Dunia tinju bagi saya sudah sangat akrab sejak kecil. Saat ada banyak tayangan kartun menarik di pagi hari tayang, di situ laga besar tinju hadir. Ini jadi pertarungan seru memperebutkan remote antara saya dengan Paman dan Kakek. Mereka keduanya ada penggemar tinju sejati, ada banyak laga besar yang hadir di minggu pagi terutama setelah beres-beres.
Perbedaan waktu dan jarak yang jauh seakan pertandingan di malam hari waktu Amerika jatuhnya minggu pagi di tanah air. Jelas ini sebuah kerugian, waktu nonton kartun bisa saja terpotong oleh dua orang pria tegap saling adu pukul tanpa pakai baju.
Tontonan yang seru bagi para orang tua tapi membuat saya yang masih anak-anak merasa sebal. Tontonan minggu pagi saya direnggut!. Namun seakan waktu berubah dan kini ada tontonan wajib yang saya tunggu karena menyajikan keseruan. Memang umur berpengaruh juga, ibarat tontonan kartun pagi saat dewasa adalah tinju!.
Baiklah kembali ke topik, pertarungan tinju ibarat kedua
orang saling baku hantam untuk jadi yang terbaik dalam 12 ronde. Bertahan,
saling pukul untuk bisa dulu bisa menjatuhkan. Bila tidak, semuanya ditentukan
di tangan juri. Jelas ini hal yang menakutkan karena keputusan wasit sering
kali ambigu dan merugikan salah seorang petinju bisa pertarungan berlangsung
sengit.
Redupnya Pamor Tinju
Bisa dibilang Tinju selama 10 tahun terakhir meredup
terutama pas era Floyd Mayweather. Para petinju punya ketakutan terbesar
terutama saat rekor kekalahannya akan pecah. Jadinya ada banyak pertarungan
yang tujuannya mempertahankan rekor 0 kekalahan tersebut. Bila tidak, nasib
saya petinju akan berakhir karena daya tariknya akan berkurang.
Alhasil petinju akan pilih-pilih lawan yang dia rasa
tidak akan merusak rekor kekalahannya. Sehingga hasilnya sudah bisa ditebak
siapa yang menang. Peluang kejutan besar jarang terjadi dan bahkan kita tidak
bisa menyaksikan mega fight beneran terjadi hingga sang boxer pensiun.
Alhasil dunia tinju seakan redup menghilang seakan
olahraga combat sport yang kini sedang naik-naiknya. Ini terlihat dengan
sejumlah laga MMA yang jadi primadona. Penggemar olahraga tarung lebih mengenal
jajaran elit petarung MMA dibandingkan tinju.
Jelas sebuah pukulan telak, olahraga tinju yang sudah
hadir sejak dulu dan bahkan dipertandingkan di Olimpiade. Seakan kalah pamor
dengan olahraga combat sport lainnya. Apalagi ada banyak mafia yang makin
membuat tinju mulai meredup.
Hal paling mencolok tentu saja urusan penilaian juri. Dalam
dunia tinju, menentukan siapa yang menang tidak hanya soal siapa yang lebih
banyak memukul. Juri memiliki panduan khusus yang disebut "10-point
must system", nah di mana setiap ronde harus memberi 10 poin untuk
petinju yang tampil lebih unggul.
Sementara lawannya mendapat 9 poin atau kurang,
tergantung seberapa dominan perbedaannya. Kadang bila dalam ronde tersebut
kalah telak, bahkan tak jarang wasit menilai skor jadi 10 vs 8. Terutama sudah
knock down dua kali, bila 3 kali dianggap sudah kalah (TKO).
Tapi apa sih yang sebenarnya mereka nilai?
Ada empat aspek utama yang jadi perhatian juri: pukulan
bersih, agresivitas yang efektif, penguasaan ring, dan pertahanan. Pukulan
bersih berarti pukulan yang mendarat jelas di area legal dengan kekuatan nyata,
bukan sekadar mengenai.
Sementara itu, agresivitas tak cukup asal maju atau alias
modal nekat. Si petinju juga harus mampu mengubah tekanan itu jadi serangan
yang efektif. Penguasaan ring merujuk pada siapa yang mengendalikan jalannya
pertandingan: siapa yang memaksa lawan bermain sesuai gaya dan strateginya.
