecobrick bukan hanya
solusi kreatif mengatasi sampah plastik yang sulit terurai, tetapi juga menjadi
media belajar bagi anak-anak dan relawan untuk memahami siklus sampah dan
tanggung jawab ekologis.
Lewat Ecobrick, 3R mengajak masyarakat sekitar untuk
terlibat aktif dalam proses daur ulang yang menyenangkan dan edukatif. Ini
sejalan dengan visi 3R sebagai rumah pembelajaran hidup, di mana kegiatan
sederhana seperti mengisi botol plastik bisa menumbuhkan kesadaran akan
keberlanjutan, kolaborasi, dan cinta terhadap bumi.
Kak Rahmi dan Awal Mula Jadi Bagian dari Dunia Relawan
Kak Rahmi menyadari sejak awal bahwa menjadi relawan
bukanlah perkara ringan. Ia paham betul berbagai tantangan yang dihadapi
anak-anak di pelosok terutama karena kondisi mereka yang jarang tersorot dan
luput dari perhatian publik. Media sosial pun menjadi senjatanya untuk
menyuarakan potret kehidupan mereka: anak-anak yang bermain di alam, belajar
dengan antusias, dan tetap bersemangat meski fasilitas terbatas.
Di mata anak-anak itu, gawai masih terasa asing. Namun
setiap kali ada tamu dari luar yang datang, semangat mereka langsung menyala.
Ada secercah harapan yang terlihat di mata mereka—haus akan pengetahuan,
keinginan untuk belajar lebih banyak. Dari sinilah, berbagai ide mulai
bermunculan di benak Kak Rahmi. Ia kemudian menggagas program SIGi, sebuah
gerakan yang berfokus pada berbagi kebaikan di berbagai pelosok negeri. Program
ini berkembang dan menjangkau banyak wilayah di Indonesia.
Pengalaman di Makassar yang penuh dengan gugusan pulau
indah ternyata bersambut dengan kondisi serupa di Aceh. Di Aceh, Kak Rahmi
melihat kenyataan pahit: masih banyak desa di wilayah pesisir dan pulau-pulau
terluar yang belum tersentuh akses pendidikan yang layak. Bahkan di wilayah
yang cukup dekat seperti Peukan Bada, masih banyak anak-anak yang belum
mendapatkan kesempatan belajar secara optimal.
Melihat kondisi ini, ia kemudian mendirikan The Floating
School (TFS), ini adalah sebuah inisiatif pendidikan alternatif yang bergerak
dari desa ke desa, dari satu wilayah terpencil ke wilayah lainnya. Di Aceh, TFS
menjadi langkah konkret untuk menjangkau anak-anak yang putus sekolah. Sekolah
ini tidak hanya mengajar di ruang kelas, tetapi juga menghadirkan metode
pembelajaran berbasis alam, keterampilan hidup, dan kebiasaan membaca.
Dari program ini, lahirlah inisiatif yang lebih permanen
dan berdampak panjang yaitu Pustaka Kampung Impian. Program ini tak hanya
menyediakan buku bacaan untuk anak-anak di desa, tetapi juga menempatkan para
relawan pustakawan untuk tinggal dan mengabdi langsung. Mereka menjadi teman
belajar, pendamping, sekaligus inspirator bagi anak-anak di pelosok.
Hingga kini, sudah ada lima Pustaka Kampung Impian yang
berdiri, dari Klieng Cot Aron di Aceh Besar yang letaknya tak jauh dari
sekretariat 3R, hingga ke Baling Karang, sebuah desa terpencil di Kecamatan
Sekerak, Aceh Tamiang. Setiap pustaka membawa cerita, tantangan, dan harapan
yang berbeda. Namun semuanya bermuara pada satu hal: memastikan anak-anak di
pelosok tidak tertinggal dalam hak mereka untuk belajar dan bermimpi.
