Setiap melintas di jalan berliku di pegunungan
Geurute seakan disuguhi panorama alam yang memukau. Hamparan hutan lebat
berdiri gagah membelah pegunungan, sementara di bawahnya terbentang luasnya
Samudra Hindia yang biru berkilau. Perpaduan yang membuat setiap perjalanan ke
Pantai Barat Aceh memberikan pengalaman tak terlupakan.
Ada banyak warung-warung berdiri di puncak gunung, mengarah ke lautan luas dan jadi tempat persinggahan banyak orang sembari menikmati panorama dan menyantap kuliner. Ada satu hal yang menarik saat di persinggahan, ada banyak gerombolan Monyet Ekor Panjang yang muncul dari tepi hutan. Mereka mendekat, melompat di antara atap warung, mengintai makanan, hingga merebutnya.
Kehadiran mereka tak sekadar hiburan atau
kejutan bagi pengunjung, namun tercermin cerita besar akan menyempitnya
habitat. Membuat satwa liar seperti MEP harus berbagi ruang hidup dengan
manusia. Sebagai satwa liar, MEP tak bisa disalahkan atas perubahan
perilakunya. Justru manusia yang kerap memberikan makanan membuat MEP
bergantung banyak pada uluran manusia dibandingkan mencari makanan dari
habitatnya.
Habitat hutan makin menyempit membuat MEP
kehilangan sumber makanan alami.
Berbagai buah-buah hutan, pucuk daun, dan biji-bijian makin sulit
ditemukan. Mau tak mau, para satwa liar melihat opsi yang masuk akal yaitu
pergi ke sejumlah sumber makanan dari perkebunan, pekarangan hingga pinggiran
jalan raya. Pegunungan Geurute salah satunya, pola lanskap yang memudahkan
monyet dan manusia bertemu membuat MEP mencari sumber makanan di tempat lokasi
manusia berkumpul.
Di Aceh ada banyak satwa liar khususnya MEP
bertemu dengan manusia dan polanya serupa dengan Pegunungan Geurute. Ada di
jalan pegunungan lintas Saree, Nol Kilometer Sabang, Pemandian Mata ie, hingga
Hutan Mangrove di Langsa. Polanya hampir sama, ada banyak aktivitas manusia yang
begitu ramai dan bersinggungan dengan MEP. Satwa mendekat karena terbiasa
diberi makanan, manusia awalnya menjadikannya tontonan yang kemudian menjadi gelisah
hingga menimbulkan ancaman saat jumlah terlalu besar.
Sejumlah satwa liar punya perilaku sangat
adaptif, membuat MEP makin cerdik dan agresif. Mereka sudah bisa membuka
plastik, merogoh benda-benda di jok kendaraan, merusakan atap hingga bahkan
melukai. Tujuannya agar diberikan makanan, makin sering interaksi dengan
manusia maka konflik akan sulit terhindar. Harus ada solusi bijak yang tak
hanya melindungi gangguan, tetapi memastikan MEP tetap hidup sesuai perannya di
alam.
Mengenal Lebih Dekat
akan MEP aka Macaca fascicularis
MEP menjadi primata paling adaptif dan mudah
ditemukan di hutan Indonesia. Punya tubuh cukup ramping dengan ekor panjang
khasnya. Hidup secara berkelompok dengan sistem hierarki sosial yang terbentuk
dan tentu saja cerdas. Ia akan menyesuaikan hidupnya sesuai dengan
lingkungannya, apakah itu di hutan, perkebunan hingga pinggiran kota yang ramai
interaksi manusia.
Ada hal yang istimewa dari MEP, ia tak sebatas
penghuni hutan semata tetapi perannya baik buat ekosistem. Bak sang pengendali
populasi tumbuhan dengan menyebarkan biji-bijian setelah ia memakannya. MEP
menjadi agen alami penyemaian hutan yang melahirkan regenerasi pohon-pohon
baru, menjaga keseimbangan rantai kehidupan, dan memastikan hutan tetap lestari
buat satwa lain dan bahkan untuk manusia.
Tak hanya itu saja, MEP seakan memberikan
refleksi erat satwa liar dan budaya masyarakat sekitar. Sebagai contoh, di Aceh
MEP kerap muncul dalam sejumlah cerita rakyat atau sebagai tontonan sehari-hari
di persinggahan jalan pegunungan. Kehadiran mereka yang berinteraksi dengan
manusia menunjukkan betapa satwa ini mampu hidup berdampingan dengan manusia
meskipun ekosistem mereka mulai terganggu.
Meskipun begitu, kemampuan adaptif MEP ibarat
pedang bermata dua. Saat hutan sekitar mulai menyempit, perlahan sumber makanan
mereka berkurang drastis. Opsi yang MEP pilih hadir dari tak jauh dari tempat
mereka tinggal, apakah itu kebun, warung, hingga pemukiman warga. Di sinilah
potensi konflik hadir, satwa yang awalnya penjaga hutan perlahan dianggap hama
dan ancaman. Seakan kita harus memahami MEP krusial pada ekosistem, tetapi kita
harus memikirkan cara konflik dengan manusia tak terjadi dan bisa hidup berdampingan.
