Tanggal 26 November 2025 menjadi rabu kelabu
dari luapan amarah siklon, air bah dari langit seakan tak ada hentinya turun.
Bermula dari malam Jumat di tanggal 20 November, awan kelabu menyelimuti daratan
Sumatra dengan hujan dan angin tanpa henti. Prakiraan cuaca menyebut ada siklon
besar yang akan menimpa Sumatra tercinta, ia seakan mengitari daratan Sumatra dua
kali, sempat berhenti sejenak di hari Minggu dan Senin.
Namun sejak malam Selasa amukan tiada henti, mengirimkan kubik air langit tanpa henti. Saya seakan baru kali mendengar suara hujan sederas dan sekuat ini seumur hidup. Rasanya suaranya sangat deras dan tanya henti, perlahan genangan berubah menjadi aliran air yang memenuhi selokan dan sungai. Pertanda tanah sudah jenuh menerimanya.
Di situlah saya sempat mencoba membuat aplikasi prakiraan cuaca real time
bernama Windy. Ada siklon yang berputar besar antara Aceh Tamiang dan Langsa,
ia seakan tak mau pergi. Lalu tak berapa teman saya menghubungi dan bertanya
apa kabar? Saya jawab baik dan setelahnya listrik mati dan disusul listrik
padam.
Alfie
Ruli Retno
Tak ada cahaya sedikit pun di kegelapan malam. Bermodalkan lilin kecil atau
senter dari ponsel. Seakan mencoba melihat keadaan di luar yang mencekam.
Banyak rumah tetangga yang mulai terendam banjir luapan dari selokan. Semua
tahu ini kondisi tak biasa yang siapa saja bisa merasakannya, disusul listrik
padam tanpa cahaya.
Bagi saya, ini menjadi malam yang menakutkan karena tak bisa menghubungi
siapa pun. Itu sebagian keluarga banyak yang mengungsi ke RS, sebab kala itu
sedang musim influenza. Ada banyak RS yang penuh akibat kasus influenza. Jadi
saya seorang diri di rumah, seakan berandai-andai bencana besar lanjutan akan
tiba.
Perlahan pagi pun tiba, di sana terlihat ada banyak genangan air yang
memenuhi sekitar rumah. Sebagian rumah di terendam air, seakan krisis baru
dimulai. Saat kejadian banjir Sumatra saya berada di Banda Aceh, lokasinya
tidak terlalu parah hanya debit sungai yang cukup besar dan sejumlah lokasi
terendam air. Beberapa jam setelahnya bisa surut, sedangkan di pantai timur
Aceh masih abu-abu. Tak ada info apa pun, seakan semua informasi terputus.
Barulah di sore harinya saya tahu, di pantai barat ada banjir bandang dan
tanah longsor. Perlahan korban meninggal terus bertambah dan masih banyak
daerah yang terisolasi. Liputan yang pertama saya lihat yakni daerah di Aceh
Tengah seperti Takengon terputus. Ada banyak longsor yang menutupi tebing dan
mengarah ke danau.
Lalu tak ada komunikasi berhari-hari lamanya, tahu berapa lama? Hampir 10
hari, itu punya hanya pesan singkat bertuliskan: kami selamat dan aman di
pengungsian, sedangkan masih banyak yang belum bisa menghubungi keluarga
terdekat. Berbagai cara dilakukan salah satunya memakai aplikasi, saya ingat waktu
itu teman yang ahli klimatologi memberikan aplikasi browser yang bisa melacak
sebaran banjir secara real time.
Melalui komputer di kantor yang kala itu masih tersedia listrik, membuka
aplikasi dan melihat hasil yang mengejutkan terutama di sepanjang pantai timur Sumatra.
Di sana barulah hati terkejut, semua area tenggelam. Hampir separuh daerah di Sumatra
tenggelam akibat banjir kemarin. Menyisakan banyak bagian yang penuh kehidupan
dan harapan, kini sirna. Hutan yang penuh pepohonan, sawah-sawah yang indah
atau sungai yang penuh bebatuan. Semuanya berubah menjadi coklat dengan penuh
kayu gelondongan dan lumpur sedimen.
Aplikasi itu juga seakan menentukan koordinat sejumlah teman, kolega hingga
orang tercinta. Saya mencoba menzoom secara dekat dan menyesuaikan dengan
aplikasi Google Map. Mencoba memastikan satu per satu, apakah wilayah itu masih
bisa diakses, apakah rumah-rumah di sana masih berdiri, atau sudah tersapu
arus.
Di depan layar, jarak antara data dan perasaan terasa semakin tipis. Angka,
peta, dan citra satelit tidak lagi dingin. Ia berubah menjadi penanda
kecemasan, sekaligus harapan bahwa di balik genangan dan lumpur, masih ada
kehidupan yang bisa diselamatkan.
Bisa dibayangkan bagaimana nasib keluarga dan teman di sana, mereka butuh
bantuan tetapi mereka yang tak terdampak secara langsung tak bisa mengaksesnya.
Harga logistik melonjak gila-gilaan, BBM langka sampai pada listrik tak
menyala. Ibarat kiamat kecil yang rasanya ingin segera berakhir, hanya bisa
memikirkan nasib masing-masing.
Bagi saya, hal paling menyakitkan tentu saja tidak tahu bagaimana nasib
karena banjir tidak langsung surut. Banjir seakan bertahan lama di daratan dan
baru surut hingga 2 Desember, artinya masyarakat harus bertahan di atap rumah
atau tempat tinggi, tanpa makanan dan pakaian layak. Penderitaan memilukan dan
menyesakkan dada!
Saya selalu mengajak teman-teman di luar Aceh untuk merasakan pengalaman
tinggal di sini. Kami punya pantai yang indah di bagian barat. Punya persawahan
luas di sepanjang pantai timur, sedangkan di bagian tengah penuh dengan
ekosistem hutan yang beragam di sepanjang Taman Nasional Gunung Leuser.
Keindahan bukit barisan yang di tengahnya berdiri pegunungan dan cekungan
bernama Kota Takengon yang terkenal akan danau cantiknya. Cuacanya yang sejuk,
menjadi pilihan terbaik saat akhir pekan. Saya dan sejumlah sudah punya rencana
di akhir November untuk berlibur ke sana. Akan tetapi rencana Tuhan hadir lebih
cepat dan di luar kendali manusia sebagai hamba-Nya. Banjir datang duluan dan mengubah kontur
wilayah tak bersisa dan memutusnya dari dunia luar.
Kini menyisakan pikiran yang campur aduk, bagaimana saudara di Pidie Jaya,
saudara di Bireuen yang dekat DAS Sungai Peusangan hingga teman-teman yang banyak
berada di daratan tinggi Gayo. Seakan campur aduk lagi segala koneksi putus.
Memang saya berhasil mengakses internet di kantor, tetapi mereka di sana seakan
kehilangan informasi.
Menggambarkan Dahsyatnya Banjir Sumatra
Saya coba menggambarkan sekilas, negara kita hampir sepenuhnya berada di
garis khatulistiwa. Daerah ini paling aman buat terjadinya badai laut termasuk
itu siklon. Memang ada banyak siklon tapi ukuran kali ini siklon senyar sangat
besar dan bertahan lama mirip dengan yang terjadi setengah abad lalu di Flores.
Namun kala itu yang mengalami kerusakan di daerah pesisir, sedangkan ini siklon
bertahan di tengah jantung hutan hujan tropis.
Siklon seakan menumpahkan jutaan kubik air tiap menitnya tanpa henti,
seakan hutan Sumatra yang telah mengalami deforestasi kelabakan dalam menyerap
air. Akibat tak mampu, ia membuangnya ke sejumlah sungai-sungai besar yang jadi
jantung kehidupan di sana. Tapi bukan hanya air, melainkan endapan sedimen dari
perbukitan dan tentu saja paling menakutkan yakni kayu-kayu hasil pembalakan
hutan.
Saya ingat dulu waktu kecil sering pergi ke hutan, di sana kondisi masih
sangat asri. Aceh yang dulu terkenal dengan konflik bersenjata jadi lokasi
persembunyian anggota GAM dari TNI. Aktivitas deforestasi masih sangat minim
karena dentuman peluru membuat para pembalak hutan ketakutan. Kini tak ada lagi
rasa takut, mereka bisa menebang hutan dengan leluasa bahkan saya pernah
menjumpai excavator masuk jauh di tengah hutan lindung. Bagaimana bisa,
perlahan hutan sedang dijarah.
Lalu saya ingat dulu masih sering
mendengar gajah masuk kampung karena saking besarnya habitatnya. Sedangkan
sekarang, melihat gajah saja sudah langka apalagi hewan khas hutan yang mulai
makin sempit habitatnya. Perlahan jumlahnya terus menyusut dan bahkan di hutan
lindung sekalipun.
Kota-kota yang berada di pegunungan pun mengalami hal serupa. Akses untuk
ke Blangkejeren yang jadi kota terdekat dari Taman Nasional Gunung Leuser
terputus total. Atau indahnya Beutong Ateuh yang harus berhari-hari terisolasi
tanpa ada kabar apa pun.
