Tuesday, December 30, 2025

Melihat Banjir dari Balik Layar: ASUS AiO V400 Series dalam Kisah Pemulihan Aceh dan Sumatra


Tanggal 26 November 2025 menjadi rabu kelabu dari luapan amarah siklon, air bah dari langit seakan tak ada hentinya turun. Bermula dari malam Jumat di tanggal 20 November, awan kelabu menyelimuti daratan Sumatra dengan hujan dan angin tanpa henti. Prakiraan cuaca menyebut ada siklon besar yang akan menimpa Sumatra tercinta, ia seakan mengitari daratan Sumatra dua kali, sempat berhenti sejenak di hari Minggu dan Senin.

 

Namun sejak malam Selasa  amukan tiada henti, mengirimkan kubik air langit tanpa henti. Saya seakan baru kali mendengar suara hujan sederas dan sekuat ini seumur hidup. Rasanya suaranya sangat deras dan tanya henti, perlahan genangan berubah menjadi aliran air yang memenuhi selokan dan sungai. Pertanda tanah sudah jenuh menerimanya.

 

Di situlah saya sempat mencoba membuat aplikasi prakiraan cuaca real time bernama Windy. Ada siklon yang berputar besar antara Aceh Tamiang dan Langsa, ia seakan tak mau pergi. Lalu tak berapa teman saya menghubungi dan bertanya apa kabar? Saya jawab baik dan setelahnya listrik mati dan disusul listrik padam.

Alfie

Ruli Retno

Tak ada cahaya sedikit pun di kegelapan malam. Bermodalkan lilin kecil atau senter dari ponsel. Seakan mencoba melihat keadaan di luar yang mencekam. Banyak rumah tetangga yang mulai terendam banjir luapan dari selokan. Semua tahu ini kondisi tak biasa yang siapa saja bisa merasakannya, disusul listrik padam tanpa cahaya.

 

Bagi saya, ini menjadi malam yang menakutkan karena tak bisa menghubungi siapa pun. Itu sebagian keluarga banyak yang mengungsi ke RS, sebab kala itu sedang musim influenza. Ada banyak RS yang penuh akibat kasus influenza. Jadi saya seorang diri di rumah, seakan berandai-andai bencana besar lanjutan akan tiba.

 

Perlahan pagi pun tiba, di sana terlihat ada banyak genangan air yang memenuhi sekitar rumah. Sebagian rumah di terendam air, seakan krisis baru dimulai. Saat kejadian banjir Sumatra saya berada di Banda Aceh, lokasinya tidak terlalu parah hanya debit sungai yang cukup besar dan sejumlah lokasi terendam air. Beberapa jam setelahnya bisa surut, sedangkan di pantai timur Aceh masih abu-abu. Tak ada info apa pun, seakan semua informasi terputus.

 

Barulah di sore harinya saya tahu, di pantai barat ada banjir bandang dan tanah longsor. Perlahan korban meninggal terus bertambah dan masih banyak daerah yang terisolasi. Liputan yang pertama saya lihat yakni daerah di Aceh Tengah seperti Takengon terputus. Ada banyak longsor yang menutupi tebing dan mengarah ke danau.

 

Lalu tak ada komunikasi berhari-hari lamanya, tahu berapa lama? Hampir 10 hari, itu punya hanya pesan singkat bertuliskan: kami selamat dan aman di pengungsian, sedangkan masih banyak yang belum bisa menghubungi keluarga terdekat. Berbagai cara dilakukan salah satunya memakai aplikasi, saya ingat waktu itu teman yang ahli klimatologi memberikan aplikasi browser yang bisa melacak sebaran banjir secara real time.

 

Melalui komputer di kantor yang kala itu masih tersedia listrik, membuka aplikasi dan melihat hasil yang mengejutkan terutama di sepanjang pantai timur Sumatra. Di sana barulah hati terkejut, semua area tenggelam. Hampir separuh daerah di Sumatra tenggelam akibat banjir kemarin. Menyisakan banyak bagian yang penuh kehidupan dan harapan, kini sirna. Hutan yang penuh pepohonan, sawah-sawah yang indah atau sungai yang penuh bebatuan. Semuanya berubah menjadi coklat dengan penuh kayu gelondongan dan lumpur sedimen.

 

Aplikasi itu juga seakan menentukan koordinat sejumlah teman, kolega hingga orang tercinta. Saya mencoba menzoom secara dekat dan menyesuaikan dengan aplikasi Google Map. Mencoba memastikan satu per satu, apakah wilayah itu masih bisa diakses, apakah rumah-rumah di sana masih berdiri, atau sudah tersapu arus.

 

Di depan layar, jarak antara data dan perasaan terasa semakin tipis. Angka, peta, dan citra satelit tidak lagi dingin. Ia berubah menjadi penanda kecemasan, sekaligus harapan bahwa di balik genangan dan lumpur, masih ada kehidupan yang bisa diselamatkan.

 

Bisa dibayangkan bagaimana nasib keluarga dan teman di sana, mereka butuh bantuan tetapi mereka yang tak terdampak secara langsung tak bisa mengaksesnya. Harga logistik melonjak gila-gilaan, BBM langka sampai pada listrik tak menyala. Ibarat kiamat kecil yang rasanya ingin segera berakhir, hanya bisa memikirkan nasib masing-masing.

 

Bagi saya, hal paling menyakitkan tentu saja tidak tahu bagaimana nasib karena banjir tidak langsung surut. Banjir seakan bertahan lama di daratan dan baru surut hingga 2 Desember, artinya masyarakat harus bertahan di atap rumah atau tempat tinggi, tanpa makanan dan pakaian layak. Penderitaan memilukan dan menyesakkan dada!

 

Saya selalu mengajak teman-teman di luar Aceh untuk merasakan pengalaman tinggal di sini. Kami punya pantai yang indah di bagian barat. Punya persawahan luas di sepanjang pantai timur, sedangkan di bagian tengah penuh dengan ekosistem hutan yang beragam di sepanjang Taman Nasional Gunung Leuser.

 

Keindahan bukit barisan yang di tengahnya berdiri pegunungan dan cekungan bernama Kota Takengon yang terkenal akan danau cantiknya. Cuacanya yang sejuk, menjadi pilihan terbaik saat akhir pekan. Saya dan sejumlah sudah punya rencana di akhir November untuk berlibur ke sana. Akan tetapi rencana Tuhan hadir lebih cepat dan di luar kendali manusia sebagai hamba-Nya.  Banjir datang duluan dan mengubah kontur wilayah tak bersisa dan memutusnya dari dunia luar.

 

Kini menyisakan pikiran yang campur aduk, bagaimana saudara di Pidie Jaya, saudara di Bireuen yang dekat DAS Sungai Peusangan hingga teman-teman yang banyak berada di daratan tinggi Gayo. Seakan campur aduk lagi segala koneksi putus. Memang saya berhasil mengakses internet di kantor, tetapi mereka di sana seakan kehilangan informasi.

 

Menggambarkan Dahsyatnya Banjir Sumatra

Saya coba menggambarkan sekilas, negara kita hampir sepenuhnya berada di garis khatulistiwa. Daerah ini paling aman buat terjadinya badai laut termasuk itu siklon. Memang ada banyak siklon tapi ukuran kali ini siklon senyar sangat besar dan bertahan lama mirip dengan yang terjadi setengah abad lalu di Flores. Namun kala itu yang mengalami kerusakan di daerah pesisir, sedangkan ini siklon bertahan di tengah jantung hutan hujan tropis.

 

Siklon seakan menumpahkan jutaan kubik air tiap menitnya tanpa henti, seakan hutan Sumatra yang telah mengalami deforestasi kelabakan dalam menyerap air. Akibat tak mampu, ia membuangnya ke sejumlah sungai-sungai besar yang jadi jantung kehidupan di sana. Tapi bukan hanya air, melainkan endapan sedimen dari perbukitan dan tentu saja paling menakutkan yakni kayu-kayu hasil pembalakan hutan.

 

Saya ingat dulu waktu kecil sering pergi ke hutan, di sana kondisi masih sangat asri. Aceh yang dulu terkenal dengan konflik bersenjata jadi lokasi persembunyian anggota GAM dari TNI. Aktivitas deforestasi masih sangat minim karena dentuman peluru membuat para pembalak hutan ketakutan. Kini tak ada lagi rasa takut, mereka bisa menebang hutan dengan leluasa bahkan saya pernah menjumpai excavator masuk jauh di tengah hutan lindung. Bagaimana bisa, perlahan hutan sedang dijarah.

 

 Lalu saya ingat dulu masih sering mendengar gajah masuk kampung karena saking besarnya habitatnya. Sedangkan sekarang, melihat gajah saja sudah langka apalagi hewan khas hutan yang mulai makin sempit habitatnya. Perlahan jumlahnya terus menyusut dan bahkan di hutan lindung sekalipun.

 

Kota-kota yang berada di pegunungan pun mengalami hal serupa. Akses untuk ke Blangkejeren yang jadi kota terdekat dari Taman Nasional Gunung Leuser terputus total. Atau indahnya Beutong Ateuh yang harus berhari-hari terisolasi tanpa ada kabar apa pun.