Nah yang kadang petinju sering lupakan: urusan defensif
alias pertahanan. Ini aspek penting biar tak kenal pukul di setiap ronde atau
bisa mengurangi pukulan telak yang masuk berujung poin.
Pada tiap ronde dinilai secara independen oleh tiga juri,
yang duduk di sisi berbeda ring. Ini membuat hasil bisa berbeda karena sudut
pandang mereka tidak selalu sama. Tak jarang, satu juri melihat dominasi dari
sudut kanan, sementara yang lain justru melihat petinju lawan lebih aktif dari
sisi berlawanan.
Maka lahirlah istilah seperti unanimous decision, split
decision, bahkan draw yang seringkali jadi sumber perdebatan publik. Penilaian
yang makin tipis ini yang membuat hasil kadang kontroversial dan bahkan membuat
wajah tinju menjadi jelek.
Inilah yang membuat sistem skoring tinju terasa rumit
dan, kadang, kontroversial. Meski memiliki struktur yang jelas, tetap saja
unsur subjektivitas sulit dihindari. Apalagi ada banyak skor aneh yang
memenangkan sang pertahanan gelar. Sedang underdog sering kalah meskipun sudah
bermain cukup maksimal.
Bayangkan kamu bertarung habis-habisan selama 12 ronde,
wajah babak belur, lawanmu beberapa kali nyaris jatuh. Lalu... split decision dan
kamu dinyatakan kalah. Inilah yang membuat pamor tinju turun selain dengan
rekor 0 dan tentu saja wasit yang dianggap subjektif.
Gebrakan Besar di Dunia Tinju
Rasanya dunia tinju kembali bergejolak karena ada banyak
laga-laga yang kelihatan ecek-ecek semata. Bisa dianggap aneh tapi punya nilai
jual tinju, itu semua dipelopori oleh Jake Paul. Seorang Youtube yang saat muda
melakukan hal-hal aneh dan gila.
Ini mencoba masuk dunia tinju yang keras, menantang rekan
sesama Youtuber hingga level pensiunan atlet MMA. Jelas hal yang belum pernah
terjadi dan hasilnya Jake Paul menang, membuat banyak pihak makin geram.
Puncaknya tentu saja saat ia menantang legenda tinju,
Mike Tyson. Makin pecah karena ini pertandingan resmi Mike setelah ia pensiun.
Namun ia rela mempertaruhkan nasibnya untuk menantang petinju pemula. Jelas
umur tidak bisa bohong dan ini membangkitkan minat tinju kembali.
Ada banyak promotor kecil yang lahir berkat antusias pada
dunia tinju. Bisa saja antara artis dengan artis karena rebutan pacar hingga
akhirnya naik ring tinju. Tukang parkir dengan masyarakat biasa hingga bahkan
chef dengan kritikus. Semuanya menarik atensi karena berhasil diselesaikan di
ring tinju.
Meskipun terlihat sangat amatir, jelas untuk pemula tinju
dianggap olahraga yang mudah dipelajari dan dipertarungkan. Memang untuk jadi
profesional butuh waktu yang sangat panjang, sedangkan untuk level baku hantam
saja hanya butuh 3 bulan latihan intensif. Hasilnya tak malu-malu dan bisa
membuat lawannya tidur di atas ring.
Sedangkan combat sport lainnya seperti MMA jelas lebih
sulit dan teknikal. Itu karena beragam disiplin ilmu yang harus dipelajari
untuk akhirnya bisa dipertarungkan. Ini membuat pemula harus belajar semuanya
dan membuat bumbu-bumbu drama yang dibuat terlanjur dingin.
Gebrakan tinju pun tak hanya berlanjut di kalangan
amatiran saja tapi juga profesional. Uang segar dari Arab Saudi yang tanpa
batas seakan menghidupkan kembali pertarungan besar di dunia tinju. Tak lain
dengan kehadiran Turki Al-Sheikh yang mampu mengajak dan mendorong petinju
besar bertarung di Arab dengan teman Riyadh Season.
Seakan menghidupkan tinju kembali dan membuat petinju
besar mempertaruhkan rekor 0 mereka. Itu karena negosiasi yang berlangsung dan
tentu saja bayaran besar. Lagian untuk apa mempertahankan rekor 0 kekalahan
tapi ngga kaya. Jelas ambil dan gas (pikiran dalam pada petinju).