Jatuh Hati dan Berdedikasi Penuh di Dunia Relawan
Perkenalan pada dunia relawan Kak Rahmi dimulai sejak
remaja, aktif dibanyak kegiatan di luar kampus. Kecintaan pada organisasi
pecinta alam seakan punya korelasi besar pada hal tersebut. Dunia inilah yang
mempertemukan Kak Rahmi dengan Bang Romi, sedari membangun cita-cita mereka
mencerdaskan anak-anak di pelosok.
Pertemuan di tahun 2017 tersebut, membuat Kak Rahmi menetap di Aceh. Membangun keluarga kecil yang jadi cikal-bakal pusat aktivitas komunitas Rumah Relawan Remaja (3R). Nama 3R dipilih sebagai harapan komunitas itu menjadi rumah bersama para pemuda. Hingga kini sekitar 300 pemuda dan mahasiswa telah menjadi relawan dalam banyak program 3R.
Di rumah beliau yang berlokasi di Desa Lam Lumpu, Peukan
Bada, Kabupaten Aceh Besar. Lokasi tersebut disulap sedemikian rupa menjadi
perpustakaan dan tempat belajar anak-anak sekitar. Segudang visi besar dalam
membagikan pengetahuannya terhadap dunia edukasi. Selaras dengan pendidikan
Magister pendidikan yang diselesai di Universitas Negeri Makassar.
Menjadi relawan di Aceh masih terdengar asing, semangat
mengabdi di kalangan milenial seakan tergerus oleh zaman. Segala perjuangan
pasti akan membuahkan hasil, kisah Cut Nyak Dhien dulu melawan penjajah bersama
Teuku Umar seakan menjadi bentuk perjuangan tanpa pamrih menjaga negeri.
Kini semangat perjuangan bergeser dari arah melawan penjajah ke dalam bentuk melawan ketidaktahuan dan pemerataan pendidikan. Pemerintah sering sekali kurang memperhatikan hidup masyarakat pelosok dan terluar dari NKRI. Bang Romi dan Kak Rahmi punya inisiasi besar dalam hal menginisiasikan semangat dalam mendidik anak-anak di daerah tersebut.
Saya pun mencoba bertanya, mengapa Kak Rahmi mau tinggal
dan berkeluarga. Apalagi Aceh kala itu baru sembuh dari dua kejadian besar.
Pertama konflik berkepanjangan yang membuat orang Aceh sedikit menutup diri
dengan pendatang. Serta Gempa Bumi dan Tsunami di 2004, secara sarana dan prasarana
hancur lebih. Berbeda jauh dengan tempat beliau lahir di Makassar.
Perlahan-lahan beliau menjawab, masalah lokasi dan letak
bukan kendala. Di Sulawesi Selatan pun, beliau sudah memberdayakan lokasi yang
jauh dan kecintaan pada alam serta relawan. Seakan dimensi letak bukan jadi
kendala.
Hingga akhirnya di Aceh beliau bertemu dengan jodoh yaitu
Romi Saputra yang punya minat kuat di dunia relawan. Kolaborasi dengan beliau
ibarat saling mengisi satu sama lain, Kak Rahmi cekatan dalam deal dan negoisiasi
di organisasi sedangkan Bang Romi punya kecekatan dalam bekerja dan menghimpun
relawan untuk bergerak bersama.
Rumah Relawan Remaja: Tempat Tumbuhnya Cinta, Ide, dan
Gerakan
Di balik sebuah gang sempit di Aceh Besar, berdiri sebuah
rumah yang sederhana tapi sarat makna: Rumah Relawan Remaja (3R). Rumah ini
bukan sekadar tempat tinggal atau sekretariat komunitas, tetapi menjadi ruang
hidup tempat ide-ide besar tumbuh dan berproses. Didirikan pada tahun 2013 oleh
Perdana Romi Saputra, suami dari Kak Rahmi, 3R lahir dari semangat untuk
membangun komunitas yang hidup sederhana namun berdampak besar.