 

Lalu seakan pikiran saya bertanya, kenapa alam tega atau manusia yang sudah melampaui batas?

Seakan saya ingat akan pengalaman saya menuliskan artikel tentang hutan hujan tropis. Di sana saya baru sadar bahwa mereka punya curah hujan cukup besar mencapai 2000 mm/tahun. Saat banjir curahnya memang jauh lebih besar dari biasa, tapi ada lapisan yang menjaganya tetap stabil yakni pepohonan. Konsep hutan hujan nyatanya sederhana. Bukan karena hujannya deras tapi ketidakadaan musim kering yang nyata.

 

Selain itu, surah hujan yang tinggi dan merata seakan menciptakan lingkungan yang lembap yang memungkinkan kehidupan berkembang tanpa jeda. Di sana air bukan datang sebagai bencana, tetapi sebagai ritme alami yang terus berulang. Ia sangat konsisten dan alam menciptakan siklusnya sendiri, tapi kita mencoba mengubahnya menjadi berharga buat kita bukan buat alam.

 

Tapi manusia sering luput, tanah hutan hujan miskin nutrisi. Lebih dari 90% nutrisi tidak tersimpan di tanah, melainkan beredar begitu cepat di dalam biomassa yakni daun, batang, serangga, dan mikroorganisme. Artinya saat hutan ini rusak, nutrisi ikut hilang dan tanah hampir mustahil untuk bisa pulih secara alami. Semua nutrisi hanyut tak bersisa sedikit pun bersama derasnya hujan.

 

Jangan heran,  saat hujan tiba dan hutan yang rusak tapi mengirimkan ribuan kubik kayu yang siap menabrak apa saja yang ada di hilir. Tujuannya satu adalah turun ke tempat paling rendah. Skala kerusakannya sangat besar dan jauh lebih besar dari Tsunami di tahun 2004. Itu terlihat jelas sekali dari citra satelit dari Copernicus menunjukkan bahwa sisa-sisa banjir menyisakan banyak genangan air di sejumlah wilayah di Sumatra.

 

Banyak rumah hanyut, jalanan terputus dan amblas, hingga jembatan runtuh satu per satu. Proses pemulihannya tidak bisa cepat, karena akses menuju desa-desa terdampak harus menembus pelosok hutan, melewati jalur yang sebelumnya nyaris tak tersentuh alat berat. Setiap langkah pemulihan menuntut waktu, tenaga, dan kesabaran.

 

Di balik infrastruktur yang rusak, ada kehidupan yang ikut terguncang. Ada keluarga, kebun, sekolah, dan rutinitas yang selama ini menopang hidup masyarakat. Banjir bandang tidak hanya merusak bangunan, tetapi memaksa banyak orang untuk menata ulang hidup dari awal. Dari segala puing-puing yang tersisa, masih ada harapan.

 

Apakah bencana hanya sebatas banjir?

Alam seakan mencoba segala ketidakseimbangan dengan melahirkan ketidakseimbangan. Pidie Jaya dan Bireuen setelah banjir bandang selalu dihantui banjir susulan, saat saya menulis ini saja telah terjadi banjir susulan. Sedangkan Bener Meriah dan Aceh Tengah longsor tak ada henti-henti saat hujan tiba, bahkan khusus di Bener Meriah malah ada bencana tambahan yakni Gempa bumi yang diakibatkan aktivitas vulkanik dari Gunung Api di Burni Telong.

 

Kompleks deh, jadi masyarakat harus siap dari kondisi tanggap bencana. Memang derita di daerah yang indah secara panorama alam, segudang bencana mengintai kapan saja.

 

Banjir Bandang Sumatra: Tsunami 2.0 versi Daratan

Gubernur Aceh, Muzakkir Manaf (Muallem) mengatakan banjir Sumatra sebagai Tsunami kedua dan area yang terjadi jauh lebih besar. Yupss, bagi saya itu benar sekali sebab saya menjadi saksi hidup Tsunami tahun 2004 menerjang dan banjir Sumatra 2025. Meskipun di banjir Sumatra tak mendapatkan dampak langsung tetapi penderitaan banjir Sumatra sangat pedih dan berkepanjangan.

 

Kala waktu Gempa dan Tsunami 2004, bencana memakan ratusan ribu jiwa dalam waktu sekejap saja. Tetapi dalam kurun waktu dua hari saja, bantuan kemanusiaan berdatangan untuk korban yang terluka parah. Banyak pengungsi mendapatkan makanan yang layak, air bersih langsung hingga tempat penampungan yang menyediakan dapur umum.

 

Sedangkan Banjir kali ini tidak, pemerintah seakan tidak peka dan lamban mengambil tindakan. Apalagi tidak ada penetapan status banjir nasional yang membuat semuanya harus ditanggung daerah dan pusat. Sedangkan wilayah cakupan sangat luas dan akses yang rusak sangat banyak dan berada di dalam lokasi terpencil.

 

Tsunami menerjang lokasi yang berada di pesisir, akses laut menjadi opsi paling mudah buat menggapai desa-desa yang terdampak secara langsung. Sedangkan kini, banyak desa yang berada di hulu yang tidak bisa diakses langsung melalui akses darat. Hanya melalui bantuan langsung dari udara agar mampu menjangkau lokasi yang jauh ke pelosok.

 

Selain itu, banjir seakan butuh waktu lama untuk airnya surut, beda dengan tsunami yang kala itu di hari yang sama air-airnya ditarik kembali ke laut tanpa membawa endapan lumpur. Sedangkan banjir seakan memberikan dan menurunkan banyak sekali endapan lumpur padat. Ada banyak desa-desa yang terendam lumpur basah hingga padat.

 

Seakan desa-desa itu hilang dari peta dan bahkan ada banyak alur sungai yang berubah dan membentuk aliran baru. Itu pengalaman yang saya lihat langsung karena aliran sungai yang deras seakan air berupaya membuka jalan sendiri dan desa-desa menjadi korban.

 

Rasa Putus Asa dan Bendera Putih Berkibar

Banjir Sumatra yang maha dahsyat seakan mengingatkan saya akan film di Netflix yang bercerita tentang kecelakaan pesawat. Judulnya: Society of the Snow. Di dalam pesawat membawa sejumlah penumpang termasuk atlet Rugby Old Christians Club dari Uruguay menuju ke Chile. Bukan kecelakaan yang mengerikan tetapi dihentikannya proses pencarian atas korban yang selamat setelahnya.

 

Para penyintas mendengar lewat radio bahwa mereka dianggap telah mati. Sejak itu negara tak lagi hadir dan mereka berjuang sendiri memulihkan diri dan bertahan hidup dari kerasnya cuaca ekstrem di Pegunungan Andes. Keputusan sampai rela memakan jasad rekannya sendiri yang tak selamat, bukan akibat kehilangan moral tapi tak ada pilihan lainnya dalam bertahan hidup.

 

Hal yang sama yang terjadi saat banjir Sumatra melanda, polanya hampir sama dan menyakitkan. Bukan salju yang membekukan korban banjir tetapi air yang merendam kehidupan. Bukan juga pegunungan sunyi, melainkan desa-desa yang terisolasi begitu lama. Para korban banjir harus menunggu berhari-hari hingga bantuan bisa tiba. Ketika negara terlambat hadir, warga bertahan dengan apa yang ada, makanan seadanya, dapur darurat dan hidup dalam keterbatasan.

 

Banyak teman-teman di daratan tinggi Gayo yang mengirimkan foto, makan hanya bermodalkan biskuit. Sagu dan ubi dicampurkan dengan parutan kelapa sampai bantuan tiba. Sedangkan untuk bahan bakar mengandalkan kayu bakar hampir sebulan lamanya. Listrik dan internet jangan ditanya, sudah pasti putus total hampir tiga minggu lamanya. Mengandalkan internet satelit untuk bisa terhubung dan berkomunikasi dengan saudara jauh sembari bantuan tiba.

 

Bisa dibayangkan bila kita mengalami listrik dan internet padam sejam saja. Pasti menggerutu kepanasan, AC di ruangan tidak aktif. Sedangkan kami mengalami hampir 200 jam tanpa listrik. Ia, benar selama 200 jam tanpa listrik, itu untuk daerah yang tak terdampak langsung. Sedangkan yang terdampak sampai saat ini belum sepenuhnya pulih.

 

Kabar dari Dunia Luar, Kami Masih Ada dan Bertahan

Saya ingat saat internet menyala, salah satu notifikasi  ponsel yang masuk datang dari Mbak Katerina yang bertanya tentang kabar aku waktu:

 

Setelah itu sinyal hilang hampir tiga hari lamanya, rasanya waktu itu internet tak berguna. Hanya melihat penderitaan yang mengintai saudara, teman, kolega hingga orang-orang lainnya di sana.