Menaikkan Rating Tinju Kembali
Laga besar tentu saja berdatangan kembali, dan aura
pertarungan tinju kembali hadir. Dulu minggu pagi begitu meriah, lalu sempat
redup dan kini kembali meriah. Sembari menunggu cucian di mesin cuci,
menyaksikan laga akbar di minggu pagi sangatlah syahdu.
Itu terbukti dengan banyaknya pertandingan seru. Setiap
bulannya tinju bergejolak dengan kehadiran Riyadh Season dan Turki Al-Sheikh.
Laga besar pun hadir dan menarik kembali peminat tinju, melihat idolanya
bertarung. Apakah itu laga Usyk vs Furry, Joshua vs Dubois hingga paling pecah
Bivol vs Beterviev
Mungkin yang akan datang ada Canelo vs Crawford. Sesuatu
yang tak akan terjadi bila tak ada uang besar dan petarung besar rela
kehilangan rekor 0 kekalahannya. Minat tinju pun makin besar dan kembali
bergairah seperti dulu lagi.
Setelah itu semua beres, yang harus dibenahi adalah
bagaimana sistem tinju bekerja. Selama ini ada banyak ketidakadilan dalam
penentuan skor. Tak jarang skor yang bermasalah membuat minat pertandingan berkurang
apalagi dalam menggaet penggemar baru.
Sistem yang harusnya objektif, tapi sering kali subjektif.
Seperti yang saya jelaskan tadi di awal. Tinju menggunakan sistem 10-point must
system, di mana pemenang tiap ronde mendapat 10 poin, dan lawan yang kalah
dapat 9 atau kurang, tergantung jumlah knockdown atau dominasi. Tapi pada
kenyataannya, penilaian ini tak selalu sebersih yang diharapkan.
Masalah utama? Subjektivitas. Para juri akan menilai
beberapa aspek dalam skor di setiap rondenya dengan 4 cara yaitu: Efektivitas
pukulan, kendali atas ring, pertahanan, dan tentu saja agresivitas.
Masalahnya, masing-masing juri punya preferensi berbeda.
Ada yang suka agresif, ada yang melihat efisiensi pukulan. Maka jangan heran
jika kamu menyaksikan pertarungan yang terasa jelas siapa pemenangnya, tapi
hasilnya justru mengejutkan.
Ada banyak kontroversi dalam tinju yang hasilnya berat
sebelah. Mulai dari laga Manny Pacquiao vs Timothy Bradley tahun 2012, Gennady
Golovkin vs Canelo Alvarez 2017 hingga yang terbaru tentu saja Gervonta Davis
vs Lamont Roach di 2025. Itu baru sebagian dan ada banyak laga kecil lainnya
yang dimenangkan oleh skor aneh para juri.
Bahkan ada spekulasi tentang bias promotor, tekanan
politik, hingga suap terselubung, meskipun tidak semua dapat dibuktikan. Para
petinju melawan dua orang dalam satu pertandingan yaitu si boxer dan tentu saja
sistem yang merugikan mereka andai tak mampu menganvaskan lawannya. Banyak
petinju merasa frustrasi, bahkan ada yang pensiun dini karena merasa
"dikhianati".
Penjurian AI, Solusi Mengatasi Kecurangan Tinju
Di sinilah muncul gagasan untuk menghadirkan teknologi
seperti AI sebagai pelengkap, agar penilaian bisa lebih transparan dan adil.
Karena pada akhirnya, dalam olahraga sekeras tinju, hasil yang jujur adalah
penghargaan tertinggi untuk kerja keras para petarung di atas ring.
Nah dalam penilaian petinju, ada sejumlah hal yang
terlihat aneh dan hambar. Bahkan sebaiknya dihilangkan. Misalnya saja aspek
kendali di atas ring dan agresivitas. Aspek ambigu ini membuat penonton awam
merasa yang menguasai ring dan terlihat agresif adalah pemenangnya.
