Seakan tak terpikirkan semua yang kita lakukan secara digital apakah itu belanja online, pesan makanan menggunakan aplikasi hingga bayar tontonan film favorit di layanan streaming. Segala aktivitas di atas jadi rutinitas kita yang didukung lebih dari 202 juta pengguna internet. Pastinya segala yang berhubungan dengan klik, transaksi hingga layanan digital menghasilkan sumber pajak baru. Ini selaras dengan dikaji oleh McKinsey, ada potensi besar pajak dari sektor ini direntan 40 s.d 60 triliun/tahun. Bila mampu dikelola dengan baik dapat meningkatkan penerimaan negara.
Meskipun punya masa depan cerah terutama urusan pajak digital di Indonesia,
namun banyak hal krusial yang harus diperbaiki. Potensi pertumbuhan digital
secara tak langsung menghasilkan begitu banyak ruang pemungutan pajak, apakah
dari e-commerce skala global hingga level UMKM yang beralih di platform
digital. Pihak DJP harus pintar dalam menjaring wajib pajak baru, namun ini
harus selaras dengan sosialisasi mengenai pajak. Secara tak langsung harus ada
regulasi yang jelas dan sederhana dalam mendorong pelaku usaha disiplin
melakukan pelaporan pajak. Kepatuhan ini harus didukung dengan sistem teknologi
seperti Big Data, data analisis hingga administrasi pajak yang terintegrasi.
Makin sempurna bila pemerintah bisa berkoordinasi dengan platform digital dalam
berbagai data dan informasi.
Beragam kombinasi ini bisa meraut potensi pajak yang optimal, rasanya
percuma bila transaksi digital yang besar tapi eksekusi jalan di tempat. Kehadiran
arsitektur teknologi bisa berperan, sebab pajak digital yang seperti dikatakan
oleh McKinsey tak hanya sebatas angka saja tetapi bagaimana Indonesia bisa
membuat sistem pengelolaan data pengguna digital yang sederhana, mudah dan
mampu menekan penghindaran pajak sehingga proses pelaporan pajak digital
berlangsung dengan mudah. Meskipun kini banyak tantangan terutama UU Pajak
Penghasilan masih terfokus pada perdagangan berbasis tradisional. Penerapan
pelaporan digital layak mengadopsikan model bisnis seperti Netflix atau Spotify
yaitu Over-The-Top (OTT) sehingga regulasinya bisa relevan dengan lintas
negara dan dinamika bisnis digital.
Urusan pajak digital harus punya rumus yang baik terutama dalam memperkuat
kerja sama antar Ditjen Pajak, perbankan hingga PPATK. Semua itu ditempuh agar
aliran transaksi digital bisa terpantau dengan detail. Bila ditemukan ada
indikasi dan kejanggalan, pemerintah bisa menindaklanjuti masalahnya. Sampai
pada tahap akhir berupa penerbitan NPWP. Beragam langkah yang diterapkan pada
pajak digital tak hanya mampu menghimpun penerimaan negara tetapi mengenai
keadilan serta kepastian hukum.
Seakan membangun fondasi yang stabil sejak awal, negara kita jadi contoh
tak hanya dalam implementasi potensi pajak digital. Namun mampu bersaing dalam
sistem perpajakan global yang sangat kompleks. Bila sejumlah langkah tersebut
dilaksanakan dengan konsisten, penerimaan pajak sektor digital tak hanya
meningkat, namun menjadi motor penggerak ekonomi yang berkelanjutan. Instrumen
pajak digital dampak yang dirasakan cukup besar, tak hanya bisa dinikmati segelintir
pihak semata tapi bisa membiayai beragam kebutuhan nasional dari pendidikan,
kesehatan hingga infrastruktur. Peluang wajib dimanfaatkan karena ekonomi
digital bisa jadi tulang punggung negara di masa depan.
Menata Dasar Kebijakan Pajak Digital Indonesia
Bicara mengenai ekonomi digital, sesuatu yang sering digaungkan selama ini.
Ada banyak hal yang harus ditata kembali termasuk menjaring potensi pajak
digital. Secara global seluruh dunia punya misi yaitu OECD (Organisation for
Economic Co-operation and Development) bersama dengan G20 dalam sebuah
ambisi besar bernama BEPS 2.0 (Base Erosion and Profit Shifting). Ini
jadi salah satu acuan dari Pillar 1 dalam menciptakan sistem pajak
internasional.