 

Terlihat dari wajah korban penuh dengan rasa putus asa, mereka berharap penanganan lebih cepat. Seakan mirip dengan sekuel di film Society of the Snow, terjebak di iklim pegunungan Andes yang keras, keterlambatan berarti melawan alam yang ekstrem.

 

Di Sumatra, keterlambatan berarti melawan kelaparan, rasa dingin, penyakit yang mengintai dan tentu saja keputusasaan. Jangan heran selama perjalanan yang melihat banyak bendera putih, wujud rasa putus asa tapi tenang ada rakyat untuk rakyat dalam membantu beratnya tiap bencana.

 

Memulai Misi Besar, Rakyat Membantu Rakyat

21 tahun lalu saya merasakan hal sama memilukan, gempa bumi dan tsunami 2004 seakan masih melekat erat. Saat pagi hari yang cerah itu, lalu tanah bergerak dengan cepat dan itu datang dari getaran bernama gempa. Guncangannya seakan tak ada hentinya, ia bergerak tanpa henti dan merusak apa pun yang ada di atas.

 

Seakan bumi memberikan jeda, semua orang yang merasakan saat itu seakan daratan telah aman. Tapi ada bencana lain yang akan menyusul. Lokasi rumah saya yang berada di dekat laut seakan menjadi amukan air bah dari laut. Ia menghancurkan kampung dan menelan orang-orang dalam sekejap, saya beruntung bisa selamat kala itu.

 

Bersama sejumlah orang-orang lainnya, bertahan di atas reruntuhan bangunan pertokoan yang runtuh akibat gempa. Air seakan terus naik dan saat itu hanya berpegangan pada besi-besi bangunan. Bila air naik sedikit lagi, seakan saya dan keluarga tak ada lagi. Hari itu menjadi hari terakhir sembari melihat laut menghanyutkan kapal berukuran besar.

 

Tapi setelahnya air tsunami surut, menyisakan bahwa kami diberikan kehidupan kedua. Pengalaman yang terus saya ingat sampai sekarang. Saat melihat di tayangan televisi, masyarakat di sejumlah wilayah yang ada Sumatra bertahan di atas atap rumah dan pertokoan. Dalam pikiran mereka hanya satu, apakah aku bisa melihat diriku sejam lagi atau ini jadi akhir hidup. Terbawa dalam tingginya air bah, menghanyutkan tanpa sisa.

 

Setelah tsunami surut, saya ingat ada banyak orang bahu membahu menolong korban. Mereka mencari tempat perlindungan yang lebih tinggi. Ada banyak orang yang membantu dan mempertaruhkan nyawanya untuk menolong korban tsunami kala itu. Itulah hal yang seperti banjir Sumatra, mereka mencari tempat pengungsian yang aman dan membuka dapur umum. Di situlah masyarakat membantu masyarakat dimulai.

 

Bagi saya dan mungkin banyak orang lainnya, penderitaan masyarakat lainnya jauh lebih pedih. Sama halnya di saat Gempa bumi dan Tsunami 2004, ada banyak orang yang rela datang untuk menolong sebelum pemerintah datang. Tujuan mereka tulus dan bahkan rela meninggalkan keluarga hanya untuk menolong mereka yang bisa terselamatkan. Bencana tak berhenti hanya dari siklon, telat tindakan adalah bencana nyata.

 

Mereka seakan menanggalkan suku, bangsa, hingga agama. Tujuannya hanya satu yakni kemanusiaan. Hari kedua saya sempat diselamatkan oleh relawan Jepang yang sudah tiba ke Aceh. Itu bagaimana caranya bisa sampai ke sini, lalu datang pula relawan dari prancis yang membersihkan perkampungan, atau gaya flamboyan khas koboi dari Amerika yang mengirimkan makanan khas mereka langsung dari Helicopter Chinnok yang hanya bisa dilihat di film-film perang mereka.

 

Atau relawan Korea nan santun yang berbaur lama seakan membuat saya paham akan beberapa patah ucapan dari korea. Bahkan dari guru dari Norwegia yang mengajarkan anak-anak di pengungsian dan memberikan donasi dari anak-anak muridnya dari Oslo. Banyak cerita kala itu, intinya rasa ingin membantu secara global.

 

Tapi bencana kali ini kita mencoba meskipun relawan asing tak ada, negara kita terkenal dengan rasa dermawan dan kepeduliannya. Bersama mengumpulkan donasi buat korban yang terdampak. Sebagai seorang ASN, kami merasakan hal serba sulit dimasa darurat bencana. Di sinilah penggalangan dana dimulai sejak hari Jumat, ada banyak posko penyaluran berbagai kebutuhan.

 

Apakah itu urusan logistik, pakaian layak, air bersih hingga kebutuhan buat bayi. Mereka butuh semuanya dan harus segera diantarkan. Waktu yang singkat biar korban yang terdampak bisa segera terbantu dari logistik. Seminggu setelah bencana, bantuan berhasil terkumpul yang datang dari berbagai pihak. Rasa pedih saat melihat saudara-saudara yang terdampak seakan makin memilukan. Rasanya inilah waktunya.

 

Saya bisa katakan, 2 minggu setelah bencana adalah masa tersulit dalam hidup saya dan banyak orang Sumatra. Bagaimana tidak, untuk bisa ke lokasi bencana butuh BBM tetapi ia tak tersedia. Butuh waktu berhari-hari untuk bisa mendapatkannya. Sedangkan listrik jangan tanya, saya seakan merasa perangkat elektronik rasanya tidak berguna. Semuanya mengandalkan feeling bagaimana nasib saudara dan keluarga di sana.

 

Perjalanan pertama ekspedisi pertama bersama pihak kantor dilaksanakan di daerah Pidie Jaya. Di sana lokasi paling dekat dan BBM yang dibawa cukup. Ada banyak bantuan yang kami bawa dan semuanya antusias bisa pergi ke sana. Walaupun tak mandi akibat tak ada air atau pusing tujuh keliling saat tahu harga cabai meroket 300 ribu/kilo dan telur seharga 10 ribu perbutir. Semuanya ada satu pada satu tujuan, membantu masyarakat untuk masyarakat.

 

Perjalanan Menuju Lokasi Bencana

Saya bisa katakan sudah 3 kali ke lokasi bencana, meskipun belum seluruhnya tapi cukup menggambarkan pilunya. Pada minggu pertama saya ke lokasi bencana yang cukup dekat yakni di Pidie Jaya dan Bireuen. Lokasi ini selain dekat, akses setelahnya terputus akibat jembatan Kuta Blang di Bireuen terputus. Tujuan utama tentu saja buat menyalurkan logistik ke sejumlah desa-desa di sana.

 

Chapter Pertama: Pidie Jaya, Awal mula Melihat Kerusakan Banjir Sumatra

Lokasi bencana terdekat yang kami datangi yakni Pidie Jaya, jaraknya tidak jauh dari ibukota Banda Aceh. Waktu tempuh hanya 4 jam saja, di sana kami mulai pemandangan yang memilukan. Ada banyak kendaraan warga yang penuh dengan lumpur. Kini terparkir di sejumlah bengkel, sudah pasti tidak bisa menyala. Ada banyak anak-anak bermandi peluh akan lumpur. Mereka ini merasakan itu rasa senang, padahal penyakit kulit hingga disentri bisa saja mengintai.

 

Tak ada lagi pakaian yang bisa diselamatkan, semuanya penuh dengan lumpur. Mata saya tertuju dengan ibu-ibu yang sedang mencoba mencuci pakai kesayangannya yang sudah kecoklatan di genangan air kotor. Rasanya itu begitu memilukan dan terasa sia-sia. Mereka sangat itu paling butuh logistik, pakaian yang layak, dan tentu saja air bersih.

 

Pemandangan pilu di desa yang berada di hilir rasanya mendapatkan dampak paling besar. Ada banyak lumpur yang merendam rumah mereka. Saya melihat rumah yang hanya menyisakan atap saja dan setengahnya sudah tertimbun tanah padat. Rasanya semua kenangan di rumah itu sudah terendam tanpa sisa.

 

Pidie jaya sejak dulu terkenal dengan lahan persawahan yang indah. Seakan kita melewati hamparan hijau persawahan dan pegunungan. Tapi kini semuanya berubah, persawahan tadi ditutupi material lumpur pekat dan pegunungan yang penuh dengan bekas longsor.

 

Petani yang menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian harus gigit jari, hasil pertanian semuanya gagal termasuk beras yang sudah disimpan di dalam gudang. Semunya terendam tanpa sisa, kini hamparan sawah luar menjadi lahan datar yang seakan tak tahu lagi di mana sawah itu berada. Setelah banjir besar, sudah ada tiga kali banjir susulan yang datang, masyarakat seakan terusir dari lahan mereka dan rumah mereka terendam.

 

Selanjutnya di Pidie Jaya, kami mendapatkan data desa paling parah mendapatkan amukan banjir bandang. Lokasinya masuk jauh di atas perbukitan, di sana satu hal yang kami lihat. Ada banyak lahan sawit swasta yang berada di perbukitan, lalu di pinggiran sungai setelah melewat perbukitan kami memasuk sebuah desa kecil bernama Lhok Sandeng.