Padahal dalam aspek tinju hal paling penting tentu saja
efektivitas pukulan dan pertahanan. Ibarat bermain bola, menguasai pertandingan
dan melakukan banyak short ke arah gawang tak menjamin kemenangan. Tapi hal
paling penting jumlah gol yang dicetak dan mampu bertahan agar tidak kebanyakan
kebobolan.
Hal yang sama wajib diubah pada sistem tinju sehingga
hasilnya lebih adil. Misalnya saja laga Beterviev vs Bivol. Secara kerta
Beterviev menang aspek penguasaan ring dan agresivitas. Namun bila dilihat dari
kacamata efektivitas pukulan dan pertahanan ia kalah. Sehingga akhirnya Bivol
bisa menang pada pertemuan kedua.
Bantuan lain yang cukup diperlukan adalah kehadiran AI di dunia tinju. AI dapat digunakan untuk menghitung skor secara real-time. AI memanfaatkan kamera, sensor di sarung tinju, dan analisis gerakan untuk mendeteksi pukulan yang sah, jumlahnya, dan seberapa kuat pukulan tersebut. Ini mengurangi ketergantungan pada penilaian manusia yang subjektif.
Dengan sistem AI, penonton dan petinju bisa melihat data
skor secara langsung, bahkan selama pertandingan berlangsung. Ini membantu
menghindari kejutan atau kecurigaan ketika hasil akhir diumumkan, serta membuka
jalan untuk evaluasi yang lebih transparan.
Ini terlihat jelas saat pertarungan kedua antara Usyk vs
Furry. Ada juri tambahan yang bertugas dalam menganalisa setiap pertandingan di
setiap rondenya. Juri tambahan ini adalah AI yang mampu menilai dan hasilnya
bisa dilihat real time di layar kaca penonton.
Selain itu juga AI dapat mencatat berbagai data penting:
dari jumlah pukulan bersih, efektivitas serangan, hingga penguasaan ring.
Statistik ini bisa menjadi bahan evaluasi performa bagi petinju dan pelatih,
sekaligus referensi juri jika dibutuhkan.
Namun perlu digaris bawahi yaitu solusi ini tidak
bertujuan menggantikan manusia, tapi menjadi alat bantu yang memperkuat
keputusan juri. Jika ada keraguan atau kontroversi, data dari AI bisa jadi
acuan untuk klarifikasi atau pertimbangan ulang.
Bagaimana Cara Kerja AI di Dunia Tinju?
Cara kerja AI di dunia tinju melibatkan kombinasi
teknologi canggih seperti computer vision, sensor pintar, dan algoritma dari machine
learning yang bekerja secara real-time untuk mengamati, menganalisis, dan
menilai jalannya pertandingan. Ia akan menghitung segala sesuatu yang terjadi
di atas ring tanpa luput sedikitpun.
Sistemnya bekerja karena ada kamera berkecepatan tinggi
dipasang di berbagai sudut ring untuk merekam setiap gerakan petinju, lalu
gambar-gambar ini diproses oleh sistem computer vision yang dilatih mengenali
pukulan sah, arah serangan, dan respons pertahanan.
Di sisi lain, sensor yang tertanam di sarung tinju atau
pelindung tubuh mendeteksi intensitas, kecepatan, dan akurasi pukulan. Semua
data ini kemudian dianalisis oleh algoritma AI untuk menilai performa setiap
petinju.
Apakah itu dari jumlah pukulan bersih, efektivitas
serangan, kontrol ring, hingga pertahanan. Hasilnya disajikan dalam bentuk skor
yang objektif dan transparan, baik untuk juri maupun penonton. Selain itu, AI
juga bisa memberikan data statistik rinci setelah pertandingan untuk keperluan
pelatihan, evaluasi, dan pengambilan keputusan strategis.
Semuanya bekerja cepat dan akurat, AI menjadikan
penilaian tinju jauh lebih adil, konsisten, dan berbasis data, tanpa
menghilangkan peran penting manusia sebagai pengawas utama di atas ring. Jadi kita
selaku penonton layar kaca bisa melihat AI menghitung skor setiap rondenya jauh
lebih real time dibandingkan para juri yang duduk di depan ring.
Apakah nasib para juri terancam?