Lebih dari sekadar komunitas sosial, 3R hadir sebagai
wadah belajar hidup bersama. Di sinilah anak-anak muda dari berbagai latar
belakang datang dan saling mengenal dalam suasana kekeluargaan. Mereka belajar
tentang makna kemanusiaan, pentingnya kerja kolektif, serta bagaimana menjalani
hidup yang adil, damai, dan penuh makna.
Nilai-nilai utama yang ditanamkan di 3R tidak diajarkan
melalui teori, tapi lewat praktik sehari-hari: bekerja dengan cinta, gotong
royong, mengelola konflik, menjalin kemitraan, dan belajar mengorbankan ego
demi tujuan bersama. Lima prinsip inilah yang menjadi fondasi kuat bagi setiap
relawan yang datang dan pulang dengan hati yang lebih luas.
Pertama, cinta adalah bahan bakar utama. Di 3R, segala
sesuatu dimulai dari hati. Ketika pekerjaan dilakukan atas dasar cinta, maka
sekecil apa pun tugas akan terasa ringan dan bermakna. Cinta pula yang menuntun
relawan menemukan panggilan hidupnya.
Kedua, kerja tim menjadi cara utama untuk mewujudkan
visi. Relawan diajak untuk saling menopang, bukan saling menonjolkan diri.
Seperti sapu lidi yang kuat karena diikat bersama, kerja kelompok di 3R
menyatukan kekuatan dan meredam ego.
Ketiga, relawan belajar mengelola konflik. Dalam hidup
bersama, perbedaan pasti muncul. Namun, konflik di 3R bukan dianggap masalah,
melainkan ruang belajar dalam mengenal diri, memahami orang lain, dan
menyatukan pandangan demi tujuan yang lebih besar.
Keempat, 3R mendorong kolaborasi. Setiap orang punya
keahlian unik. Dengan bersinergi, tantangan yang tampak rumit bisa dipecahkan
bersama. Di sinilah relawan belajar saling mengisi dan menghargai kontribusi
masing-masing.
Dan terakhir, yang paling penting, adalah kemampuan untuk
mengorbankan diri sendiri (self-denial). Menjadi relawan berarti siap
bekerja untuk orang lain, tanpa pamrih. Di titik inilah ketulusan diuji, dan
dari sini pula keteguhan dan keikhlasan tumbuh kuat.
Rumah Relawan Remaja bukan hanya tempat ide Pustaka
Kampung Impian dilahirkan, tetapi juga tempat banyak jiwa muda ditempa untuk
menjadi pribadi yang berdampak. Di sinilah, semangat “Satukan Gerak, Terus
Berdampak” benar-benar hidup—dalam senyuman anak-anak, dalam karya ecobrick,
dalam setiap buku yang dikirim ke pelosok, dan dalam cerita-cerita kecil yang
terus bergulir dari rumah sederhana bernama 3R.
Memberdaya Budaya Membaca dan Kesederhanaan Sejak Dini
Sebagai seorang ibu, jelas Kak Rahmi dituntun untuk multi
tasking dalam banyak hal. Mengurusi segala kebutuhan teknis dan non teknis
berkaitan dengan Pustaka Kampung Impian. Tanpa melupakan dua buah hatinya.
Beliau pun mengajarkan sejak dini buah hatinya dengan
bersahabat dengan alam, membaca, dan tentunya berkarya. Saat Kak Rahmi sedang
sibuk mengurusi proses Ecobrick serta menidurkan si Kecil. Saya pun ditemani
Salam, anak tertua dari Kak Rahmi.
Ia punya perbendaharaan kata yang sangat banyak meskipun
belum genap 5 tahun. Ia mengajak saya mengeksplorasi setiap sudut sekretariat
3R. Memperlihatkan karya-karya anak kampung impian hingga akhirnya meminta
permintaan sulit yaitu Menggambar.
Bang… Gambar Kereta Api Listrik Jepang..!!
Bang… Gambar Mobil Balap…!!!
Satu jam bersama Salam akhirnya saya banyak belajar, tumbuh kembang dan karakter anak bisa dibentuk sejak dini. Kebiasaan membaca dan berkarya jadi cerminan anak-anak dalam mengeksplorasi daya pikir dan imajinasinya. Ini jadi modal berharga di usia dewasanya kelak.