 

Lokasi kini seakan tergerus, pemukiman warga telah menghilang. Menyisakan area sungai yang dangkal melebar dari semestinya. Terlihat arah aliran sungai tak karuan, ia membentuk lintasan baru yang mencabik-cabik pemukiman warga. Banyak kayu gelondongan yang terbawa dari hulu menjadi sampah alam, warnanya menguning dan menutupi bibir sungai. Pembalakan hutan itu nyata adanya.

 

Setelah melewati desa yang porak-poranda, kami akhirnya tiba di sebuah puskesmas yang di dalamnya ada musala setempat. Lokasi itu menjadi pengungsian sementara masyarakat di sana. Ada banyak ibu-ibu dan anak-anak yang menyambut, wajah mereka gembira menyambut bantuan datang. Tapi di dalam hati mereka hancur sebab rumah yang telah lama ditinggali sudah musnah.

 

Saya pun bertanya dengan ibu Halimah, ia bercerita panjang lebar bahwa ia tak ingin kembali lagi ke rumahnya. Di dapur rumahnya sudah menjadi sungai yang melebar, menyisakan rasa takut dan mencekam. Saya lebih baik tinggal di sini sampai kondisi aman apalagi ia berharap bisa tinggal di lokasi baru yang jauh lebih nyaman.

 

Sepulang dari sana saya merenung, memikirkan ada banyak warga desa yang terdampak. Ibu Halimah hanya satu dari ribuan warga serupa, tak kembali lagi ke rumah dan rasanya kampung halamannya tak lagi sama. Di sinilah saya dan tentu saja pemerintah saja, ada banyak yang terdampak dan data mereka yang terdampak sampai yang paling terkecil harus terdata. Dari data tersebut juga kita bisa membantu warga dan dari data juga kita bisa memberikan informasi ke pemerintah pusat bahwa banjir Sumatra hanya mencekam di sosial media tapi ini nyata.

 

Setelah dari sana, hujan pun turun deras kembali. Seakan banjir susulan pun tiba, perubahan cuaca yang tak menentu seakan mengembalikan banjir susulan akibat perubahan kontur daerah di hilir. Sawah-sawah hijau dan irigasi yang rusak sebagai penampung air, kini sudah dipenuhi lumpur padat. Saat hujan dari hulu sungai turun, ia seakan menjebak kawasan pedesaan untuk merasakan kembali banjir, seakan luka yang belum kering harus luka kembali

 

Chapter kedua, Hadir dan Bergabung di Posko Bireuen, Aceh Utara dan Lhokseumawe

Pada minggu kedua setelah bencana, proses logistik mulai mengarah ke sejumlah hal yakni proses pendataan. Data ini perlu sekali terutama buat masyarakat yang terdampak, area yang luas dan bahkan untuk di Aceh saja ada sebanyak 3544 desa dari 200 kecamatan yang kena. Jumlah yang sangat besar tersebar pada 18 kabupaten/kota di Aceh. Luas banget itu dan rata-rata desa yang kena sepanjang hulu hingga hilir sungai.

 

Benar rasanya Gubernur Aceh mengatakan Banjir Sumatra ibarat Tsunami kedua dan jauh lebih besar. Sebagai saksi hidup, banjir Sumatra jauh menyiksa dan menyakitkan. Harus merasakan 10 hari tanpa listrik, tanpa air, dan tanpa energi. Rasanya kehidupan berhenti sejak matahari terbenam dalam kegelapan malam, mencari sumber energi terdekat termasuk perkantoran atau kedai kopi.

 

Perjalanan ke Bireuen, Aceh Utara, Lhokseumawe dimulai dari ibu kota Banda Aceh. Biasanya jarak tempuh ke sana membutuhkan waktu selama 6 jam, namun setelah bencana waktu tersebut mustahil di tempuh. Saat melewati sejumlah wilayah dari Pidie jaya, kami sudah dihadang genang banjir susulan. Ada banyak jalan yang telah mengelupas dihantam air bah, jalanan Aceh yang terkenal mulus seperti tol kini hanya tinggal kenangan. Jadi harus serba hati-hati sekali dalam berkendara.

 

Pemandangan sepanjang jalan tak luput rumah warga yang terendam lumpur. Mereka sebagian mendirikan tenda darurat di depan rumah sembari menjemur barang yang dirasa bisa diselamatkan. Rumah yang masih tersisa dipenuh lumpur padat dan banyak yang fondasi dasarnya terkikis air. Tak ada kemungkinan untuk tinggal lagi.

 

Hingga sampai di Kuta Blang Bireuen, ini kota yang sangat sibuk. Kota tempat orang tua saya tumbuh besar. Saya melihat kondisi pilu di sana, persawahan pada terendam padahal itu musim panen. Termasuk dengan sawah milik keluarga. Tapi ajaibnya lokasi desa selamat dari amukan air bah, bentuk lekuk DAS Sungai Peusangan yang berliku seakan lebih mengarah ke area lain di sebelah sana. Menghancurkan desa seberang tanpa sisa.

 

Tapi di sini kendalanya, karena misi kemanusian di minggu kedua adalah untuk pergi ke Aceh Utara dan Lhokseumawe. Jadinya jembatan lintas nasional bernama Kuta Blang telah runtuh, mau tak mau kami harus meninggalkan kendaraan di seberang, berharap ada jemputan atau naik kendaraan travel. Tapi tantangan sebenarnya adalah naik boat nelayan setempat.

 

Sehari sebelumnya ada berita hanyut sejumlah penumpang yang menyeberang. Membuat takut sejumlah anggota tim dari kami. Memang kala itu arus sungai Peusangan sedang deras dan boat yang digunakan jauh lebih kecil. Meskipun begitu barulah ada safety selama proses penyebrangan, baru ada life jacket sampai regulasi keamanan lainnya. Dalam bencana ada bencana lain yang mengintai, berat sebab banyak relawan yang bertaruh nyawa buat sampai ke lokasi.

 

Sampai ke seberang sana, tanpa ada kendaraan dan harus naik mobil sewaan. Sedangkan kendaraan dan barang yang dianggap berat harus tinggal di seberang. Setiba di Lhokseumawe, tak ada penginapan mewah. Hanya rumah warga yang disewakan buat tinggal sementara, kondisi yang serba terbatas. Namun tugasnya jelas yakni melakukan proses input data korban banjir di sana.

 

Kami bekerja sama dengan pemkot Lhokseumawe dalam proses input data, memindahkan barang dari sejumlah gudang BULOG yang kemudian disalurkan pada masyarakat sekitar. Memang Lhokseumawe tidak terdampak langsung, tapi di luar kota yakni Aceh Utara seakan mengirimkan air bah luar biasa.

 

Saya mendengarkan kisah Bang Rahmat, ia mendengarkan di malam itu ada suara gemuruh dari bukit. Ia kala itu berada di Sawang, Aceh Utara. Daerah yang sempat Gubernur Aceh katanya desanya menghilang dari peta. Terlihat di sana para petani sawit membawa jeriken kosong saat air bah datang. Mereka menjadikan jeriken kosong sebagai pelampung saat air bah datang. Sedangkan masyarakat bertahan di tempat tinggi atau hanyut terbawa air bah.

 

Bang Rahmat bercerita bahwa, tinggi air mencapai 11 meter kala itu, tanda ada yang bertahan termasuk kumpulan pohon sawit punya perusahaan. Semuanya terbawa arus banjir hingga sampai ke hilir dari Krueng Geukuh, saya bergindik ngeri mendengarkan cerita beliau. Seakan menyisakan kerusakan permanen yang sulit diperbaiki.

 

Tugas menjadi posko memang tak langsung terjun langsung ke lapangan, tapi di sini perlu sekali data. Selain itu butuh perangkat khusus buat bekerja, tak hanya beberapa carik kertas. Ada banyak bantuan lokal dan nasional yang harus dihimpun, bantuan itu harus sampai ke tangan masyarakat yang tepat.

 

Saya pun diberikan akses akan semua data-data tersebut, setiap dua hari sekali diupdate berkala dengan Google Drive, di sana data-data tersebut disampaikan ke Pemerintah Aceh. Melalui aplikasi bencana.acehprov.go.id akan ada update data.

 

Memang, dalam sistem Pemerintah Aceh, data yang tercatat belum merinci bantuan secara spesifik per item. Informasi yang tersedia masih berupa nilai dan jumlah keseluruhan. Sementara itu, pada level pemerintah kota, pencatatan bantuan lebih detail, mencakup jenis bantuan logistik yang disalurkan kepada masyarakat terdampak.

 

Perbedaan ini menegaskan betapa pentingnya sinkronisasi data lintas level pemerintahan agar bantuan tidak hanya cepat, tetapi juga tepat sasaran. 4 hari di Lhokseumawe dihabiskan seharian di posko, jelang sore hari saya mengajak Bang Ammar ke sejumlah lokasi dengan motor warga lokal. Di sana melihat pengungsian yang sebagian sudah pulang ke rumah masing-masing. Selain itu pergi ke sejumlah lokasi di Aceh Utara. Daerah bencana kebutuhan kendaraan sangat mendesak dan siapnya akses seperti jembatan rasanya penting sekali.