Lalu seakan pikiran saya bertanya, kenapa alam tega atau manusia yang sudah
melampaui batas?
Seakan saya ingat akan pengalaman saya menuliskan artikel tentang hutan
hujan tropis. Di sana saya baru sadar bahwa mereka punya curah hujan cukup
besar mencapai 2000 mm/tahun. Saat banjir curahnya memang jauh lebih besar dari
biasa, tapi ada lapisan yang menjaganya tetap stabil yakni pepohonan. Konsep
hutan hujan nyatanya sederhana. Bukan karena hujannya deras tapi ketidakadaan
musim kering yang nyata.
Selain itu, surah hujan yang tinggi dan merata seakan menciptakan
lingkungan yang lembap yang memungkinkan kehidupan berkembang tanpa jeda. Di
sana air bukan datang sebagai bencana, tetapi sebagai ritme alami yang terus
berulang. Ia sangat konsisten dan alam menciptakan siklusnya sendiri, tapi kita
mencoba mengubahnya menjadi berharga buat kita bukan buat alam.
Tapi manusia sering luput, tanah hutan hujan miskin nutrisi. Lebih dari 90%
nutrisi tidak tersimpan di tanah, melainkan beredar begitu cepat di dalam
biomassa yakni daun, batang, serangga, dan mikroorganisme. Artinya saat hutan
ini rusak, nutrisi ikut hilang dan tanah hampir mustahil untuk bisa pulih
secara alami. Semua nutrisi hanyut tak bersisa sedikit pun bersama derasnya
hujan.
Jangan heran, saat hujan tiba dan
hutan yang rusak tapi mengirimkan ribuan kubik kayu yang siap menabrak apa saja
yang ada di hilir. Tujuannya satu adalah turun ke tempat paling rendah. Skala
kerusakannya sangat besar dan jauh lebih besar dari Tsunami di tahun 2004. Itu
terlihat jelas sekali dari citra satelit dari Copernicus menunjukkan bahwa
sisa-sisa banjir menyisakan banyak genangan air di sejumlah wilayah di Sumatra.
Banyak rumah hanyut, jalanan terputus dan amblas, hingga jembatan runtuh
satu per satu. Proses pemulihannya tidak bisa cepat, karena akses menuju
desa-desa terdampak harus menembus pelosok hutan, melewati jalur yang
sebelumnya nyaris tak tersentuh alat berat. Setiap langkah pemulihan menuntut
waktu, tenaga, dan kesabaran.
Di balik infrastruktur yang rusak, ada kehidupan yang ikut terguncang. Ada
keluarga, kebun, sekolah, dan rutinitas yang selama ini menopang hidup
masyarakat. Banjir bandang tidak hanya merusak bangunan, tetapi memaksa banyak
orang untuk menata ulang hidup dari awal. Dari segala puing-puing yang tersisa,
masih ada harapan.
Apakah bencana hanya sebatas banjir?
Alam seakan mencoba segala ketidakseimbangan dengan melahirkan ketidakseimbangan.
Pidie Jaya dan Bireuen setelah banjir bandang selalu dihantui banjir susulan,
saat saya menulis ini saja telah terjadi banjir susulan. Sedangkan Bener Meriah
dan Aceh Tengah longsor tak ada henti-henti saat hujan tiba, bahkan khusus di Bener
Meriah malah ada bencana tambahan yakni Gempa bumi yang diakibatkan aktivitas vulkanik
dari Gunung Api di Burni Telong.
Kompleks deh, jadi masyarakat harus siap dari kondisi tanggap bencana.
Memang derita di daerah yang indah secara panorama alam, segudang bencana
mengintai kapan saja.
Banjir Bandang
Sumatra: Tsunami 2.0 versi Daratan
Gubernur Aceh, Muzakkir Manaf (Muallem)
mengatakan banjir Sumatra sebagai Tsunami kedua dan area yang terjadi jauh
lebih besar. Yupss, bagi saya itu benar sekali sebab saya menjadi saksi hidup
Tsunami tahun 2004 menerjang dan banjir Sumatra 2025. Meskipun di banjir
Sumatra tak mendapatkan dampak langsung tetapi penderitaan banjir Sumatra
sangat pedih dan berkepanjangan.
Kala waktu Gempa dan Tsunami 2004, bencana
memakan ratusan ribu jiwa dalam waktu sekejap saja. Tetapi dalam kurun waktu
dua hari saja, bantuan kemanusiaan berdatangan untuk korban yang terluka parah.
Banyak pengungsi mendapatkan makanan yang layak, air bersih langsung hingga
tempat penampungan yang menyediakan dapur umum.
Sedangkan Banjir kali ini tidak, pemerintah
seakan tidak peka dan lamban mengambil tindakan. Apalagi tidak ada penetapan
status banjir nasional yang membuat semuanya harus ditanggung daerah dan pusat.
Sedangkan wilayah cakupan sangat luas dan akses yang rusak sangat banyak dan
berada di dalam lokasi terpencil.
Tsunami menerjang lokasi yang berada di
pesisir, akses laut menjadi opsi paling mudah buat menggapai desa-desa yang
terdampak secara langsung. Sedangkan kini, banyak desa yang berada di hulu yang
tidak bisa diakses langsung melalui akses darat. Hanya melalui bantuan langsung
dari udara agar mampu menjangkau lokasi yang jauh ke pelosok.
Selain itu, banjir seakan butuh waktu lama
untuk airnya surut, beda dengan tsunami yang kala itu di hari yang sama
air-airnya ditarik kembali ke laut tanpa membawa endapan lumpur. Sedangkan
banjir seakan memberikan dan menurunkan banyak sekali endapan lumpur padat. Ada
banyak desa-desa yang terendam lumpur basah hingga padat.
Seakan desa-desa itu hilang dari peta dan
bahkan ada banyak alur sungai yang berubah dan membentuk aliran baru. Itu
pengalaman yang saya lihat langsung karena aliran sungai yang deras seakan air
berupaya membuka jalan sendiri dan desa-desa menjadi korban.
Rasa Putus Asa dan Bendera Putih Berkibar
Banjir Sumatra yang maha dahsyat seakan mengingatkan saya akan film di
Netflix yang bercerita tentang kecelakaan pesawat. Judulnya: Society of the
Snow. Di dalam pesawat membawa sejumlah penumpang termasuk atlet Rugby Old
Christians Club dari Uruguay menuju ke Chile. Bukan kecelakaan yang mengerikan
tetapi dihentikannya proses pencarian atas korban yang selamat setelahnya.
Para penyintas mendengar lewat radio bahwa mereka dianggap telah mati.
Sejak itu negara tak lagi hadir dan mereka berjuang sendiri memulihkan diri dan
bertahan hidup dari kerasnya cuaca ekstrem di Pegunungan Andes. Keputusan
sampai rela memakan jasad rekannya sendiri yang tak selamat, bukan akibat
kehilangan moral tapi tak ada pilihan lainnya dalam bertahan hidup.
Hal yang sama yang terjadi saat banjir Sumatra melanda, polanya hampir sama
dan menyakitkan. Bukan salju yang membekukan korban banjir tetapi air yang
merendam kehidupan. Bukan juga pegunungan sunyi, melainkan desa-desa yang
terisolasi begitu lama. Para korban banjir harus menunggu berhari-hari hingga
bantuan bisa tiba. Ketika negara terlambat hadir, warga bertahan dengan apa
yang ada, makanan seadanya, dapur darurat dan hidup dalam keterbatasan.
Banyak teman-teman di daratan tinggi Gayo yang mengirimkan foto, makan
hanya bermodalkan biskuit. Sagu dan ubi dicampurkan dengan parutan kelapa
sampai bantuan tiba. Sedangkan untuk bahan bakar mengandalkan kayu bakar hampir
sebulan lamanya. Listrik dan internet jangan ditanya, sudah pasti putus total
hampir tiga minggu lamanya. Mengandalkan internet satelit untuk bisa terhubung
dan berkomunikasi dengan saudara jauh sembari bantuan tiba.
Bisa dibayangkan bila kita mengalami listrik dan internet padam sejam saja.
Pasti menggerutu kepanasan, AC di ruangan tidak aktif. Sedangkan kami mengalami
hampir 200 jam tanpa listrik. Ia, benar selama 200 jam tanpa listrik, itu untuk
daerah yang tak terdampak langsung. Sedangkan yang terdampak sampai saat ini
belum sepenuhnya pulih.
Kabar dari Dunia Luar, Kami Masih Ada dan Bertahan
Saya ingat saat internet menyala,
salah satu notifikasi ponsel yang masuk
datang dari Mbak Katerina yang bertanya tentang kabar aku waktu:
Setelah itu sinyal hilang hampir
tiga hari lamanya, rasanya waktu itu internet tak berguna. Hanya melihat
penderitaan yang mengintai saudara, teman, kolega hingga orang-orang lainnya di
sana.
Terlihat dari wajah korban penuh dengan rasa putus asa, mereka berharap
penanganan lebih cepat. Seakan mirip dengan sekuel di film Society of the Snow,
terjebak di iklim pegunungan Andes yang keras, keterlambatan berarti melawan
alam yang ekstrem.