Kak Rahmi juga sering bercerita pada anak-anaknya sebelum
tidur. Cerita yang ia dapatkan dari beragam buku yang dibeli di toko buku. Tak
berhenti di situ saja, di kanal Youtube miliknya, beliau berbagai review buku
pada sejumlah pegunjung. Buku-buku tersebut bisa jadi referensi para ibu
lainnya dalam membeli buku.
Sama halnya dengan anak-anak yang hidup di pelosok dan
terpencil negeri. Mereka punya segudang kemampuan, hanya saja media belajar
yang terbatas seakan tak bisa mengeluarkan potensi terbaiknya.
Kak Rahmi juga mengajarkan nilai kesederhanaan dan rasa
syukur. Untuk bisa masuk ke masyarakat dibutuhkan nilai kesederhanaan yang
tulus. Mereka seakan yakin atas niat tulus kita dalam membangun negeri. Visi
inilah yang membuat Pustaka Kampung Impian bisa menjangkau hingga ke pelosok
Aceh.
Berbagai Kebaikan Melalui Sosial Media
Selain sebagai pegiat literasi, Kak Rahmi juga tergolong
pegiat sosial media. Setiap kegiatannya berkaitan dengan 3R selalu beliau
bagikan di sosial media. Ini seakan mendorong anak muda lainnya tertarik mengetahui
kegiatan yang beliau lakukan.
Tak hanya yang berkaitan dengan Pustaka Kampung Impian
saja. Ada pengalaman mengolah botol dan plastik menjadi barang berharga,
mengelola kebun organik, hingga hunting buku terbaru di toko buku. Beliau sadar
bahwa generasi milenial dan di bawahnya akan termotivasi atas nilai positif
yang kita bagikan.
Pertama mereka penasaran, lalu tertarik, dan kemudian
jadi bagian dalam kegiatan yang beliau laksanakan. Saya termasuk salah satunya
yang tertarik dalam program yang dulunya bernama The Floating School.
Pengalaman bisa ke salah satu pulau terpencil di Aceh.
Pulo Aceh menawarkan tantangan dan pariwisata, beliau mengemasnya dalam program
mengajar buat anak muda yang ingin menyalurkan ilmunya. Relawan senang dan
anak-anak mendapatkan ilmu pengetahuan yang sebelumnya belum mereka tahu.
Sosial media juga beliau gunakan dalam membagikan
perkembangan sang buah hati. Beliau bercerita banyak kepada saya tentang
parenting kedua buah hatinya. Sejak dini mereka ditanamkan nilai kejujuran,
kesederhanaan, keingintahuan, dan eksplorasi diri. Ini jadi modal sang anak
saat besar, saat banyak orang tua kini yang mengedepankan nilai individualis
dan kapitalis.
Kini ada banyak kegiatan yang beliau bagikan, semua tak
jauh-jauh dengan buku. Semua yang berbau dengan bacaan seakan jadi santapan.
Terbaru ada sejumlah lomba menulis yang diperlombakan untuk para penulis Aceh.
Di sana ada banyak penulis muda yang siap unjuk gigi di dunia literasi, tulisan
terbaik akan dibukukan sebagai wujud buku Antologi yang menambah koleksi
bacaan.
Mimpi Berdirinya Pustaka Kampung Impian
Berdirinya Pustaka Kampung Impian di lima lokasi tersebut
tentunya tidak bisa dilaksanakan Kak Rahmi dan Bang Romi semata. Butuh banyak
tangan-tangan yang peduli yang bisa mendonasikan, menyalurkan, dan mengajarkan.
Wadah 3R jadi kesempatan para relawan turut serta dalam
Rekrutmen Relawan Pustaka Kampung Impian. Menjadi guru impian dalam kelas
edukatif dan interaktif. Persyaratannya tidaklah sulit, pustakawan yang
terpilih cukup berkomitmen, menyukai dunia pendidikan, peduli pada anak-anak
dan belum berkeluarga.