 

Di Lhokseumawe juga saya melihat ada banyak petani cabai dari Bener Meriah dan Takengon. Mereka berjualan cabai dengan harga cukup murah, hanya Rp.15.000/kg. Sebelum adanya inisiasi Ferry Irwandi, banyak petani cabai yang menjual hasil cabai mereka hanya untuk bisa menukarkan dengan beras dan BBM. Lalu esok paginya mereka melanjutkan diri menembus jalanan terjal Simpang KKA, naik jauh hingga ke Gunung Salak untuk bisa kembali ke rumah, membawa kembali beras dan BBM hanya untuk keluarga di sana.

 

Saya termasuk membeli cabai sebanyak 2 kg saja buat dibawa pulang dan oleh-oleh ke Banda Aceh. Harga cabai yang sempat meroket hingga 150 ribu/kg seakan membuat shock siapa saja. Cara sederhana masyarakat lokal membantu ekonomi korban terdampak. Tak hanya petani cabai, ada banyak petani lainnya yang butuh dukungan menyelamatkan ekonominya pasca bencana.

 

Chapter ketiga, Kerja Bakti Aceh Timur hingga Aceh Tamiang

Minggu keempat kami sembari ditugaskan, ini bukan lagi urusan membagikan sembako atau mengumpulkan data daerah terdampak. Tetapi lebih dari itu yakni bergotong royong membersihkan fasilitas umum di daerah terdampak. Saya deg degan lokasi yang dipilih, semoga bukan lokasi yang sama, sebab ada banyak kabupaten yang terdampak dan setiap penugasan harus di lokasi yang berbeda.

 

Akhirnya lokasi yang terpilih yakni di Aceh Tamiang, daerah paling terdampak parah akan banjir Sumatra. Kerusakan di sana sangatlah masih, bahkan hampir 90% fasilitas rusak dan terendam banjir berhari-hari. Desa yang harus dibersihkan yakni Karang Baru, Aceh Tamiang. Sebagai gambaran Karang Baru jadi lokasi yang terdampak cukup parah.

 

Tumpukan kayu gelondongan, lumpur hingga bangkai kendaraan bercampur padu. Lokasi yang mungkin banyak dilihat pada televisi berdiri pesantren yang berhasil menahan gelondongan kayu masuk ke pemukiman warga. Di situlah lokasi kerja bakti kami, membersihkan daerah yang dulunya penuh cinta menjadi kembali berdenyut. Jelas masyarakat tak mampu, mereka sudah survive saja telah bahagia. Kini tangan-tangan relawan yang terlibat di dalamnya.

 

Perjalanan ke sana tak berjalan mulus, normalnya butuh waktu 9 jam tetapi ini masa darurat dan butuh sampai 13 jam. Rata-rata waktu dihabiskan buat antre di jembatan darurat Bailey di Bireuen, terjebak panjang sepanjang Aceh Timur dan sampai di Aceh Tamiang yang masih gelap gurita seperti kota hantu. Menginap di tenda darurat bersama warga dan selama dua hari ke depan bekerja bakti membersihkan fasilitas umum di sana.

 

Lokasi yang kami bersihkan yaitu kantor Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Gampong atau seperti Dinas Desa setempat. Aceh itu unik sebab mereka punya undang-undang sendiri dalam wujud UUPA, jadinya ada sejumlah dinas yang tak ada di wilayah Indonesia lainnya.

 

Sebagai bagian dari DPMG Provinsi, pilihan di Tamiang tentu saja sebagai wujud pengabdian. Saat tiba ke sana, langsung terbayang lumpur setinggi lutut yang sebagian besar seakan mau mengeras. Bahkan sebagian seakan sudah ditumbuhi rumput. Di sanalah aksi dimulai dengan menurunkan alat kebersihan, bersama-sama membersihkan lokasi yang penuh dengan lumpur.

 

Bila tak ada alat dan bantuan dari kami, rasanya kantor DPMG Aceh Tamiang akan mati suri dalam waktu lama. Membersihkan lumpur tentunya bikin pinggang encok, apalagi mengandalkan alat seadanya. Tapi tujuannya misi kemanusiaan dan membantu saudara yang terdampak seakan rasa capek itu hilang. Seakan berani kotor itu baik dan bermanfaat.

 

Di tengah rasa lelah yang menumpuk, ada satu pemandangan kecil yang justru mencairkan suasana. Banyak pria setempat mengenakan pakaian muslimah perempuan. Bukan untuk bergurau, tetapi karena itulah pakaian yang tersisa dan tersedia hasil sumbangan warga. Dengan busana itu, mereka tetap bekerja apakah itu mengemudikan becak barang, mengatur parkir, hingga mengarahkan tamu yang datang membantu.

 

Di wajah mereka terbit senyum yang tulus, senyum orang-orang yang memilih bertahan meski keadaan tidak ramah. Di balik tawa kecil dan canda ringan, tersimpan hati yang mungkin sedang hancur. Namun di situlah saya melihat kekuatan yang sesungguhnya, kemampuan saling menguatkan, bahkan ketika hidup sedang runtuh di sekelilingnya.

 

Mengolah Data di Weekday dan Kerja Bakti di Weekend

Bisa saya katakan, menjadi ASN itu berat khususnya saat bencana. Masuk dan pulang kantor wajib sesuai jadwal, pikiran campur aduk. Apakah nanti buat antre BBM dan tabung gas yang sudah mengular panjang. Itu belum lagi memberi sejumlah makanan yang nanti dimasak atau disimpan, karena listrik tak ada mau tak harus belanja setiap hari. Sedangkan beli makanan di luar harganya melambung tinggi akibat pasokan terbatas.

 

Kelebihannya punya akses listrik dan internet saat berada di kantor, sedangkan orang lainnya rela desak-desakan di kedai kopi sembari membawa colokan hanya untuk mengisi daya. Tapi tugasnya ASN banyak dan saya mendapatkan tugas dari mulai pengantar logistik, input data ke sistem pemerintah, dan gotong royong. Paling konsisten tentu saja input data update terkait bencana.

 

Selama 4 hari seminggu dikhususkan input data hidrometeorologi yang didapatkan dari relawan dan pendamping desa setempat. Data ini berguna sekali agar proses pengambilan keputusan dari penentuan wilayah prioritas, perhitungan logistik hingga evaluasi dampak bencana secara menyeluruh. Tanpa data yang akurat dan terbarui, bantuan berisiko datang terlambat dan jadi tak tepat sasaran.

 

Di sinilah peran PC benar-benar terasa. Mengolah data hidrometeorologi bukan pekerjaan sekali klik. Ada tabel panjang, pembaruan berkala, pengecekan silang antarwilayah, dan sinkronisasi dengan sistem pusat. Semua itu membutuhkan layar yang lega, performa yang stabil, dan sistem yang tidak mudah bermasalah. Dalam situasi di mana kesalahan satu angka bisa menggeser prioritas bantuan, perangkat kerja tidak boleh menjadi sumber masalah baru.

 

Rutinitas itu berulang dari Senin hingga Jumat mengolah data di weekday. Lalu turun langsung ke lapangan saat weekend untuk kerja bakti, distribusi logistik, dan memastikan laporan sesuai dengan kondisi nyata. Pola kerja seperti ini melelahkan, tapi harus dijalani. Karena di masa bencana, ASN bukan hanya bekerja di balik meja, tetapi juga ikut memikul beban sosial di tengah masyarakat yang sedang terluka.

 

Ketika kembali ke kantor, satu-satunya hal yang saya butuhkan adalah sistem yang siap bekerja tanpa banyak tanya. Perangkat yang langsung menyala, tidak rewel, dan mampu menampung semua data yang sudah dikumpulkan dengan susah payah. Dari situ saya belajar, bahwa dalam kerja kebencanaan, teknologi bukan soal kecanggihan, melainkan soal kehadiran yang konsisten menemani kerja sunyi di balik layar agar bantuan bisa sampai tepat waktu di lapangan.

 

Membantu Petani dalam Bencana

Banjir bandang menghantam masyarakat pegunungan di Sumatra dan mereka selama ini bergantung hidup dari hasil alam. Di Aceh sendiri kala bencana datang ada banyak perkebunan, persawahan, hingga tambak yang rusak. Di sini ada banyak yang mata pencahariannya terputus dan itu menyakitkan. Sebagian yang selamat kesulitan menjual hasil alamnya, mereka relawan menembus daerah longsor dan berjalan kaki ratusan km hanya untuk menjualnya dengan harga murah.

 

Saat bertugas di Kota Lhokseumawe, ada banyak penjual cabai yang turun jauh ke kota dan tujuannya hanya satu yakni menjual barang secepatnya dan hasilnya akan dibelikan logistik dan BBM. Apakah hanya petani cabai saja? Jelas tidak. Saat bencana lagi banyak musim buah-buahan di Aceh. Selama perjalanan bisa ditemui penjualan rambutan, langsat, dan durian di sepanjang jalan. Mereka menjual dengan harga miring di depan rumahnya sedang teredam.