Di Sumatra, keterlambatan berarti melawan kelaparan, rasa dingin, penyakit
yang mengintai dan tentu saja keputusasaan. Jangan heran selama perjalanan yang
melihat banyak bendera putih, wujud rasa putus asa tapi tenang ada rakyat untuk
rakyat dalam membantu beratnya tiap bencana.
Memulai Misi Besar, Rakyat Membantu Rakyat
21 tahun lalu saya merasakan hal sama memilukan, gempa bumi dan tsunami
2004 seakan masih melekat erat. Saat pagi hari yang cerah itu, lalu tanah
bergerak dengan cepat dan itu datang dari getaran bernama gempa. Guncangannya
seakan tak ada hentinya, ia bergerak tanpa henti dan merusak apa pun yang ada
di atas.
Seakan bumi memberikan jeda, semua orang yang merasakan saat itu seakan
daratan telah aman. Tapi ada bencana lain yang akan menyusul. Lokasi rumah saya
yang berada di dekat laut seakan menjadi amukan air bah dari laut. Ia
menghancurkan kampung dan menelan orang-orang dalam sekejap, saya beruntung
bisa selamat kala itu.
Bersama sejumlah orang-orang lainnya, bertahan di atas reruntuhan bangunan
pertokoan yang runtuh akibat gempa. Air seakan terus naik dan saat itu hanya
berpegangan pada besi-besi bangunan. Bila air naik sedikit lagi, seakan saya
dan keluarga tak ada lagi. Hari itu menjadi hari terakhir sembari melihat laut
menghanyutkan kapal berukuran besar.
Tapi setelahnya air tsunami surut, menyisakan bahwa kami diberikan
kehidupan kedua. Pengalaman yang terus saya ingat sampai sekarang. Saat melihat
di tayangan televisi, masyarakat di sejumlah wilayah yang ada Sumatra bertahan
di atas atap rumah dan pertokoan. Dalam pikiran mereka hanya satu, apakah aku
bisa melihat diriku sejam lagi atau ini jadi akhir hidup. Terbawa dalam
tingginya air bah, menghanyutkan tanpa sisa.
Setelah tsunami surut, saya ingat ada banyak orang bahu membahu menolong
korban. Mereka mencari tempat perlindungan yang lebih tinggi. Ada banyak orang
yang membantu dan mempertaruhkan nyawanya untuk menolong korban tsunami kala
itu. Itulah hal yang seperti banjir Sumatra, mereka mencari tempat pengungsian
yang aman dan membuka dapur umum. Di situlah masyarakat membantu masyarakat
dimulai.
Bagi saya dan mungkin banyak orang lainnya, penderitaan masyarakat lainnya
jauh lebih pedih. Sama halnya di saat Gempa bumi dan Tsunami 2004, ada banyak
orang yang rela datang untuk menolong sebelum pemerintah datang. Tujuan mereka
tulus dan bahkan rela meninggalkan keluarga hanya untuk menolong mereka yang
bisa terselamatkan. Bencana tak berhenti hanya dari siklon, telat tindakan
adalah bencana nyata.
Mereka seakan menanggalkan suku, bangsa, hingga agama. Tujuannya hanya satu
yakni kemanusiaan. Hari kedua saya sempat diselamatkan oleh relawan Jepang yang
sudah tiba ke Aceh. Itu bagaimana caranya bisa sampai ke sini, lalu datang pula
relawan dari prancis yang membersihkan perkampungan, atau gaya flamboyan khas
koboi dari Amerika yang mengirimkan makanan khas mereka langsung dari
Helicopter Chinnok yang hanya bisa dilihat di film-film perang mereka.
Atau relawan Korea nan santun yang berbaur lama seakan membuat saya paham
akan beberapa patah ucapan dari korea. Bahkan dari guru dari Norwegia yang
mengajarkan anak-anak di pengungsian dan memberikan donasi dari anak-anak
muridnya dari Oslo. Banyak cerita kala itu, intinya rasa ingin membantu secara
global.
Tapi bencana kali ini kita mencoba meskipun relawan asing tak ada, negara
kita terkenal dengan rasa dermawan dan kepeduliannya. Bersama mengumpulkan
donasi buat korban yang terdampak. Sebagai seorang ASN, kami merasakan hal
serba sulit dimasa darurat bencana. Di sinilah penggalangan dana dimulai sejak
hari Jumat, ada banyak posko penyaluran berbagai kebutuhan.
Apakah itu urusan logistik, pakaian layak, air bersih hingga kebutuhan buat
bayi. Mereka butuh semuanya dan harus segera diantarkan. Waktu yang singkat
biar korban yang terdampak bisa segera terbantu dari logistik. Seminggu setelah
bencana, bantuan berhasil terkumpul yang datang dari berbagai pihak. Rasa pedih
saat melihat saudara-saudara yang terdampak seakan makin memilukan. Rasanya
inilah waktunya.
Saya bisa katakan, 2 minggu setelah bencana adalah masa tersulit dalam
hidup saya dan banyak orang Sumatra. Bagaimana tidak, untuk bisa ke lokasi
bencana butuh BBM tetapi ia tak tersedia. Butuh waktu berhari-hari untuk bisa
mendapatkannya. Sedangkan listrik jangan tanya, saya seakan merasa perangkat
elektronik rasanya tidak berguna. Semuanya mengandalkan feeling bagaimana nasib
saudara dan keluarga di sana.
Perjalanan pertama ekspedisi pertama bersama pihak kantor dilaksanakan di
daerah Pidie Jaya. Di sana lokasi paling dekat dan BBM yang dibawa cukup. Ada
banyak bantuan yang kami bawa dan semuanya antusias bisa pergi ke sana.
Walaupun tak mandi akibat tak ada air atau pusing tujuh keliling saat tahu
harga cabai meroket 300 ribu/kilo dan telur seharga 10 ribu perbutir. Semuanya
ada satu pada satu tujuan, membantu masyarakat untuk masyarakat.
Perjalanan Menuju Lokasi Bencana
Saya bisa katakan sudah 3 kali ke lokasi bencana, meskipun belum seluruhnya
tapi cukup menggambarkan pilunya. Pada minggu pertama saya ke lokasi bencana
yang cukup dekat yakni di Pidie Jaya dan Bireuen. Lokasi ini selain dekat,
akses setelahnya terputus akibat jembatan Kuta Blang di Bireuen terputus. Tujuan
utama tentu saja buat menyalurkan logistik ke sejumlah desa-desa di sana.
Chapter Pertama: Pidie Jaya, Awal mula Melihat Kerusakan Banjir Sumatra
Lokasi bencana terdekat yang kami datangi yakni Pidie Jaya, jaraknya tidak
jauh dari ibukota Banda Aceh. Waktu tempuh hanya 4 jam saja, di sana kami mulai
pemandangan yang memilukan. Ada banyak kendaraan warga yang penuh dengan
lumpur. Kini terparkir di sejumlah bengkel, sudah pasti tidak bisa menyala. Ada
banyak anak-anak bermandi peluh akan lumpur. Mereka ini merasakan itu rasa
senang, padahal penyakit kulit hingga disentri bisa saja mengintai.
Tak ada lagi pakaian yang bisa diselamatkan, semuanya penuh dengan lumpur.
Mata saya tertuju dengan ibu-ibu yang sedang mencoba mencuci pakai
kesayangannya yang sudah kecoklatan di genangan air kotor. Rasanya itu begitu
memilukan dan terasa sia-sia. Mereka sangat itu paling butuh logistik, pakaian
yang layak, dan tentu saja air bersih.
Pemandangan pilu di desa yang berada di hilir rasanya mendapatkan dampak
paling besar. Ada banyak lumpur yang merendam rumah mereka. Saya melihat rumah
yang hanya menyisakan atap saja dan setengahnya sudah tertimbun tanah padat.
Rasanya semua kenangan di rumah itu sudah terendam tanpa sisa.
Pidie jaya sejak dulu terkenal dengan lahan persawahan yang indah. Seakan
kita melewati hamparan hijau persawahan dan pegunungan. Tapi kini semuanya
berubah, persawahan tadi ditutupi material lumpur pekat dan pegunungan yang
penuh dengan bekas longsor.
Petani yang menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian harus gigit jari,
hasil pertanian semuanya gagal termasuk beras yang sudah disimpan di dalam
gudang. Semunya terendam tanpa sisa, kini hamparan sawah luar menjadi lahan
datar yang seakan tak tahu lagi di mana sawah itu berada. Setelah banjir besar,
sudah ada tiga kali banjir susulan yang datang, masyarakat seakan terusir dari
lahan mereka dan rumah mereka terendam.
Selanjutnya di Pidie Jaya, kami mendapatkan data desa paling parah
mendapatkan amukan banjir bandang. Lokasinya masuk jauh di atas perbukitan, di
sana satu hal yang kami lihat. Ada banyak lahan sawit swasta yang berada di
perbukitan, lalu di pinggiran sungai setelah melewat perbukitan kami memasuk
sebuah desa kecil bernama Lhok Sandeng.