Nantinya selama setahun, pustakawan pilihan akan ditempatkan di lokasi pustakawan yang ada di Aceh. Makin sulit medan penempatannya, jelas membuat pustakawan bisa menularkan pengalaman setahunnya saat kembali ke masyarakat.
Penulis juga sempat mewawancarai pustakawan yang telah
bertugas, mereka bercerita banyak bahwa setahun itu terasa spesial. Mulai dari
perjalanan menuju desa tempat Pustaka Impian berdiri, berbaur dengan masyarakat
sekitar, hingga bertemu anak-anak kampung di sana.
Mereka mengajarkan banyak hal dan semangat apa anak-anak
di sana. Mulai dari mengajarkan membaca, menggambar, hingga pidato. Pustakawan
juga mengajarkan pada anak-anak bahwasanya:
Proses belajar mengajar tak harus di dalam
kelas saja tapi juga di alam terbuka
Para pustakawan nantinya akan membentuk sejumlah kelas,
mulai dari kelas Membaca Dasar, Membaca Lanjut, Menulis, Kesenian Tradisional,
Prakarya, dan Kelas Fotografi. Selain kelas untuk anak-anak, para pemuda-pemudi
diperuntukkan pada kelas fotografi dan menjahit serta kelas bersama ibu-ibu.
Jendala Dunia Bernama Pustaka
Di zaman serba digital nyatanya kita tak bisa membendung
arus globalisasi informasi. Segudang informasi yang didapatkan di perangkat
digital bersifat semu dan menjebak. Ada banyak bias informasi yang menyesatkan
dan yang paling rentan adalah orang tua dan anak-anak.
Pustaka menjadi filter dalam menahan ketidakbenaran informasi, meskipun banyak yang beranggapan pustaka ketinggalan. Namun anggapan itu salah besar, di pustaka jadi jendela meluruskan informasi dan menyatukan pengetahuan. Dunia digital yang dinilai terlalu komersial membuat proses belajar tidak sefokus pustaka.
Inilah yang menginisiasikan lahirnya pustaka. Di daerah
pedalaman, anak-anak mulai tergoda dengan game online atau berbagai hiburan
yang belum layak ia konsumsi. Kehadiran pustaka juga menghapus kegundahan para
ibu atas anak mereka. Serta sangat berguna selama pandemi, anak-anak bisa
mengisi waktu kosong selama masa sekolah daring berlangsung lama.
Pada 3R tak ingin kegiatannya disusupi oleh tujuan politisasi
atau embel-embel kegiatan mereka. Murni yang dilakukan untuk membantu anak-anak
yang hidup di pelosok. Mereka yang polos dan tak tahu apa-apa jadi media
politik orang tak bertanggung jawab. Inilah yang selalu dijaga oleh 3R.
Kehadiran Pustaka Kampung Impian
Membaca buku jadi gudang sumber ilmu pengetahuan, hanya
saja tak semua orang bisa mengakses buku yang baik meskipun kini telah
berkembang pesat akses informasi. Bagi masyarakat pedalaman, semua itu dan
tersentuh.
Ada sejumlah wilayah terluar dan terpencil di Aceh yang
masih merasakan itu semua. Anak-anak sangat kesulitan untuk bisa mendapatkan
pengetahuan. Angka lanjut sekolah serupa, letak sekolah jauh, akses
transportasi sulit hingga tentu saja buku. Bermain dengan alam atau membantu
orang tua bekerja adalah opsi, sedangkan mengejar pendidikan harus merantau ke
kota besar.
Pustaka Kampung Impian merupakan salah satu program
belajar alternatif Rumah Relawan Remaja (3R). Program ini dilaksanakan sejak
tahun 2016 di berbagai desa terpencil dan terdampak bencana, total kini telah
ada sebanyak 5 desa yang menjadi penerima buku dari 3R dalam mewujudkan kampung
impian.
Pada kelima desa tersebut, jelas akses ke sana sangatlah
sulit. Pertama ada Desa Bah dan Serempah Kecamatan Ketol Kabupaten Aceh Tengah.