 

Seakan saya tertarik dengan Program Bang Ferry Irwandi, setiap logistik yang masuk harusnya ada Feedback. Tak hanya sebatas Hercules kosong yang kembali dari bandara-bandara di Pedalaman Aceh, tapi mereka membeli dan mengambil hasil alam di sana.

 

Di daratan gayo mungkin bukan sebatas cabai, bisa saja hasil kopi gayo yang terkenal enaknya. Ada juga sayuran-sayuran lainnya seperti kentang, wortel, tomat dataran tinggi, bawang daun, sawi, petsai, hingga buncis yang selama ini menjadi tulang punggung hortikultura ikut terdampak. Lahan-lahan di lereng dan dataran tinggi yang biasanya hijau dan produktif berubah menjadi hamparan lumpur.

 

Bencana ini bukan sekadar merusak tanaman, tetapi memutus mata rantai penghidupan petani dari kebun, pasar lokal, hingga pasokan ke wilayah pesisir Aceh. Salah satu opsi tentu saja dengan sistem pendataan sejumlah hasil alam tersebut dan nantinya bisa dijual ke pasar nasional. Data tentang jenis komoditas, jumlah produksi, lokasi terdampak, hingga potensi panen menjadi pintu masuk agar hasil bumi Gayo tidak berhenti di pasar lokal, tetapi bisa diarahkan ke pasar yang lebih luas, termasuk pasar nasional.

 

Di titik inilah peran teknologi menjadi krusial. Proses pendataan tidak bisa dilakukan serampangan. Ia membutuhkan perangkat yang mampu mengolah data dalam jumlah besar, membuka peta dan laporan secara bersamaan, serta menyimpan arsip dengan aman.

 

PC dengan layar lega memudahkan membaca sebaran wilayah terdampak, sementara performa yang stabil memastikan input data berjalan tanpa gangguan. Bagi saya, perangkat kerja seperti ini bukan sekadar alat administratif, tetapi jembatan antara petani yang terdampak dan peluang pemulihan ekonomi.

 

Dengan dukungan sistem digital dan perangkat yang andal, data hasil hortikultura yang sebelumnya tercerai-berai bisa dikonsolidasikan. Dari sana, pemerintah dan pemangku kepentingan dapat menyusun strategi distribusi, membuka akses pasar yang lebih luas, dan memastikan bahwa pemulihan tidak berhenti pada bantuan jangka pendek, tetapi bergerak menuju keberlanjutan.

 

Toh tujuannya jelas agar petani tidak miskin, tak ada lagi petani memikul hasil alamnya jauh dibawa ke kota-kota pesisir dan menjual dalam harga murah. Bila pasarnya didapatkan, mereka tidak lagi miskin dan tentu saja ketergantungan dengan bantuan bisa berkurang. Kini mereka bisa kembali memiliki uang untuk memperbaiki ladang yang telah rusak pasca bencana.

 

Hal yang sama pula di sejumlah wilayah terdampak di pesisir timur Aceh. Hasil alam seperti rambutan, langsat hingga berbagai komoditas kebun rakyat lainnya ikut terdampak, baik karena terendam banjir maupun terputusnya jalur distribusi. Buah-buahan yang seharusnya bisa segera dipasarkan justru menumpuk di kebun atau rusak sebelum sampai ke konsumen. Di kondisi seperti ini, pendataan dan pemetaan hasil alam menjadi langkah awal yang penting, agar potensi yang masih ada bisa diselamatkan dan disalurkan ke pasar yang lebih luas.

 

Saat tugas Komputer Bukan Sebatas Alat Kerja, Tapi Device Bertahan Hidup

Hampir dua minggu pasca bencana kondisi listrik belum normal, antrean BBM mengular dan sulitnya mendapatkan jaringan internet yang stabil. Namun di situ proses input data sudah dimulai, bahkan saya sudah ditugaskan di salah satu posko di Kantor Gubernur untuk melakukan koordinasi data.

 

Di sinilah hari-hari diisi dengan pagi-paginya ke kantor buat absen lalu, ke pusat sistem penginputan data secara real time. Di situlah peran komputer bukan sekadar urusan produktivitas, data ini urusannya keberlangsungan hidup banyak orang. Siapa saja yang terdampak, siapa saja yang perlu sekali dapat bantuan yang kemudian dikirim ke pusat bekerja sama dengan BNPB dan pemerintah pusat.

 

Siklon senyar yang terjadi di Sumatra seakan mengingatkan saya pada Siklon serupa yang terjadi di Flores di tahun 1973. Jumlah korbannya sangat identik dengan yang terjadi saat ini, bahkan termasuk sebagai siklon tropis paling mematikan di belahan bumi selatan. Kejadian itu sudah terjadi lebih dari setengah abad lalu.

 

Seakan pemerintah kala itu telat mendapatkan informasi tersebut, baru sebulan kemudian setelah bencana terjadi. Inilah yang tidak mau terjadi, di era modern saat kini, akses internet dan informasi jadi hal terdepan. Dibutuhkan data yang cukup cepat dan respons tanggap bencana, tanpa data desa yang paling parah justru terlewatkan dan tanpa data negara bekerja dalam gelap.

 

Di kantor saya termasuk orang yang beruntung, masih bisa mendapatkan listrik walaupun tak stabil dan masih bisa internetan. Namun di ruangan itu bersama teman-teman lainnya harus menghabiskan waktu berjam-jam menatap layar, bukan untuk berselancar tetapi menginput laporan dari para relawan dan pejuang kemanusian untuk urusan data hidrometeorologi. Ada juga data pengungsi, kerusakan fasilitas umum, hingga data persawahan dan ternak warga harus dihimpun semua.

 

Data ini bisa mengestimasi kerugian yang terjadi saat banjir dan proses pemulihan yang dilakukan. Di titik ini saya sadar bahwa komputer adalah tulang punggung dalam misi kemanusiaan. Karena tak semuanya harus turun ke lapangan, tugasnya berganti-gantian dan agar masa tanggap darurat bisa segera berakhir.

 

Biasanya saya bekerja dengan laptop dan itu jelas tidak nyaman. Ukuran laptop saya terlalu kecil untuk melihat begitu banyak sheet dan tentu saja membuat banyak tab. Di sinilah peran komputer AIO sifatnya praktis dan mengalahkan laptop tentunya terutama desainnya yang minimalis.

 

Saat membuka berbagai data dari peta lokasi daerah yang terdampak, dashboard data korban dan desa terdampak, laporan desa, dan spreadsheet logistik secara bersamaan, jelas layar laptop akan penuh. Apalagi laptop saya layar hanya 13 inci, beda jauh dengan komputer yang bisa sampai dua kali ukuran laptop pada umumnya.

 

Bila di kondisi normal mungkin bisa gampang saja buat berpindah tab, tapi ini tak berlaku selama masa tanggap bencana. Salah input data di suatu desa pada suatu kolom bisa berakibat fatal. Di sinilah layar besar bisa memperluas fokus dan ketelitian apalagi dengan kontras nan jernih.

 

Jadi urusan dengan komputer AIO terasa begitu gampang dalam membuka peta bencana, tabel, dan laporan tanpa harus berpindah layar. Selain itu, konsepnya yang praktis artinya tak ada CPU yang terpisah, tak ada gulungan kabel yang mengganggu, dan tak makan banyak tempat. Sesuatu yang berharga di saat kondisi genting dan serba terbatas.

 

Kebutuhan Penting akan PC di Kala Bencana

Bila ditanya jujur, pasca banjir yang dibutuhkan tentu saja perangkat yang mendukung buat kerja. Di laptop sifatnya sulit, mungkin saat pergi ke lokasi bencana laptop penting sekali, sedangkan saat di kantor tentu saja dibutuhkan PC. Ia bisa bekerja dengan stabil tanpa semua bahan tersimpan di laptop pribadi.

 

Tujuan utama tentu saja buat menghimpun data, ada banyak laporan yang masuk dari relawan dan pendamping desa setempat. Apakah itu urusan data hidrometeorologi seperti data desa dan kecamatan yang terdampak, korban hilang, korban meninggal hingga jumlah pengungsi.

 

Buat gambaran teman-teman semua, selama hampir tiga minggu saya bertugas di posko sumber data di kantor Gubernur. Untuk Provinsi Aceh, ada sebanyak 513 orang meninggal dunia, sebanyak 31 jiwa masih hilang. Lalu ada sebanyak 275.008 jiwa terpaksa mengungsi yang berasal dari 68.672 KK. Sedangkan yang terdampak secara tak langsung mencapai 2.113.303 jiwa atau hampir separuh penduduk Aceh merasakannya terutama dampak ekonomi. Bahan baku langka, BBM langka, dan listrik tak mau nyala.