Lokasi kini seakan tergerus, pemukiman warga telah menghilang. Menyisakan
area sungai yang dangkal melebar dari semestinya. Terlihat arah aliran sungai
tak karuan, ia membentuk lintasan baru yang mencabik-cabik pemukiman warga. Banyak
kayu gelondongan yang terbawa dari hulu menjadi sampah alam, warnanya menguning
dan menutupi bibir sungai. Pembalakan hutan itu nyata adanya.
Setelah melewati desa yang porak-poranda, kami akhirnya tiba di sebuah
puskesmas yang di dalamnya ada musala setempat. Lokasi itu menjadi pengungsian
sementara masyarakat di sana. Ada banyak ibu-ibu dan anak-anak yang menyambut,
wajah mereka gembira menyambut bantuan datang. Tapi di dalam hati mereka hancur
sebab rumah yang telah lama ditinggali sudah musnah.
Saya pun bertanya dengan ibu Halimah, ia bercerita panjang lebar bahwa ia
tak ingin kembali lagi ke rumahnya. Di dapur rumahnya sudah menjadi sungai yang
melebar, menyisakan rasa takut dan mencekam. Saya lebih baik tinggal di sini
sampai kondisi aman apalagi ia berharap bisa tinggal di lokasi baru yang jauh
lebih nyaman.
Sepulang dari sana saya merenung, memikirkan ada banyak warga desa yang
terdampak. Ibu Halimah hanya satu dari ribuan warga serupa, tak kembali lagi ke
rumah dan rasanya kampung halamannya tak lagi sama. Di sinilah saya dan tentu
saja pemerintah saja, ada banyak yang terdampak dan data mereka yang terdampak
sampai yang paling terkecil harus terdata. Dari data tersebut juga kita bisa
membantu warga dan dari data juga kita bisa memberikan informasi ke pemerintah
pusat bahwa banjir Sumatra hanya mencekam di sosial media tapi ini nyata.
Setelah dari sana, hujan pun turun deras kembali. Seakan banjir susulan pun
tiba, perubahan cuaca yang tak menentu seakan mengembalikan banjir susulan
akibat perubahan kontur daerah di hilir. Sawah-sawah hijau dan irigasi yang
rusak sebagai penampung air, kini sudah dipenuhi lumpur padat. Saat hujan dari
hulu sungai turun, ia seakan menjebak kawasan pedesaan untuk merasakan kembali
banjir, seakan luka yang belum kering harus luka kembali
Chapter kedua, Hadir dan Bergabung di Posko Bireuen, Aceh Utara dan
Lhokseumawe
Pada minggu kedua setelah bencana, proses logistik mulai mengarah ke
sejumlah hal yakni proses pendataan. Data ini perlu sekali terutama buat
masyarakat yang terdampak, area yang luas dan bahkan untuk di Aceh saja ada
sebanyak 3544 desa dari 200 kecamatan yang kena. Jumlah yang sangat besar
tersebar pada 18 kabupaten/kota di Aceh. Luas banget itu dan rata-rata desa
yang kena sepanjang hulu hingga hilir sungai.
Benar rasanya Gubernur Aceh mengatakan Banjir Sumatra ibarat Tsunami kedua
dan jauh lebih besar. Sebagai saksi hidup, banjir Sumatra jauh menyiksa dan
menyakitkan. Harus merasakan 10 hari tanpa listrik, tanpa air, dan tanpa
energi. Rasanya kehidupan berhenti sejak matahari terbenam dalam kegelapan
malam, mencari sumber energi terdekat termasuk perkantoran atau kedai kopi.
Perjalanan ke Bireuen, Aceh Utara, Lhokseumawe dimulai dari ibu kota Banda
Aceh. Biasanya jarak tempuh ke sana membutuhkan waktu selama 6 jam, namun
setelah bencana waktu tersebut mustahil di tempuh. Saat melewati sejumlah
wilayah dari Pidie jaya, kami sudah dihadang genang banjir susulan. Ada banyak
jalan yang telah mengelupas dihantam air bah, jalanan Aceh yang terkenal mulus
seperti tol kini hanya tinggal kenangan. Jadi harus serba hati-hati sekali
dalam berkendara.
Pemandangan sepanjang jalan tak luput rumah warga yang terendam lumpur.
Mereka sebagian mendirikan tenda darurat di depan rumah sembari menjemur barang
yang dirasa bisa diselamatkan. Rumah yang masih tersisa dipenuh lumpur padat
dan banyak yang fondasi dasarnya terkikis air. Tak ada kemungkinan untuk
tinggal lagi.
Hingga sampai di Kuta Blang Bireuen, ini kota yang sangat sibuk. Kota
tempat orang tua saya tumbuh besar. Saya melihat kondisi pilu di sana,
persawahan pada terendam padahal itu musim panen. Termasuk dengan sawah milik
keluarga. Tapi ajaibnya lokasi desa selamat dari amukan air bah, bentuk lekuk
DAS Sungai Peusangan yang berliku seakan lebih mengarah ke area lain di sebelah
sana. Menghancurkan desa seberang tanpa sisa.
Tapi di sini kendalanya, karena misi kemanusian di minggu kedua adalah
untuk pergi ke Aceh Utara dan Lhokseumawe. Jadinya jembatan lintas nasional
bernama Kuta Blang telah runtuh, mau tak mau kami harus meninggalkan kendaraan
di seberang, berharap ada jemputan atau naik kendaraan travel. Tapi tantangan
sebenarnya adalah naik boat nelayan setempat.
Sehari sebelumnya ada berita hanyut sejumlah penumpang yang menyeberang.
Membuat takut sejumlah anggota tim dari kami. Memang kala itu arus sungai
Peusangan sedang deras dan boat yang digunakan jauh lebih kecil. Meskipun
begitu barulah ada safety selama proses penyebrangan, baru ada life jacket
sampai regulasi keamanan lainnya. Dalam bencana ada bencana lain yang
mengintai, berat sebab banyak relawan yang bertaruh nyawa buat sampai ke
lokasi.
Sampai ke seberang sana, tanpa ada kendaraan dan harus naik mobil sewaan.
Sedangkan kendaraan dan barang yang dianggap berat harus tinggal di seberang.
Setiba di Lhokseumawe, tak ada penginapan mewah. Hanya rumah warga yang
disewakan buat tinggal sementara, kondisi yang serba terbatas. Namun tugasnya
jelas yakni melakukan proses input data korban banjir di sana.
Kami bekerja sama dengan pemkot Lhokseumawe dalam proses input data,
memindahkan barang dari sejumlah gudang BULOG yang kemudian disalurkan pada
masyarakat sekitar. Memang Lhokseumawe tidak terdampak langsung, tapi di luar
kota yakni Aceh Utara seakan mengirimkan air bah luar biasa.
Saya mendengarkan kisah Bang Rahmat, ia mendengarkan di malam itu ada suara
gemuruh dari bukit. Ia kala itu berada di Sawang, Aceh Utara. Daerah yang
sempat Gubernur Aceh katanya desanya menghilang dari peta. Terlihat di sana
para petani sawit membawa jeriken kosong saat air bah datang. Mereka menjadikan
jeriken kosong sebagai pelampung saat air bah datang. Sedangkan masyarakat
bertahan di tempat tinggi atau hanyut terbawa air bah.
Bang Rahmat bercerita bahwa, tinggi air mencapai 11 meter kala itu, tanda
ada yang bertahan termasuk kumpulan pohon sawit punya perusahaan. Semuanya
terbawa arus banjir hingga sampai ke hilir dari Krueng Geukuh, saya bergindik
ngeri mendengarkan cerita beliau. Seakan menyisakan kerusakan permanen yang
sulit diperbaiki.
Tugas menjadi posko memang tak langsung terjun langsung ke lapangan, tapi
di sini perlu sekali data. Selain itu butuh perangkat khusus buat bekerja, tak
hanya beberapa carik kertas. Ada banyak bantuan lokal dan nasional yang harus
dihimpun, bantuan itu harus sampai ke tangan masyarakat yang tepat.
Saya pun diberikan akses akan semua data-data tersebut, setiap dua hari
sekali diupdate berkala dengan Google Drive, di sana data-data tersebut
disampaikan ke Pemerintah Aceh. Melalui aplikasi bencana.acehprov.go.id akan
ada update data.
Memang, dalam sistem Pemerintah Aceh, data yang tercatat belum merinci
bantuan secara spesifik per item. Informasi yang tersedia masih berupa nilai
dan jumlah keseluruhan. Sementara itu, pada level pemerintah kota, pencatatan
bantuan lebih detail, mencakup jenis bantuan logistik yang disalurkan kepada
masyarakat terdampak.
Perbedaan ini menegaskan betapa pentingnya sinkronisasi data lintas level
pemerintahan agar bantuan tidak hanya cepat, tetapi juga tepat sasaran. 4 hari
di Lhokseumawe dihabiskan seharian di posko, jelang sore hari saya mengajak
Bang Ammar ke sejumlah lokasi dengan motor warga lokal. Di sana melihat
pengungsian yang sebagian sudah pulang ke rumah masing-masing. Selain itu pergi
ke sejumlah lokasi di Aceh Utara. Daerah bencana kebutuhan kendaraan sangat
mendesak dan siapnya akses seperti jembatan rasanya penting sekali.