Desa ini hampir sedekade silam pernah diguncang gempa hebat. Dampaknya adalah
kedua kampung itu sampai harus direlokasi oleh Pemda setempat.
Efek paling terasa adalah banyak sekolah yang rusak,
kehadiran Pustaka Kampung Impian pada dua desa tersebut ibarat Oase di padang
pasir. Memberikan secercah harapan baru dan juga menghilangkan traumatik korban
pasca gempa. Buku-buku sumbang jadi modal berharga anak-anak belajar menggapai
impian tersebut.
Lokasi kedua kemudian bergeser ke Baling Karang, Kecamatan
Sekerak, Kabupaten Aceh Tamiang. Berdiri sebuah bangunan rumah panggung dengan
ornamen dan corak warna-warni. Lokasi inilah yang menjadi lokasi Pustaka
Kampung Impian anak-anak setempat. Makin terlihat indah saat menghadap ke arah Pantai
Baling Karang yang mengalir deras Sungai Tamiang.
Pantai Barat Aceh pun tak ketinggalan berdiri Pustaka
Kampung Impian, Berlokasi di Dusun Sarah, Desa Alue Keujruen, Kemukiman
Manggamat, Aceh Selatan. Meskipun berada di tengah rimba, akses yang bisa
menembus dusun tersebut hanya menggunakan perahu yang hilir mudik di aliran
Sungai Kluet.
Perjalanan pustakawan ke sana sangat sulit, meskipun
jarak lurusnya hanya 11 mil dari Kota Tapak Tuan, tak ada akses lainnya selain
menggunakan perahu motor. Perjalanan bisa memakan waktu 2 sampai dengan 3 jam,
melawan arus Sungai Kluet untuk mengantarkan buku-buku ke pustaka di sana.
Dan dua terakhir berada di Aceh Besar, pertama adalah
Pustaka Kampung Impian di Klieng Cot Aron, Kabupaten Aceh Besar. Menjadi lokasi
Pustaka Kampung Impian yang paling mudah dijangkau dan terletak tak jauh dari
sekretariat 3R. Saat proses peresmian, penulis termasuk salah satu orang yang
hadir dan melihat sebuah Pustaka Kampung buat anak-anak sekitar.
Terakhir tentunya, Pustaka Kampung Impian di Desa Lapeng,
Pulo Aceh, Kab. Aceh Besar. Sebagai salah satu pulau terluar sebelah barat
Indonesia, Pulo Aceh jelas sangat tertinggal dalam berbagai hal. Aspek
pendidikan jadi fokus utama, ada banyak anak-anak Desa Lapeng yang putus
sekolah dan bisa mendapatkan akses pengetahuan.
Tahun 2018, sebuah bangunan panggung sederhana akhirnya
berdiri di tengah Desa Lapeng. Bangunan ini jadi sebuah wujud pustaka, sesuatu
yang didambakan oleh anak-anak setempat. Desa Lapeng pun sebelumnya telah rutin
dikunjungi terutama dalam mengajar anak setempat.
Melalui program yang digagas oleh Kak Rahmi terlebih dulu
yaitu Program The Floating School (TFS) Aceh merekrut para anak muda
dari berbagai lini keahlian untuk ikut serta mengajar dan berbagi inspirasi
secara suka rela kepada adik-adik Pulo Aceh dalam dua kelas besar yaitu kelas
komputer dan prakarya.
Tak berhenti di situ saja, Kak Rahmi bersama 3R membeli
tanah di sana dan mendirikan Kebun Impian Lapeng. Sejumlah tumbuhan dan bunga
ditanam pada kebun tersebut yang dikelola oleh Pustakawan yang menetap di Pulo
Aceh.
Sesekali saat melihat Pustaka Kampung Impian di Desa
Lapeng, tentunya tak lupa melihat kebun yang penuh hasil alam hampir mendekati
waktu panen. Para Pustakawan yang ditempati di sana bisa menghilangkan jenuh di
Pulo Aceh dengan berkebun.