Meskipun AI mampu menghadirkan akurasi dan objektivitas
luar biasa dalam dunia tinju, AI belum sepenuhnya bisa menggantikan peran juri
manusia. AI memang unggul dalam menghitung data teknis seperti jumlah dan
kekuatan pukulan, akurasi, serta pola gerakan petinju. Itu semuanya bisa diukur
secara ilmiah dan presisi. Namun, dunia tinju tidak hanya soal angka.
Juri manusia memiliki intuisi, pengalaman, dan pemahaman
konteks yang tak bisa ditiru AI. Misalnya, bagaimana menilai dominasi
psikologis, strategi bertarung, atau respons adaptif petinju selama
pertandingan. Semua itu melibatkan penilaian yang bersifat subjektif namun
penting dalam menilai keunggulan seorang petarung.
Pada olahraga baku hantam ini sangat menjunjung semangat,
keberanian, dan gaya bertarung, yang kadang tidak bisa diterjemahkan hanya
dengan data mentah. Maka, yang paling ideal bukanlah menggantikan juri, tapi
menggabungkan kehebatan AI dengan kebijaksanaan manusia, agar tercipta
penilaian yang adil, transparan, dan tetap menghargai nilai-nilai luhur dalam
olahraga.
Jadi, jawaban singkatnya: AI bisa menjadi pendamping juri
yang sangat kuat, tapi belum bisa dan mungkin tidak seharusnya menggantikan
sepenuhnya. Bahkan ini bisa jadi seru-seruan bahwa AI bisa masuk ke semua ranah
olahraga yang dulunya sulit.
Laga Usyk vs Furry jadi bukti AI bisa jadi bagian juri dan bahkan membuat olahraga jadi transparan. Ibarat di sepak bola telah hadir VAR. Ia hanya sebatas teknologi, segala keputusan penting datangnya dari wasit selaku pengadil utama. VAR hanya tools yang bisa mengurangi kesalahan manusia dalam pengambilan keputusan.
Intinya AI pada tinju bisa dikombinasikan dengan sentuhan
manusia, AI bisa membawa dunia tinju ke era baru: lebih jujur, lebih adil, dan
jauh lebih menarik untuk disaksikan. Ini membuat minat olahraga tinju kembali
menarik, seakan minggu pagi para bapak-bapak selain sibuk dengan cucian mereka
sibuk menunggu laga akbar.
Penerapan AI dalam Badan Tinju
Salah satu kemajuan paling mencolok dari AI di dunia
tinju adalah teknologi computer vision yang mampu meningkatkan akurasi dan
keadilan dalam memimpin pertandingan. Misalnya, WBC (World Boxing Council)
telah bekerja sama dengan OpenAI untuk mengembangkan sistem berbasis AI bernama
Boxing Score.
Sebuah teknologi yang dapat melacak pukulan dan
menganalisis performa petinju secara real-time. Sistem ini mampu mendeteksi
pelanggaran, knockdown, hingga tindakan ilegal lainnya dengan presisi luar
biasa, memungkinkan wasit mengambil keputusan secara cepat berdasarkan data
objektif, bukan semata intuisi.
Sedangkan urusan intuisi datang dari para wasit dan juri.
Di sinilah harus ada pelatihan khusus para wasit terutama berkaitan dengan
data. Ini semua bertujuan biar mereka bisa meningkatkan kualitas pengambilan
keputusan mereka di ring. Bila dianggap juri sudah lebih baik, AI hadir cuma
sebatas hiburan karena wasit mampu menilai dengan baik.
Di sini karier seorang atlet dipertaruhkan, ia
mendapatkan penilaian yang baik dan adil. Sehingga ia bisa menerima dengan
lapang dada. Fans pun bisa menilai seberapa bagus atau buruk idola karena hasil
yang didapatkan sudah optimal. Olahraga tak hanya urusan kalah dan menang namun
juga sportivitas di dalamnya.
Kesimpulan Akhir
sistem skoring tinju saat ini dianggap memiliki banyak
kekurangan yang dapat merugikan petinju dan merusak integritas olahraga. Perlu
adanya reformasi untuk memastikan penilaian yang lebih adil dan akurat dalam
pertandingan tinju. Karena dalam tinju, keadilan bukan soal angka. Ia soal
menghormati perjuangan.
Semoga tulisan saya ini menginspirasi kita semua, Akhir kata, have a nice
days.
0 komentar:
Post a Comment