Selama ini Indonesia hanya sebatas pasar menjanjikan dari perusahaan
global. Kini dengan adanya OECD Pillar 1, Indonesia bisa melakukan penarikan
pajak pada perusahaan digital raksasa yang selama ini meraup keuntungan besar
selama beroperasi di Indonesia. Ini bisa jadi peluang emas dalam peningkatan
penambahan penerimaan pajak. Hadirnya OECD Pillar 1 seakan wujud keadilan dalam
sistem perpajakan global. Ada banyak negara lainnya yang mendapatkan nikmat
pajak digital melalui skema Digital Service Tax (DST). Ini ibarat
pembagian kue yang bisa dinikmati tak hanya negara asal perusahaan tapi tempat
negara tempat usahanya beroperasi.
Meskipun banyak rintangan dalam proses implementasinya dan tak semudah
membalikkan telapak tangan. Pada sistem perpajakan lokal harus sudah
bertransformasi secara digital, SDM yang mengelolanya dituntut tidak hanya
paham aturan tapi melek dalam membaca data. Termasuk juga administrasi yang
disederhanakan yang selama ini sering menghambat perusahaan luar yang telah
lama dan yang ingin berinvestasi di Indonesia.
Arah Baru Penerimaan Pajak Digital di Indonesia
Ada hal yang patut kita apresiasikan, sebab negara kita telah memiliki
dasar hukum kuat dari UU HPP (Harmonisasi Peraturan Perpajakan). Kini yang kita
tunggu berupa aturan turunan seperti Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan
Menteri Keuangan (PMK) agar mekanisme penerapan pajak digital bisa berjalan
optimal. Ada juga prosedur lainnya yang dilengkapi seperti MAP (Mutual
Agreement Procedure) dan SPT Badan sehingga selaras dengan kesepakatan
global yang dinamis. Segala regulasi yang telah lengkap ini mampu mereformasi
sistem perpajakan yang selama ini terjebak pada pola lama bahkan praktik
penghindaran pajak lintas negara.
Mengenai aturan yang sudah jelas saja tak cukup, dalam penerapan pajak
digital membutuhkan banyak aspek krusial. Mulai dari infrastruktur teknologi
yang memadai, SDM yang melek akan analisis data serta literasi digital.
Pemerintah selaku pihak yang memberlakukan sistem pajak harus berinvestasi
lebih di sini terutama dalam menciptakan ekosistem khusus yang memudahkan
penerapan teknologi perpajakan modern berbasis Big Data dan AI. Ini membuat
regulasi yang telah disusun rapi bisa terimplementasi dengan optimal dan tak
hanya wacana semata.
Sistem yang baik juga seakan jadi masa depan pajak digital di Indonesia,
tak sebatas besarnya transaksi digital yang dihasilkan. Ini kaitannya dengan
kesiapan dalam penataan regulasi, penerapan teknologi hingga membangun budaya
taat pajak. Transformasi digital hanya pintu baru dalam peluang penerimaan
pajak dan Indonesia layak memanfaatkan momentum ini. Sinergi ini seakan
menjadikan pajak digital tak sebatas instrumen fiskal tapi simbol keadilan di
tengah arus digitalisasi global.
Kesimpulan
Pajak digital menyimpan potensi besar hingga puluhan triliun rupiah yang
bisa diwujudkan. Harus ada eksekusi matang yang dipersiapkan seperti regulasi kuat,
dukungan teknologi berbasis Big Data dan AI serta dukungan SDM andal dalam
mengeksekusinya. Hadirnya OECD Pillar 1 pun seakan menghadirkan warna baru, di
sini perusahaan digital bonafid yang selama menghasilkan keuntungan di tanah
air, kini ikut menyumbangkan insentif pajak. Secara tak langsung juga,
Indonesia tak sebatas pasar saja, kini berperan jadi pemain penting dalam
menikmati cuan dari ekonomi digital. Seakan menaikkan harkat martabat bangsa di
kancah perpajakan global.
0 komentar:
Post a Comment