Di Lhokseumawe juga saya melihat ada banyak petani cabai dari Bener Meriah
dan Takengon. Mereka berjualan cabai dengan harga cukup murah, hanya
Rp.15.000/kg. Sebelum adanya inisiasi Ferry Irwandi, banyak petani cabai yang
menjual hasil cabai mereka hanya untuk bisa menukarkan dengan beras dan BBM.
Lalu esok paginya mereka melanjutkan diri menembus jalanan terjal Simpang KKA,
naik jauh hingga ke Gunung Salak untuk bisa kembali ke rumah, membawa kembali
beras dan BBM hanya untuk keluarga di sana.
Saya termasuk membeli cabai sebanyak 2 kg saja buat dibawa pulang dan
oleh-oleh ke Banda Aceh. Harga cabai yang sempat meroket hingga 150 ribu/kg
seakan membuat shock siapa saja. Cara sederhana masyarakat lokal membantu
ekonomi korban terdampak. Tak hanya petani cabai, ada banyak petani lainnya
yang butuh dukungan menyelamatkan ekonominya pasca bencana.
Chapter ketiga, Kerja Bakti Aceh Timur hingga Aceh Tamiang
Minggu keempat kami sembari ditugaskan, ini bukan lagi urusan membagikan
sembako atau mengumpulkan data daerah terdampak. Tetapi lebih dari itu yakni
bergotong royong membersihkan fasilitas umum di daerah terdampak. Saya deg
degan lokasi yang dipilih, semoga bukan lokasi yang sama, sebab ada banyak
kabupaten yang terdampak dan setiap penugasan harus di lokasi yang berbeda.
Akhirnya lokasi yang terpilih yakni di Aceh Tamiang, daerah paling
terdampak parah akan banjir Sumatra. Kerusakan di sana sangatlah masih, bahkan
hampir 90% fasilitas rusak dan terendam banjir berhari-hari. Desa yang harus
dibersihkan yakni Karang Baru, Aceh Tamiang. Sebagai gambaran Karang Baru jadi
lokasi yang terdampak cukup parah.
Tumpukan kayu gelondongan, lumpur hingga bangkai kendaraan bercampur padu. Lokasi
yang mungkin banyak dilihat pada televisi berdiri pesantren yang berhasil
menahan gelondongan kayu masuk ke pemukiman warga. Di situlah lokasi kerja
bakti kami, membersihkan daerah yang dulunya penuh cinta menjadi kembali
berdenyut. Jelas masyarakat tak mampu, mereka sudah survive saja telah bahagia.
Kini tangan-tangan relawan yang terlibat di dalamnya.
Perjalanan ke sana tak berjalan mulus, normalnya butuh waktu 9 jam tetapi
ini masa darurat dan butuh sampai 13 jam. Rata-rata waktu dihabiskan buat antre
di jembatan darurat Bailey di Bireuen, terjebak panjang sepanjang Aceh Timur
dan sampai di Aceh Tamiang yang masih gelap gurita seperti kota hantu. Menginap
di tenda darurat bersama warga dan selama dua hari ke depan bekerja bakti
membersihkan fasilitas umum di sana.
Lokasi yang kami bersihkan yaitu kantor Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan
Gampong atau seperti Dinas Desa setempat. Aceh itu unik sebab mereka punya
undang-undang sendiri dalam wujud UUPA, jadinya ada sejumlah dinas yang tak ada
di wilayah Indonesia lainnya.
Sebagai bagian dari DPMG Provinsi, pilihan di Tamiang tentu saja sebagai
wujud pengabdian. Saat tiba ke sana, langsung terbayang lumpur setinggi lutut
yang sebagian besar seakan mau mengeras. Bahkan sebagian seakan sudah ditumbuhi
rumput. Di sanalah aksi dimulai dengan menurunkan alat kebersihan, bersama-sama
membersihkan lokasi yang penuh dengan lumpur.
Bila tak ada alat dan bantuan dari kami, rasanya kantor DPMG Aceh Tamiang
akan mati suri dalam waktu lama. Membersihkan lumpur tentunya bikin pinggang
encok, apalagi mengandalkan alat seadanya. Tapi tujuannya misi kemanusiaan dan
membantu saudara yang terdampak seakan rasa capek itu hilang. Seakan berani
kotor itu baik dan bermanfaat.
Di tengah rasa lelah yang menumpuk, ada satu pemandangan kecil yang justru
mencairkan suasana. Banyak pria setempat mengenakan pakaian muslimah perempuan.
Bukan untuk bergurau, tetapi karena itulah pakaian yang tersisa dan tersedia
hasil sumbangan warga. Dengan busana itu, mereka tetap bekerja apakah itu
mengemudikan becak barang, mengatur parkir, hingga mengarahkan tamu yang datang
membantu.
Di wajah mereka terbit senyum yang tulus, senyum orang-orang yang memilih
bertahan meski keadaan tidak ramah. Di balik tawa kecil dan canda ringan,
tersimpan hati yang mungkin sedang hancur. Namun di situlah saya melihat
kekuatan yang sesungguhnya, kemampuan saling menguatkan, bahkan ketika hidup
sedang runtuh di sekelilingnya.
Mengolah Data di Weekday dan Kerja Bakti di Weekend
Bisa saya katakan, menjadi ASN itu berat khususnya saat bencana. Masuk dan
pulang kantor wajib sesuai jadwal, pikiran campur aduk. Apakah nanti buat antre
BBM dan tabung gas yang sudah mengular panjang. Itu belum lagi memberi sejumlah
makanan yang nanti dimasak atau disimpan, karena listrik tak ada mau tak harus
belanja setiap hari. Sedangkan beli makanan di luar harganya melambung tinggi
akibat pasokan terbatas.
Kelebihannya punya akses listrik dan internet saat berada di kantor,
sedangkan orang lainnya rela desak-desakan di kedai kopi sembari membawa
colokan hanya untuk mengisi daya. Tapi tugasnya ASN banyak dan saya mendapatkan
tugas dari mulai pengantar logistik, input data ke sistem pemerintah, dan
gotong royong. Paling konsisten tentu saja input data update terkait bencana.
Selama 4 hari seminggu dikhususkan input data hidrometeorologi yang
didapatkan dari relawan dan pendamping desa setempat. Data ini berguna sekali
agar proses pengambilan keputusan dari penentuan wilayah prioritas, perhitungan
logistik hingga evaluasi dampak bencana secara menyeluruh. Tanpa data yang
akurat dan terbarui, bantuan berisiko datang terlambat dan jadi tak tepat
sasaran.
Di sinilah peran PC benar-benar terasa. Mengolah data hidrometeorologi
bukan pekerjaan sekali klik. Ada tabel panjang, pembaruan berkala, pengecekan
silang antarwilayah, dan sinkronisasi dengan sistem pusat. Semua itu
membutuhkan layar yang lega, performa yang stabil, dan sistem yang tidak mudah
bermasalah. Dalam situasi di mana kesalahan satu angka bisa menggeser prioritas
bantuan, perangkat kerja tidak boleh menjadi sumber masalah baru.
Rutinitas itu berulang dari Senin hingga Jumat mengolah data di weekday. Lalu
turun langsung ke lapangan saat weekend untuk kerja bakti, distribusi logistik,
dan memastikan laporan sesuai dengan kondisi nyata. Pola kerja seperti ini
melelahkan, tapi harus dijalani. Karena di masa bencana, ASN bukan hanya
bekerja di balik meja, tetapi juga ikut memikul beban sosial di tengah
masyarakat yang sedang terluka.
Ketika kembali ke kantor, satu-satunya hal yang saya butuhkan adalah sistem
yang siap bekerja tanpa banyak tanya. Perangkat yang langsung menyala, tidak
rewel, dan mampu menampung semua data yang sudah dikumpulkan dengan susah
payah. Dari situ saya belajar, bahwa dalam kerja kebencanaan, teknologi bukan
soal kecanggihan, melainkan soal kehadiran yang konsisten menemani kerja sunyi
di balik layar agar bantuan bisa sampai tepat waktu di lapangan.
Membantu Petani
dalam Bencana
Banjir bandang menghantam masyarakat
pegunungan di Sumatra dan mereka selama ini bergantung hidup dari hasil alam.
Di Aceh sendiri kala bencana datang ada banyak perkebunan, persawahan, hingga
tambak yang rusak. Di sini ada banyak yang mata pencahariannya terputus dan itu
menyakitkan. Sebagian yang selamat kesulitan menjual hasil alamnya, mereka
relawan menembus daerah longsor dan berjalan kaki ratusan km hanya untuk
menjualnya dengan harga murah.
Saat bertugas di Kota Lhokseumawe, ada banyak
penjual cabai yang turun jauh ke kota dan tujuannya hanya satu yakni menjual
barang secepatnya dan hasilnya akan dibelikan logistik dan BBM. Apakah hanya
petani cabai saja? Jelas tidak. Saat bencana lagi banyak musim buah-buahan di
Aceh. Selama perjalanan bisa ditemui penjualan rambutan, langsat, dan durian di
sepanjang jalan. Mereka menjual dengan harga miring di depan rumahnya sedang
teredam.