 

Banjir juga menghantam sumber penghidupan warga, ada 130.000 rumah rusak, menandai skala kehilangan tempat tinggal yang masif. Sektor ekonomi rakyat ikut terpukul berat karena ada sebanyak 102.906 ekor ternak hilang atau mati, 51.335 hektare sawah terendam dan berubah wujud, 39.910 hektare tambak rusak dan 25.074 hektare kebun terdampak. Pedih saat melewat sejumlah sawah hijau, perkebunan kopi warga, hingga tambak yang harus berubah wujud dalam sepekan saja.

 

Lalu ada banyak desa yang seakan rusak dan terdampak yakni 3118 di 200 kecamatan. Di dalam semua itu yang paling penting fasilitas umum yang harus segera diperbaiki. Sebab ada fasum ini mampu menunjang masyarakat pasca banjir kini telah tiada. Itu mulai ruas jalan yang rusak ada sebanyak 1.098 titik, pondok pesantren sebanyak 669 unit, 732 sekolah, 638 tempat ibadah, 492 jembatan, 236 kantor pemerintah, hingga RS/PKM berjumlah 193 unit.

 

Dari semua data tersebut tentu berubah-ubah setiap harinya dan dikirim berlapis dan dikirimkan ke provinsi lalu diteruskan ke pusat. Tak boleh salah, tak boleh tertukar dan tentunya tak mungkin dikerjakan melalui ponsel. Tapi device PC, di sana data dihimpun dari foto lapangan yang dilakukan oleh relawan. Mereka rela menembus area paling terisolir hanya untuk secarik data penting.

 

Saya butuh PC yang punya layar cukup besar dan lega serta tentu saja punya performa yang stabil. Ini semua agar file besar yang dikirim tidak berhenti tiba-tiba saat bekerja. Tak ketinggalan PC yang punya keamanan data mumpuni. Angka-angka ini bisa saya dimanipulasi dan bukan statistik kosong, di sana ada identitas warga, hak bantuan, wujud serah terima, dan harapan banyak donatur dari seluruh negeri.

 

Lalu PC harus bisa diajak multitasking...

Alasannya karena di posko bencana semuanya tak berjalan satu arah saja. Datanya selalu up to date secara online. Sembari menunggu sikronisasi dengan Google Drive berjalan, browser lainnya sudah dipenuh peta banjir dan citra satelit. Apalagi kini sedang musim penghujan dan anjuran BMKG akan perubahan cuaca berpengaruh buat teman-teman yang sedang di lokasi. 

 

Termasuk aktivitas vulkanik, salah satunya di Bener Meriah yang saat ini sedang dalam status Siaga III akibat aktivitas Gunung Burni Telong. Jelas butuh perangkat yang lega dan up to date terhadap aktivitas seismik, membantu mereka tetap tanggap bencana.

 

Semuanya terjadi dalam waktu bersamaan dan tanpa jeda. Tak ada pilihan buat menutup satu pekerjaan demi membuka tab lainnya, semuanya harus terbuka sekalian. Di sinilah kondisi membutuhkan PC yang tak ngos-ngosan. Bukan perangkat yang cepat di awal tetapi mendadak melambat saat diajak kerja berat. Ukuran RAM besar dan SSD sat set sehingga ritme kerja terus terjaga

 

Belum itu semua, tiba-tiba sambungan Zoom dengan pejabat masuk untuk koordinasi dengan WAG dalam hal koordinasi mendadak. Di saat bencana rapat tidak berada di ruang sunyi tapi ruangan kedap suara yang jauh dari kata tenang. Paling terdengar mengganggu tentu saja orang mondar-mandir ke sana kemari.

 

Itu belum lagi suara genset yang memekakkan telinga, listrik belum normal dan genset dipacu habis-habisan sampai solar di titik nadir terakhir. Di sinilah PC yang prima buat zoom online dengan pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Lalu menerima laporan langsung lintas wilayah, dan tentu saja menyampaikan perkembangan terbaru saat situasi berubah dengan cepat.

 

Di sinilah fitur kamera dan audio berbasis AI sangat bermanfaat. Orang yang lagi mondar-mandir di belakang layar bisa tersamarkan dengan fitur background sedangkan AI Noise Cancellation mampu meredam kebisingan di sekitar, sehingga suara pengguna tetap terdengar jelas tanpa gangguan.

 

Kelihatan wajah tetap profesional dan rapi tapi kenyataan saya lagi di posko dengan wajah lelah sembari berpikir: ini nanti antre BBM berapa lama ya?

 

Satu hal penting…

Di lokasi posko bencana tidak ada ada yang bersifat privasi khususnya perangkat kerja. Itu digunakan oleh banyak admin dalam shift shift tertentu. Ibarat pusat kerja bareng-bareng saat satu orang lelah lalu digantikan oleh orang lain.

 

Dalam satu ahri perangkat bisa dipakai oleh operator data, tim logistik, hingga koodinator lapangan. Paginya digunakan oleh admin yang menginput laporan kerusakan, siangnya dipakai mengecek distribusi bantuan, dan sore hingga malam jadi tempat merangkum laporan haruan.

 

Apalagi saya di akhir pekan sering ikut pergi survei ke sejumlah wilayah bencana, sudah pasti tak bersentuhan dengan PC. Alasan itu PC AIO dianggap cukup praktis buat digunakan pada kondisi darurat. Tak perlu bongkar cukup pasang kabel langsung nyala dan tak harus rakit lagi yang membutuhkan banyak waktu. Jadi tinggal masuk kotak, dan bisa dibawa ke lokasi posko di daerah terdampak.

 

Setiba di lokasi pun bisa langsung dinyalakan tanpa menunggu lama. Jauh dari kata error dan pasang kabel. PC AIO jadi pilihan tepat karena di masa tanggap bencana dibutuhkan PC yang bisa langsung kerja berjam-jam. Apalagi relawan sudah duluan stres, jangan sampai saat menyalakan PC stresnya makin menjadi-jadi. Tapi perangkat yang bisa menjernihkan pikiran, dan pikiran jernih ini jadi modal bekerja dalam krisis.

 

Setiap bencana yang terjadi ada satu hal yang menyakitkan, kita kehilangan banyak kenangan di rumah yang kita punya…

 

Saya pernah mengalami hal tersebut dan itu menyakitkan sekali. Tak ada lagi foto masa kecil, foto keluarga yang harus hilang ditelan amukan Gempa bumi dan Tsunami di tahun 2004. Dalam pikiran yang terpintas hanya satu: Syukur-syukur bisa selamat dan semua korban selamat hanya itu yang ada di pikirannya.

 

Di era modern dan zaman serba mitigasi, teknologi jadi cara manusia menyelamatkan jejak. Mungkin kita bisa kehilangan rumah, kendaraan, sawah hingga hewan ternak. Tapi kenangan harus tetap ada dan kita semua tak bisa kembali lagi ke masa lalu.

 

Itulah mengapa menyimpan data dalam wujud cloud sangat penting dan perangkat teknologi punya caranya. Ia boleh rusak dan tenggelam, banyak teman-teman saya di Aceh Utara, Aceh Timur, hingga Aceh Tamiang bercerita. Perangkat kesayangannya teredam banjir, ia tak terselamatkan sedikit. Tapi kita bisa menyelamatkannya dalam wujud cloud.

 

Tak hanya menyelamatkan jerih payah pekerjaan kita selama ini biar bisa diback up ulang, tak hanya menyelamatkan simpanan file berharga dari kecil, tapi menyelamatkan data lainnya yang berharga yang masih selamat dari banjir.

 

Di sinilah peran PC yang memberikan cloud lapang atau sistem berwujud cloud. Perangkat rusak bisa digantikan tapi jerih payah sulit kembali karena ingatan manusia terbatas. Di PC juga saya menyimpan banyak foto-foto lokasi banjir, lokasi daerah pasca banjir hingga sejumlah daerah. Ini jadi kenangan nostalgia beberapa tahun ke depan. Kita melihat bagaimana kerja keras kita berproses memperbaiki yang porak-poranda menjadi lingkungan yang layak.

 

Saya menyimpannya di drive berkapasitas besar dan nantinya para korban atau orang-orang dari masa depan bisa melihat dahsyatnya banjir Sumatra dulu sama halnya kita melihat betapa dahsyatnya Gempa Bumi dan Tsunami 21 tahun silam.

 

Dari segala pengalaman sebulan terakhir dari menyalurkan bantuan, mengolah data bencana, hingga terlibat dalam gotong royong ke lokasi bencana. Satu hal yang saya tangkap, kita butuh perangkat mendukung kerja dan ASUS All-in-One PC V400 Series adalah jawabannya. Bukan hanya spesifikasi semata tapi ia mampu menyesuaikan ritme kerja dalam berbagai kondisi.

 

Peran ASUS All-in-One PC V400 Series di Masa Tanggap Bencana

Dalam situasi bencana seperti saat ini, teknologi tidak diuji di ruang nyaman. Perangkat benaran diuji di meja posko yang sempit, di bawah suara genset yang berisik dan tentu saja kondisi cuaca yang sangat lembap, Namun ia harus cekatan dalam merangkum berbagai data dan tak boleh keliru. Pada fase inilah saya menyadari, perangkat kerja bukan soal gaya atau tren, melainkan ketahanan, kejelasan, dan keandalan.