Semua Bisa Ambil Bagian, Tak Harus Jadi Pustakawan
Kak Rahmi selalu percaya bahwa setiap orang punya cara
sendiri untuk berkontribusi. Dalam program Pustaka Kampung Impian, menjadi
pustakawan bukanlah satu-satunya jalan untuk ikut serta. Memang, ada beberapa
syarat khusus untuk mereka yang ingin menjadi pustakawan lapangan—seperti belum
berkeluarga dan siap tinggal di lokasi terpencil selama setahun penuh. Tapi
jangan khawatir, pintu kontribusi tetap terbuka lebar bagi siapa saja yang
ingin ikut menebar kebaikan.
Salah satu caranya adalah lewat jalur donatur. Banyak
sekali orang baik yang telah menyumbangkan dana maupun buku-buku berharga untuk
anak-anak di pelosok Aceh. Dana tersebut digunakan oleh tim 3R untuk membeli
buku yang sesuai dengan kebutuhan dan tingkat pemahaman anak-anak di desa
binaan. Bukan asal beli, tapi dipilih dengan penuh pertimbangan agar
benar-benar berdampak.
Bentuk lain dari dukungan adalah mendonasikan buku-buku
bekas. Di rumah kita, mungkin ada banyak buku yang sudah tak terbaca, namun
masih sangat layak dan bermanfaat. Buku-buku seperti itu bisa disumbangkan ke
3R. Setelah melalui proses seleksi oleh tim, buku-buku itu akan disalurkan ke
Pustaka Kampung Impian atau dipajang di sudut-sudut sekretariat 3R, yang juga
berfungsi sebagai ruang baca komunitas. Buku anak, majalah pengetahuan populer,
hingga buku mewarnai—semuanya punya tempat dan pembacanya masing-masing.
Dan jika belum bisa jadi pustakawan atau donatur, masih
ada jalan lain. Kita bisa menjadi bagian dari tim distribusi, yaitu mereka yang
secara langsung menyalurkan buku-buku ke lokasi pustaka. Dari yang paling dekat
di Klieng Cot Aron, Aceh Besar, hingga ke pelosok paling jauh seperti Baling
Karang di Aceh Tamiang. Perjalanan yang panjang memang, tapi penuh pengalaman
tak terlupakan. Seperti kata Kak Mia, "Makin jauh dan menantang
perjalanannya, makin banyak cerita yang bisa kalian bagikan setelahnya."
Karena sesungguhnya, kebaikan tak selalu harus dimulai
dari hal besar. Kadang cukup dari satu buku, satu langkah, dan satu niat untuk
ikut bergerak bersama.
Menjadi bagian dari 3R juga bisa berbagai cara salah
satunya jadi mentor yang menginspirasi. Salah satunya saya menjadi mentor untuk
menulis dan blog. Rasanya ada banyak potensi yang dikembangkan tak selalu di
dunia membaca dan menulis secara konvensional. Blog dianggap sebagai wadah baru
yang bisa digunakan oleh warga 3R. Mereka bisa menulis dan mengapresiasikan
diri melalui tulisan, selain itu melatih kemampuan self writing. Ini yang
kadang penulis malas lakukan, serta wujud ini juga membuat lahir keterampilan.
Saya mencontohkan di sini, peserta didik yang datang dari
3R, kemudian bisa mengasah kemampuan baru. Mereka bisa belajar cara mengedit
sejumlah tools yang ada blog hingga proses panjang lainnya. Semuanya dilakukan
dengan sabar dan percaya diri, tak berhenti di situ saja mereka juga akan paham
cara dalam memperindah blog. Apakah dari penggunaan judul, pemilihan kalimat
hingga proses editing agar enak saat di tayang.