Seakan saya tertarik dengan Program Bang Ferry
Irwandi, setiap logistik yang masuk harusnya ada Feedback. Tak hanya sebatas
Hercules kosong yang kembali dari bandara-bandara di Pedalaman Aceh, tapi
mereka membeli dan mengambil hasil alam di sana.
Di daratan gayo mungkin bukan sebatas cabai,
bisa saja hasil kopi gayo yang terkenal enaknya. Ada juga sayuran-sayuran
lainnya seperti kentang, wortel, tomat dataran tinggi, bawang daun, sawi,
petsai, hingga buncis yang selama ini menjadi tulang punggung hortikultura ikut
terdampak. Lahan-lahan di lereng dan dataran tinggi yang biasanya hijau dan
produktif berubah menjadi hamparan lumpur.
Bencana ini bukan sekadar merusak tanaman,
tetapi memutus mata rantai penghidupan petani dari kebun, pasar lokal, hingga
pasokan ke wilayah pesisir Aceh. Salah satu opsi tentu saja dengan sistem
pendataan sejumlah hasil alam tersebut dan nantinya bisa dijual ke pasar
nasional. Data tentang jenis komoditas, jumlah produksi, lokasi terdampak,
hingga potensi panen menjadi pintu masuk agar hasil bumi Gayo tidak berhenti di
pasar lokal, tetapi bisa diarahkan ke pasar yang lebih luas, termasuk pasar
nasional.
Di titik inilah peran teknologi menjadi
krusial. Proses pendataan tidak bisa dilakukan serampangan. Ia membutuhkan
perangkat yang mampu mengolah data dalam jumlah besar, membuka peta dan laporan
secara bersamaan, serta menyimpan arsip dengan aman.
PC dengan layar lega memudahkan membaca
sebaran wilayah terdampak, sementara performa yang stabil memastikan input data
berjalan tanpa gangguan. Bagi saya, perangkat kerja seperti ini bukan sekadar
alat administratif, tetapi jembatan antara petani yang terdampak dan peluang
pemulihan ekonomi.
Dengan dukungan sistem digital dan perangkat
yang andal, data hasil hortikultura yang sebelumnya tercerai-berai bisa
dikonsolidasikan. Dari sana, pemerintah dan pemangku kepentingan dapat menyusun
strategi distribusi, membuka akses pasar yang lebih luas, dan memastikan bahwa
pemulihan tidak berhenti pada bantuan jangka pendek, tetapi bergerak menuju
keberlanjutan.
Toh tujuannya jelas agar petani tidak miskin,
tak ada lagi petani memikul hasil alamnya jauh dibawa ke kota-kota pesisir dan
menjual dalam harga murah. Bila pasarnya didapatkan, mereka tidak lagi miskin
dan tentu saja ketergantungan dengan bantuan bisa berkurang. Kini mereka bisa
kembali memiliki uang untuk memperbaiki ladang yang telah rusak pasca bencana.
Hal yang sama
pula di sejumlah wilayah terdampak di pesisir timur Aceh. Hasil alam seperti
rambutan, langsat hingga berbagai komoditas kebun rakyat lainnya ikut
terdampak, baik karena terendam banjir maupun terputusnya jalur distribusi.
Buah-buahan yang seharusnya bisa segera dipasarkan justru menumpuk di kebun
atau rusak sebelum sampai ke konsumen. Di kondisi seperti ini, pendataan dan
pemetaan hasil alam menjadi langkah awal yang penting, agar potensi yang masih
ada bisa diselamatkan dan disalurkan ke pasar yang lebih luas.
Saat tugas
Komputer Bukan Sebatas Alat Kerja, Tapi Device Bertahan Hidup
Hampir dua minggu pasca bencana kondisi
listrik belum normal, antrean BBM mengular dan sulitnya mendapatkan jaringan
internet yang stabil. Namun di situ proses input data sudah dimulai, bahkan
saya sudah ditugaskan di salah satu posko di Kantor Gubernur untuk melakukan
koordinasi data.
Di sinilah hari-hari diisi dengan pagi-paginya
ke kantor buat absen lalu, ke pusat sistem penginputan data secara real time.
Di situlah peran komputer bukan sekadar urusan produktivitas, data ini
urusannya keberlangsungan hidup banyak orang. Siapa saja yang terdampak, siapa
saja yang perlu sekali dapat bantuan yang kemudian dikirim ke pusat bekerja
sama dengan BNPB dan pemerintah pusat.
Siklon senyar yang terjadi di Sumatra seakan
mengingatkan saya pada Siklon serupa yang terjadi di Flores di tahun 1973.
Jumlah korbannya sangat identik dengan yang terjadi saat ini, bahkan termasuk
sebagai siklon tropis paling mematikan di belahan bumi selatan. Kejadian itu
sudah terjadi lebih dari setengah abad lalu.
Seakan pemerintah kala itu telat mendapatkan
informasi tersebut, baru sebulan kemudian setelah bencana terjadi. Inilah yang
tidak mau terjadi, di era modern saat kini, akses internet dan informasi jadi
hal terdepan. Dibutuhkan data yang cukup cepat dan respons tanggap bencana,
tanpa data desa yang paling parah justru terlewatkan dan tanpa data negara
bekerja dalam gelap.
Di kantor saya termasuk orang yang beruntung,
masih bisa mendapatkan listrik walaupun tak stabil dan masih bisa internetan.
Namun di ruangan itu bersama teman-teman lainnya harus menghabiskan waktu
berjam-jam menatap layar, bukan untuk berselancar tetapi menginput laporan dari
para relawan dan pejuang kemanusian untuk urusan data hidrometeorologi. Ada
juga data pengungsi, kerusakan fasilitas umum, hingga data persawahan dan
ternak warga harus dihimpun semua.
Data ini bisa mengestimasi kerugian yang
terjadi saat banjir dan proses pemulihan yang dilakukan. Di titik ini saya
sadar bahwa komputer adalah tulang punggung dalam misi kemanusiaan. Karena tak
semuanya harus turun ke lapangan, tugasnya berganti-gantian dan agar masa
tanggap darurat bisa segera berakhir.
Biasanya saya bekerja dengan laptop dan itu
jelas tidak nyaman. Ukuran laptop saya terlalu kecil untuk melihat begitu
banyak sheet dan tentu saja membuat banyak tab. Di sinilah peran komputer AIO
sifatnya praktis dan mengalahkan laptop tentunya terutama desainnya yang
minimalis.
Saat membuka berbagai data dari peta lokasi
daerah yang terdampak, dashboard data korban dan desa terdampak, laporan desa,
dan spreadsheet logistik secara bersamaan, jelas layar laptop akan penuh.
Apalagi laptop saya layar hanya 13 inci, beda jauh dengan komputer yang bisa
sampai dua kali ukuran laptop pada umumnya.
Bila di kondisi normal mungkin bisa gampang
saja buat berpindah tab, tapi ini tak berlaku selama masa tanggap bencana.
Salah input data di suatu desa pada suatu kolom bisa berakibat fatal. Di
sinilah layar besar bisa memperluas fokus dan ketelitian apalagi dengan kontras
nan jernih.
Jadi urusan dengan komputer AIO terasa begitu
gampang dalam membuka peta bencana, tabel, dan laporan tanpa harus berpindah
layar. Selain itu, konsepnya yang praktis artinya tak ada CPU yang terpisah,
tak ada gulungan kabel yang mengganggu, dan tak makan banyak tempat. Sesuatu
yang berharga di saat kondisi genting dan serba terbatas.
Kebutuhan
Penting akan PC di Kala Bencana
Bila ditanya jujur, pasca banjir yang
dibutuhkan tentu saja perangkat yang mendukung buat kerja. Di laptop sifatnya
sulit, mungkin saat pergi ke lokasi bencana laptop penting sekali, sedangkan
saat di kantor tentu saja dibutuhkan PC. Ia bisa bekerja dengan stabil tanpa
semua bahan tersimpan di laptop pribadi.
Tujuan utama tentu saja buat menghimpun data,
ada banyak laporan yang masuk dari relawan dan pendamping desa setempat. Apakah
itu urusan data hidrometeorologi seperti data desa dan kecamatan yang
terdampak, korban hilang, korban meninggal hingga jumlah pengungsi.
Buat gambaran teman-teman semua, selama hampir
tiga minggu saya bertugas di posko sumber data di kantor Gubernur. Untuk
Provinsi Aceh, ada sebanyak 513 orang meninggal dunia, sebanyak 31 jiwa masih
hilang. Lalu ada sebanyak 275.008 jiwa terpaksa mengungsi yang berasal dari
68.672 KK. Sedangkan yang terdampak secara tak langsung mencapai 2.113.303 jiwa
atau hampir separuh penduduk Aceh merasakannya terutama dampak ekonomi. Bahan
baku langka, BBM langka, dan listrik tak mau nyala.