 

Tentu saja dengan desain dari ASUS All-in-One PC V400 yang hadir dengan layar luas memukau hingga 27 inci yang sudah Full HD. Seakan mampu menghadirkan sudut pandang luas 178°, membuat data, peta, dan laporan tetap jelas dilihat dari berbagai posisi. Kualitas visualnya bukan sekadar enak dipandang. Akurasi warna 100% sRGB, teknologi ASUS Splendid, serta sertifikasi TÜV Rheinland membantu mata tetap nyaman meski harus menatap layar berjam-jam.

 

Dalam situasi darurat, kelelahan mata bisa berujung pada kesalahan membaca data. Di sini, layar yang vivid dan nyaman justru menjadi bagian dari menjaga fokus dan ketelitian. Jelas ini memberikan ruang lega buat bekerja dan di pusat data di posko layar lebar wujud kemewahan dan kebebasan. Selain itu ada juga opsi touch maupun non-touch pun memberi fleksibilitas, tergantung siapa yang sedang bertugas di depan layar.

 

Urusan dengan hadir dengan NanoEdge sehingga terlihat clean buat ditatap berjam-jam. Namun tampilan estetik ini didukung dengan prosesor hingga Intel® Core™ i7, memori yang bisa ditingkatkan hingga 64GB DDR5, serta penyimpanan SSD hingga 2TB memastikan setiap input data, sinkronisasi cloud, hingga pembukaan file besar berjalan lancar dan responsif. Sangat stabil untuk membuka banyak aplikasi dibuka bersamaan. Apakah itu untuk menyimpan data, foto, dan laporan dalam wujud cloud.

 

Bicara urusan konektivitas, port yang sudah lengkap seperti HDMI-in/out, USB 3.2, USB-C, hingga slot SD dan microSD, memudahkan pemindahan data dari berbagai sumber tanpa ribet adaptor. Pastinya ada dukungan WiFi 6E membantu menjaga koneksi tetap stabil saat harus mengirim laporan ke pusat, mengakses peta daring, atau melakukan koordinasi lintas wilayah, meski jaringan timbul tenggelam.

 

Meskipun tipis dan portable, tapi urusan speaker jempolan sebab sudah dibekali dengan stereo hi-fi dengan desain bass-reflex menghadirkan suara yang lebih dalam dan utuh. Dukungan Dolby® Atmos membuat audio terasa sangat lantang. Cocok buat memutar ulang rekaman koordinasi atau menyimak laporan video dari lapangan. Pada ruang posko yang sering bising dan tidak ideal, kualitas suara yang jernih membantu menjaga fokus dan mengurangi kelelahan.

 

Urusan kamera sudah pasti jempolan, berkat sudah dibekali dengan AI pada ASUS V400 membantu menjaga kualitas visual tetap layak. Sistem pencahayaan menyesuaikan kondisi, latar belakang tidak mengganggu, tatapan mata terasa lebih natural. Makin joss berkat adanya  AI Noise Cancellation menjadi penyelamat di banyak momen krusial. Suara tetap terdengar jelas tanpa harus menaikkan nada atau mengulang kalimat.

 

Perlindungan data jadi hal yang sangat diperhatikan terutama dengan adanya chip TPM 2.0. Nantinya data sensitif terenkripsi dan proses otentikasi lebih terlindungi. Bagi saya, ini bukan soal istilah teknis, tetapi soal ketenangan: laporan korban, data kerusakan, dan arsip lapangan bisa disimpan tanpa rasa waswas. Karena jika data bocor atau hilang, dampaknya bisa jauh lebih panjang daripada bencana itu sendiri.

 

Keamanan fisik pun diperhitungkan. Slot Kensington Nano memungkinkan perangkat dikunci di meja posko. Sebuah detail kecil yang penting di situasi darurat, ketika fokus utama adalah membantu, bukan menjaga perangkat. Kombinasi keamanan digital dan fisik ini menjadikan ASUS All-in-One PC V400 Series bukan hanya alat kerja, tetapi penjaga data dan ingatan kolektif di tengah kondisi yang serba rapuh.

 

Dalam bencana, perangkat bisa rusak dan diganti. Namun data, kepercayaan, dan jerih payah manusia di baliknya tidak boleh hilang. Di titik itulah, keamanan bukan fitur tambahan, melainkan bagian dari tanggung jawab.

 

Namun dari itu semua, pengalaman yang saya dapatkan selama sebulan bencana cukup campur aduk. Antar seakan kembali mengingat pada luka lama 21 silam dari Gempa Bumi dan Tsunami. Kini harus merasakan kepahitan serupa saat banjir Sumatra datang, seakan kini waktunya bekerja sembari mengabdi buat teman-teman yang terdampak.

 

Tujuan tentu saja bersama mendonasikan bantuan, mengumpulkan dan mengolah data bencana hingga turut serta bergotong royong. Membangun fasilitas umum di desa-desa yang terdampak, mereka butuh bantuan pihak luar dalam memulihkan luka yang mendalam. Sama seperti yang saya rasakan dulu, menciptakan hidup baru yang layak.

 

Bagi saya manusia tak bisa bekerja hanya mengandalkan tenaga fisiknya, jelas tak mampu. Mereka butuh alat kerja dan perangkat. Membersihkan desa yang penuh genangan lumpur jelas butuh mesin-mesin andal yang bekerja dan meringankan tugas manusia.

 

Sama halnya saya yang sebagian besar waktu dihabiskan di depan layar, butuh perangkat mumpuni yang tak hanya dari kertas. Saat hujan atau terkena lumpur, ia akan menguning dan rusak, sedangkan dengan perangkat teknologi ia akan tersimpan dan tersampaikan.

 

Jadi tak berlebihan dalam proses input data, hadirnya perangkat seperti ASUS V400 Series, AiO PC terbaik untuk di rumah dan di tempat kerja. Seakan ia bukan hanya alat kerja di masa darurat, tetapi juga perangkat yang relevan untuk jangka panjang.

 

Ia bisa menjadi pusat kerja posko, lalu berpindah fungsi menjadi PC rumah yang rapi, tenang, dan siap digunakan kapan saja. Semua data, foto, dan laporan yang dikumpulkan di masa krisis tetap tersimpan aman dan bisa diakses kembali saat situasi sudah pulih.

 

Bagi yang ingin mengetahui lebih lanjut atau mempertimbangkan perangkat ini sebagai PC kerja dan rumah, informasi resmi ASUS All-in-One PC V400 Series dapat diakses melalui website ASUS Indonesia di https://www.asus.com/id/store/

 

Produk ini juga tersedia langsung di ASUS Online Store melalui tautan berikut:  https://www.asus.com/id/displays-desktops/all-in-one-pcs/asus-aio/asus-v400-aio-v440va/

 

Selain itu, ASUS All-in-One PC V400 Series juga dapat ditemukan di e-commerce terpercaya seperti toko oren (Shopee) https://shopee.co.id/product/260151737/29788423616 Atau bisa juga didapatkan toko ijo (Tokopedia)  https://tk.tokopedia.com/ZSPcHnaWd/

 

Ada Secercah Pelangi Setelah Badai Besar

Saya ingat saat badai siklon perlahan menjauh di siang hari tanggal 27 November. Seakan terlihat pelangi panjang yang kemudian terlihat cahaya matahari yang seakan telah sepekan tenggelam jauh dalam balutan awan pekat. Seakan penderitaan menyakitkan itu sudah mencapai puncaknya, kini ia coba turun meskipun meninggalkan luka yang masih basah. Pertanda akan ada isyarat kecil bahwa harapan itu belum sepenuhnya pergi.

 

Pelangi di siang itu memang tak serta merta menghapus duka, ia juga tak serta merta mengeringkan lumpur yang merendam ribuan rumah warga. Namun ia seakan memberikan jeda di tengah kelelahan panjang, dari sanalah saya belajar bahwa membangun yang runtuh harus berdampingan dengan alam.

 

Aceh pernah terluka sama beratnya 21 tahun lalu dan mampu kembali bangkit, kini ujian itu kembali datang seakan menguji rasa empati kita. Bersama bergotong royong, membangun kembali akses dan permukiman warga. Serta tentu saja melestarikan alam yang sudah rusak. Kini secercah pelangi itu bukan sekadar simbol sesaat melainkan janji bahwa pemulihan itu sedang berjalan.

 

Semoga Sumatra tetap menjaga pelindung paru-paru dunia dengan keanekaragamannya dan bencana ini seakan cara untuk bangkit dan membangun kembali apa yang sudah hilang. 

 

Artikel ini diikutsertakan pada Lomba Blog “ASUS AiO V400, The Most Aesthetic Workstation!” yang diadakan oleh Travelerien


Share:

0 komentar:

Post a Comment

Kenalan Blogger

My photo
Blogger & Part Time Writer EDM Observer