Skill lainnya yang bisa hadir tentu cara dalam membuat
gambar yang baik. Apakah itu datang dari kemampuan membuat gambar, mengedit
gambar hingga infografis. Dalam dunia blog seorang blogger dilatih bisa banyak
kemampuan dan itu terus berkembang. Saya pun sangat senang mereka sangat
antusias, ada warna baru yang ditawarkan di dalam kelas. Semua menerimanya dan
tentunya Kak Rahmi berjanji di masa depan akan lebih banyak peserta yang hadir.
Rahmiana Rahman: Menyatukan Gerak, Menebar Dampak dari
Ujung Barat Negeri
Dalam sunyi sebuah gang sempit di Aceh Besar, ada suara
yang tidak pernah padam: suara anak-anak membaca, relawan berdiskusi, dan
plastik yang dipotong rapi untuk diubah menjadi ecobrick. Di balik semua itu,
ada sosok sederhana yang tekun menyalakan nyala perubahan: Rahmiana Rahman.
Dedikasi Kak Rahmi, telah menjejak di berbagai pelosok
Aceh selama tujuh tahun terakhir. Namun, akar perjuangannya jauh lebih panjang,
tertanam sejak masa mudanya di Makassar, kala ia mulai menyadari bahwa
pendidikan dan lingkungan adalah dua wajah dari wajah masa depan bangsa. Ia
percaya, perubahan besar tidak selalu dimulai dari kota. Terkadang, ia bermula
dari rumah kayu sederhana bernama Rumah Relawan Remaja (3R).
Upaya Kak Rahmi tak pernah setengah-setengah. Ia
mendirikan Pustaka Kampung Impian, sebuah gerakan literasi yang hadir di lima
desa terpelosok Aceh, dari Klieng Cot Aron hingga Baling Karang, menjawab
kebutuhan anak-anak yang selama ini hidup dalam keterbatasan akses pendidikan.
Tak sekadar mengirim buku, ia mengirim harapan melalui pustakawan muda yang
tinggal dan mengabdi di desa, membentuk kelas, membacakan dongeng, dan menjadi
teman tumbuh anak-anak di sana.
Namun perjuangan Kak Rahmi tidak berhenti di dunia
literasi. Ia juga aktif dalam isu lingkungan dengan pendekatan khas:
memberdayakan sampah menjadi karya seni bernilai guna. Plastik dan botol bekas
yang semula menjadi masalah lingkungan, diubah menjadi Ecobrick menjadi alat edukasi anak-anak. Bahkan, popok
bekas buah hatinya pun ia daur ulang menjadi pot tanaman sebagai simbol bahwa
tak ada yang benar-benar menjadi sampah, jika kita melihatnya dengan kasih dan
kreativitas.
Semua inisiatif ini bukan sekadar proyek, tetapi laku
hidup yang dijalani dengan tulus. Tidak heran jika namanya dua kali masuk dalam
nominasi Satu Indonesia Award tingkat provinsi pada tahun 2020 dan 2021. Namun
bagi banyak orang, Kak Rahmi sudah lebih dari layak untuk masuk ke panggung
nasional. Ia adalah sosok yang menjawab tantangan zaman dengan kerja nyata,
bukan kata-kata.
Di tengah gemerlap dunia digital yang sering menomorsatukan sensasi, Kak Rahmi hadir sebagai pengingat: bahwa gerak kecil yang dilakukan bersama, dengan niat tulus dan konsisten, akan terus berdampak. Ia menjadi perwujudan nyata dari semangat #SatukanGerak #TerusBerdampak sebuah nilai yang digaungkan dalam Anugerah Pewarta Astra 2025.
Dari desa-desa kecil, dari pot-pot buatan tangan sendiri,
dari senyum anak-anak yang kini berani bermimpi lebih tinggi membuktikan bahwa
gerak perempuan, ibu, dan relawan bisa menjadi kekuatan besar untuk membangun
negeri. Di ujung barat Indonesia, ia tak sekadar memeluk cita-cita, tapi
menjadikannya nyata, setapak demi setapak.
Nantinya semesta akan membalas semua lelah kita menjadi
secercah harapan besar. Akhir kata, semoga tulisan ini menginspirasi. Have a
nice days.
0 komentar:
Post a Comment