Banjir juga menghantam sumber penghidupan
warga, ada 130.000 rumah rusak, menandai skala kehilangan tempat tinggal yang
masif. Sektor ekonomi rakyat ikut terpukul berat karena ada sebanyak 102.906
ekor ternak hilang atau mati, 51.335 hektare sawah terendam dan berubah wujud,
39.910 hektare tambak rusak dan 25.074 hektare kebun terdampak. Pedih saat
melewat sejumlah sawah hijau, perkebunan kopi warga, hingga tambak yang harus
berubah wujud dalam sepekan saja.
Lalu ada banyak desa yang seakan rusak dan
terdampak yakni 3118 di 200 kecamatan. Di dalam semua itu yang paling penting
fasilitas umum yang harus segera diperbaiki. Sebab ada fasum ini mampu
menunjang masyarakat pasca banjir kini telah tiada. Itu mulai ruas jalan yang
rusak ada sebanyak 1.098 titik, pondok pesantren sebanyak 669 unit, 732
sekolah, 638 tempat ibadah, 492 jembatan, 236 kantor pemerintah, hingga RS/PKM
berjumlah 193 unit.
Dari semua data tersebut tentu berubah-ubah
setiap harinya dan dikirim berlapis dan dikirimkan ke provinsi lalu diteruskan
ke pusat. Tak boleh salah, tak boleh tertukar dan tentunya tak mungkin
dikerjakan melalui ponsel. Tapi device PC, di sana data dihimpun dari foto
lapangan yang dilakukan oleh relawan. Mereka rela menembus area paling
terisolir hanya untuk secarik data penting.
Saya butuh PC yang punya layar cukup besar dan
lega serta tentu saja punya performa yang stabil. Ini semua agar file besar
yang dikirim tidak berhenti tiba-tiba saat bekerja. Tak ketinggalan PC yang
punya keamanan data mumpuni. Angka-angka ini bisa saya dimanipulasi dan bukan
statistik kosong, di sana ada identitas warga, hak bantuan, wujud serah terima,
dan harapan banyak donatur dari seluruh negeri.
Lalu PC harus
bisa diajak multitasking...
Alasannya karena di posko bencana semuanya tak
berjalan satu arah saja. Datanya selalu up to date secara online. Sembari
menunggu sikronisasi dengan Google Drive berjalan, browser lainnya sudah
dipenuh peta banjir dan citra satelit. Apalagi kini sedang musim penghujan dan
anjuran BMKG akan perubahan cuaca berpengaruh buat teman-teman yang sedang di
lokasi.
Termasuk aktivitas vulkanik, salah satunya di
Bener Meriah yang saat ini sedang dalam status Siaga III akibat aktivitas
Gunung Burni Telong. Jelas butuh perangkat yang lega dan up to date terhadap
aktivitas seismik, membantu mereka tetap tanggap bencana.
Semuanya terjadi dalam waktu bersamaan dan
tanpa jeda. Tak ada pilihan buat menutup satu pekerjaan demi membuka tab
lainnya, semuanya harus terbuka sekalian. Di sinilah kondisi membutuhkan PC
yang tak ngos-ngosan. Bukan perangkat yang cepat di awal tetapi mendadak
melambat saat diajak kerja berat. Ukuran RAM besar dan SSD sat set sehingga
ritme kerja terus terjaga
Belum itu semua, tiba-tiba sambungan Zoom
dengan pejabat masuk untuk koordinasi dengan WAG dalam hal koordinasi mendadak.
Di saat bencana rapat tidak berada di ruang sunyi tapi ruangan kedap suara yang
jauh dari kata tenang. Paling terdengar mengganggu tentu saja orang
mondar-mandir ke sana kemari.
Itu belum lagi suara genset yang memekakkan
telinga, listrik belum normal dan genset dipacu habis-habisan sampai solar di
titik nadir terakhir. Di sinilah PC yang prima buat zoom online dengan
pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Lalu menerima laporan langsung lintas
wilayah, dan tentu saja menyampaikan perkembangan terbaru saat situasi berubah
dengan cepat.
Di sinilah fitur kamera dan audio berbasis AI
sangat bermanfaat. Orang yang lagi mondar-mandir di belakang layar bisa
tersamarkan dengan fitur background sedangkan AI Noise Cancellation mampu
meredam kebisingan di sekitar, sehingga suara pengguna tetap terdengar jelas
tanpa gangguan.
Kelihatan wajah tetap profesional dan rapi
tapi kenyataan saya lagi di posko dengan wajah lelah sembari berpikir: ini
nanti antre BBM berapa lama ya?
Satu hal
penting…
Di lokasi posko bencana tidak ada ada yang
bersifat privasi khususnya perangkat kerja. Itu digunakan oleh banyak admin
dalam shift shift tertentu. Ibarat pusat kerja bareng-bareng saat satu orang
lelah lalu digantikan oleh orang lain.
Dalam satu ahri perangkat bisa dipakai oleh
operator data, tim logistik, hingga koodinator lapangan. Paginya digunakan oleh
admin yang menginput laporan kerusakan, siangnya dipakai mengecek distribusi
bantuan, dan sore hingga malam jadi tempat merangkum laporan haruan.
Apalagi saya di akhir pekan sering ikut pergi
survei ke sejumlah wilayah bencana, sudah pasti tak bersentuhan dengan PC.
Alasan itu PC AIO dianggap cukup praktis buat digunakan pada kondisi darurat.
Tak perlu bongkar cukup pasang kabel langsung nyala dan tak harus rakit lagi
yang membutuhkan banyak waktu. Jadi tinggal masuk kotak, dan bisa dibawa ke
lokasi posko di daerah terdampak.
Setiba di lokasi pun bisa langsung dinyalakan
tanpa menunggu lama. Jauh dari kata error dan pasang kabel. PC AIO jadi pilihan
tepat karena di masa tanggap bencana dibutuhkan PC yang bisa langsung kerja
berjam-jam. Apalagi relawan sudah duluan stres, jangan sampai saat menyalakan
PC stresnya makin menjadi-jadi. Tapi perangkat yang bisa menjernihkan pikiran,
dan pikiran jernih ini jadi modal bekerja dalam krisis.
Setiap bencana
yang terjadi ada satu hal yang menyakitkan, kita kehilangan banyak kenangan di
rumah yang kita punya…
Saya pernah mengalami hal tersebut dan itu
menyakitkan sekali. Tak ada lagi foto masa kecil, foto keluarga yang harus
hilang ditelan amukan Gempa bumi dan Tsunami di tahun 2004. Dalam pikiran yang
terpintas hanya satu: Syukur-syukur bisa selamat dan semua korban selamat hanya
itu yang ada di pikirannya.
Di era modern dan zaman serba mitigasi,
teknologi jadi cara manusia menyelamatkan jejak. Mungkin kita bisa kehilangan
rumah, kendaraan, sawah hingga hewan ternak. Tapi kenangan harus tetap ada dan
kita semua tak bisa kembali lagi ke masa lalu.
Itulah mengapa menyimpan data dalam wujud
cloud sangat penting dan perangkat teknologi punya caranya. Ia boleh rusak dan
tenggelam, banyak teman-teman saya di Aceh Utara, Aceh Timur, hingga Aceh
Tamiang bercerita. Perangkat kesayangannya teredam banjir, ia tak terselamatkan
sedikit. Tapi kita bisa menyelamatkannya dalam wujud cloud.
Tak hanya menyelamatkan jerih payah pekerjaan
kita selama ini biar bisa diback up ulang, tak hanya menyelamatkan simpanan
file berharga dari kecil, tapi menyelamatkan data lainnya yang berharga yang
masih selamat dari banjir.
Di sinilah peran PC yang memberikan cloud
lapang atau sistem berwujud cloud. Perangkat rusak bisa digantikan tapi jerih
payah sulit kembali karena ingatan manusia terbatas. Di PC juga saya menyimpan
banyak foto-foto lokasi banjir, lokasi daerah pasca banjir hingga sejumlah
daerah. Ini jadi kenangan nostalgia beberapa tahun ke depan. Kita melihat
bagaimana kerja keras kita berproses memperbaiki yang porak-poranda menjadi
lingkungan yang layak.
Saya menyimpannya di drive berkapasitas besar
dan nantinya para korban atau orang-orang dari masa depan bisa melihat
dahsyatnya banjir Sumatra dulu sama halnya kita melihat betapa dahsyatnya Gempa
Bumi dan Tsunami 21 tahun silam.
Dari segala pengalaman sebulan terakhir dari
menyalurkan bantuan, mengolah data bencana, hingga terlibat dalam gotong royong
ke lokasi bencana. Satu hal yang saya tangkap, kita butuh perangkat mendukung
kerja dan ASUS All-in-One PC V400 Series adalah jawabannya. Bukan hanya
spesifikasi semata tapi ia mampu menyesuaikan ritme kerja dalam berbagai
kondisi.
Peran ASUS
All-in-One PC V400 Series di Masa Tanggap Bencana
Dalam situasi bencana seperti saat ini,
teknologi tidak diuji di ruang nyaman. Perangkat benaran diuji di meja posko
yang sempit, di bawah suara genset yang berisik dan tentu saja kondisi cuaca
yang sangat lembap, Namun ia harus cekatan dalam merangkum berbagai data dan
tak boleh keliru. Pada fase inilah saya menyadari, perangkat kerja bukan soal
gaya atau tren, melainkan ketahanan, kejelasan, dan keandalan.
Tentu saja dengan desain dari ASUS All-in-One
PC V400 yang hadir dengan layar luas memukau hingga 27 inci yang sudah Full HD.
Seakan mampu menghadirkan sudut pandang luas 178°, membuat data, peta, dan
laporan tetap jelas dilihat dari berbagai posisi. Kualitas visualnya bukan
sekadar enak dipandang. Akurasi warna 100% sRGB, teknologi ASUS Splendid, serta
sertifikasi TÜV Rheinland membantu mata tetap nyaman meski harus menatap layar
berjam-jam.
Dalam situasi darurat, kelelahan mata bisa
berujung pada kesalahan membaca data. Di sini, layar yang vivid dan nyaman
justru menjadi bagian dari menjaga fokus dan ketelitian. Jelas ini memberikan
ruang lega buat bekerja dan di pusat data di posko layar lebar wujud kemewahan
dan kebebasan. Selain itu ada juga opsi touch maupun non-touch pun memberi
fleksibilitas, tergantung siapa yang sedang bertugas di depan layar.
Urusan dengan hadir dengan NanoEdge sehingga
terlihat clean buat ditatap berjam-jam. Namun tampilan estetik ini didukung
dengan prosesor hingga Intel® Core™ i7, memori yang bisa ditingkatkan hingga
64GB DDR5, serta penyimpanan SSD hingga 2TB memastikan setiap input data,
sinkronisasi cloud, hingga pembukaan file besar berjalan lancar dan responsif.
Sangat stabil untuk membuka banyak aplikasi dibuka bersamaan. Apakah itu untuk menyimpan
data, foto, dan laporan dalam wujud cloud.
Bicara urusan konektivitas, port yang sudah
lengkap seperti HDMI-in/out, USB 3.2, USB-C, hingga slot SD dan microSD,
memudahkan pemindahan data dari berbagai sumber tanpa ribet adaptor. Pastinya
ada dukungan WiFi 6E membantu menjaga koneksi tetap stabil saat harus mengirim
laporan ke pusat, mengakses peta daring, atau melakukan koordinasi lintas
wilayah, meski jaringan timbul tenggelam.
Meskipun tipis dan portable, tapi urusan
speaker jempolan sebab sudah dibekali dengan stereo hi-fi dengan desain
bass-reflex menghadirkan suara yang lebih dalam dan utuh. Dukungan Dolby® Atmos
membuat audio terasa sangat lantang. Cocok buat memutar ulang rekaman
koordinasi atau menyimak laporan video dari lapangan. Pada ruang posko yang
sering bising dan tidak ideal, kualitas suara yang jernih membantu menjaga
fokus dan mengurangi kelelahan.
Urusan kamera sudah pasti jempolan, berkat
sudah dibekali dengan AI pada ASUS V400 membantu menjaga kualitas visual tetap
layak. Sistem pencahayaan menyesuaikan kondisi, latar belakang tidak
mengganggu, tatapan mata terasa lebih natural. Makin joss berkat adanya AI Noise Cancellation menjadi penyelamat di
banyak momen krusial. Suara tetap terdengar jelas tanpa harus menaikkan nada
atau mengulang kalimat.
Perlindungan data jadi hal yang sangat
diperhatikan terutama dengan adanya chip TPM 2.0. Nantinya data sensitif
terenkripsi dan proses otentikasi lebih terlindungi. Bagi saya, ini bukan soal
istilah teknis, tetapi soal ketenangan: laporan korban, data kerusakan, dan
arsip lapangan bisa disimpan tanpa rasa waswas. Karena jika data bocor atau
hilang, dampaknya bisa jauh lebih panjang daripada bencana itu sendiri.
Keamanan fisik pun diperhitungkan. Slot
Kensington Nano memungkinkan perangkat dikunci di meja posko. Sebuah detail
kecil yang penting di situasi darurat, ketika fokus utama adalah membantu,
bukan menjaga perangkat. Kombinasi keamanan digital dan fisik ini menjadikan
ASUS All-in-One PC V400 Series bukan hanya alat kerja, tetapi penjaga data dan
ingatan kolektif di tengah kondisi yang serba rapuh.
Dalam bencana, perangkat bisa rusak dan
diganti. Namun data, kepercayaan, dan jerih payah manusia di baliknya tidak
boleh hilang. Di titik itulah, keamanan bukan fitur tambahan, melainkan bagian
dari tanggung jawab.
Namun dari itu semua, pengalaman yang saya
dapatkan selama sebulan bencana cukup campur aduk. Antar seakan kembali
mengingat pada luka lama 21 silam dari Gempa Bumi dan Tsunami. Kini harus
merasakan kepahitan serupa saat banjir Sumatra datang, seakan kini waktunya
bekerja sembari mengabdi buat teman-teman yang terdampak.
Tujuan tentu saja bersama mendonasikan
bantuan, mengumpulkan dan mengolah data bencana hingga turut serta bergotong
royong. Membangun fasilitas umum di desa-desa yang terdampak, mereka butuh
bantuan pihak luar dalam memulihkan luka yang mendalam. Sama seperti yang saya
rasakan dulu, menciptakan hidup baru yang layak.
Bagi saya manusia tak bisa bekerja hanya
mengandalkan tenaga fisiknya, jelas tak mampu. Mereka butuh alat kerja dan
perangkat. Membersihkan desa yang penuh genangan lumpur jelas butuh mesin-mesin
andal yang bekerja dan meringankan tugas manusia.
Sama halnya saya yang sebagian besar waktu
dihabiskan di depan layar, butuh perangkat mumpuni yang tak hanya dari kertas.
Saat hujan atau terkena lumpur, ia akan menguning dan rusak, sedangkan dengan
perangkat teknologi ia akan tersimpan dan tersampaikan.
Jadi tak berlebihan dalam proses input data,
hadirnya perangkat seperti ASUS V400 Series, AiO PC terbaik untuk di rumah dan
di tempat kerja. Seakan ia bukan hanya alat kerja di masa darurat, tetapi juga
perangkat yang relevan untuk jangka panjang.
Ia bisa menjadi pusat kerja posko, lalu
berpindah fungsi menjadi PC rumah yang rapi, tenang, dan siap digunakan kapan
saja. Semua data, foto, dan laporan yang dikumpulkan di masa krisis tetap
tersimpan aman dan bisa diakses kembali saat situasi sudah pulih.
Bagi yang ingin mengetahui lebih lanjut atau
mempertimbangkan perangkat ini sebagai PC kerja dan rumah, informasi resmi ASUS
All-in-One PC V400 Series dapat diakses melalui website ASUS Indonesia di https://www.asus.com/id/store/
Produk ini juga tersedia langsung di ASUS
Online Store melalui tautan berikut: https://www.asus.com/id/displays-desktops/all-in-one-pcs/asus-aio/asus-v400-aio-v440va/
Selain itu, ASUS All-in-One PC V400 Series
juga dapat ditemukan di e-commerce terpercaya seperti toko oren (Shopee) https://shopee.co.id/product/260151737/29788423616 Atau bisa juga didapatkan toko ijo (Tokopedia)
https://tk.tokopedia.com/ZSPcHnaWd/
Ada Secercah
Pelangi Setelah Badai Besar
Saya ingat saat badai siklon perlahan menjauh
di siang hari tanggal 27 November. Seakan terlihat pelangi panjang yang
kemudian terlihat cahaya matahari yang seakan telah sepekan tenggelam jauh
dalam balutan awan pekat. Seakan penderitaan menyakitkan itu sudah mencapai
puncaknya, kini ia coba turun meskipun meninggalkan luka yang masih basah.
Pertanda akan ada isyarat kecil bahwa harapan itu belum sepenuhnya pergi.
Pelangi di siang itu memang tak serta merta
menghapus duka, ia juga tak serta merta mengeringkan lumpur yang merendam
ribuan rumah warga. Namun ia seakan memberikan jeda di tengah kelelahan
panjang, dari sanalah saya belajar bahwa membangun yang runtuh harus
berdampingan dengan alam.
Aceh pernah terluka sama beratnya 21 tahun
lalu dan mampu kembali bangkit, kini ujian itu kembali datang seakan menguji
rasa empati kita. Bersama bergotong royong, membangun kembali akses dan
permukiman warga. Serta tentu saja melestarikan alam yang sudah rusak. Kini
secercah pelangi itu bukan sekadar simbol sesaat melainkan janji bahwa
pemulihan itu sedang berjalan.
Semoga Sumatra tetap menjaga pelindung
paru-paru dunia dengan keanekaragamannya dan bencana ini seakan cara untuk
bangkit dan membangun kembali apa yang sudah hilang.
Artikel ini diikutsertakan pada Lomba Blog
“ASUS AiO V400, The Most Aesthetic Workstation!” yang diadakan oleh Travelerien

0 komentar:
Post a Comment