Potret Konflik Dampak
Konflik Manusia dan MEP
Saat kamu pergi ke lokasi yang sudah ada
invasi MEP jelas menakutkan. Tak jarang MEP punya cara mengancam dan membuat
pengunjung tak tenang. Makanan ditinggal sebentar mendadak raib dibawa lari ke
atas pohon. Itu baru makanan, bagaimana barang berharga yang mendadak bisa
dibawa kabur hanya karena kita tak memberikan makanan.
Pemilik usaha pun juga waswas karena usahanya
bisa sepi karena dianggap tidak aman dalam mengontrol laju MEP yang makin
agresif. Atau orang yang trauma akan MEP yang siap menyerang. Sehingga secara
tak langsung objek wisata jadi sepi, seakan kita sedang diteror sama preman
berwujud satwa liar. Hewan liar pun nyawanya juga tak aman, saat ini berusaha
mengambil makanan yang dilepas pengunjung di pinggir jalan berisiko tergilas.
Tak jarang jasadnya tergeletak mati di pinggir jalan tanpa ada yang coba
menguburkannya. Potret kelam dari hubungan rapuh antara manusia dan satwa liar.
Bagi masyarakat yang mencari nafkah dari berkebun.
Saat ia singgah ke kebunnya, senyuman mendadak sirna, ada pemandangan
menyakitkan yakni penjarahan. Tandan pisang, jagung muda, hingga pucuk tanaman
yang baru saja tumbuh disantap gerombolan MEP. Jerih payah berbulan-bulan
runtuh hanya dalam hitungan jam, meninggalkan rasa marah dan putus asa.
Populasi MEP yang meningkat pun seakan meningkatkan tensi konflik dengan manusia termasuk kerugian ekonomi. Apakah itu hasil pertanian, bahkan sampai aksi penyerangan baik dari manusia dan MEP. Di sisi manusia, luka gigitan MEP bisa berakibat serius yang menimbulkan trauma. Ada rasa cemas menyelinap acapkali terdengar riuh suara MEP dari kejauhan. Seakan pertanda serangan ke kebun atau pekarangan rumah akan segera terjadi.
Ironinya seakan mendorong masyarakat melakukan
tindakan instan dalam mengusir MEP. Caranya terlihat kasar mulai dari
melempari, menembaki dengan senjata angin hingga perburuan yang nyata-nyata membahayakan
kelestarian mereka. Cara ini kesannya hanya efek sementara, monyet yang diusir
akan sering kembali sedangkan bila ditekan dengan perburuan akan mengancam keberlangsungan
spesiesnya. Padahal MEP sejatinya memiliki peran penting bagi keseimbangan ekosistem
hutan.
Memahami konflik bukan sekadar soal menjaga
kenyamanan manusia tetapi juga memastikan kelestarian ekosistem dengan jalan
tengah yang adil bagi keduanya. Butuh pendekatan yang lebih bijak agar konflik
mereda dan hutan tetap lestari. Apalagi MEP tak bisa dipandang sebagai ancaman
melainkan penjaga ekosistem sekitar.
Jalan Cerdas
Meredam Konflik Manusia dan MEP
Konflik antara manusia dan MEP di Aceh masih
cenderung tidak meresahkan seperti sejumlah wilayah di Indonesia. Misalnya di
Jawa tengah, ada gangguan MEP yang terjadi di 15 kabupaten dari rentang 2011 hingga
2019. Penyebab utama tentu saja meledaknya populasi MEP yang membuat habitat
mereka tertekan. Saat itulah MEP datang ke kebun-kebun warga dengan mencuri,
menyerang warga hingga menimbulkan trauma psikologi serta kerugian ekonomi.
Sedangkan di Aceh, konflik MEP masih sekadar satwa
gangguan ringan. Meskipun MEP kerap muncul di kebun, jalan pegunungan hingga
sejumlah objek wisata. Interaksi dengan manusia masih tergolong menimbulkan serangan
agresif yang menimbulkan kerugian besar. Meskipun begitu, inilah kesempatan
dini mengelola konflik sebelum menjadi masalah serius di kemudian hari.
Kita harus mengetahui permasalahan utama
terlebih dahulu, di Aceh masalah utama tentu saja berkurangnya sumber makanan
alami di hutan. Ini membuat MEP mencari opsi paling mudah yakni dengan meminta
ke pada pengunjung dan manusia yang melintas. Untuk masalah ini, solusi terbaik
tentunya bersifat jangka panjang dan holistik. Tumbuhan seperti buah-buah hutan
adalah makanan yang mereka sukai sebagai pakan alami.
Satwa tentunya lebih memilih tumbuhan hutan
dibandingkan mendekat ke perkebunan dan lokasi wisata. Secara tak langsung, MEP
berperan dalam penyebar benih alami yang mereka makan. Membantu regenerasi
tumbuhan hutan yang telah ditanam dan mendukung kelestarian ekosistem secara
alami. Menanami beragam jenis tumbuhan hutan tak hanya jadi pakan utama MEP
tetapi jadi rantai kehidupan hutan yang seimbang.
Ada banyak objek wisata alam di Aceh dan
umumkan berada di tengah hutan. Kebiasaan pengunjung tentu saja memberikan
makan kepada satwa liar yang mengubah perilaku mereka. Untuk itulah harus ada edukasi
pada pengunjung, lokasi seperti di Mata ie, Nol Kilometer Sabang, Geurute,
Saree, hingga Hutan Mangrove Langsa harus ada papan peringatan. Ini berupa larangan
berupa denda ringan kepada pengunjung bila memberikan makanan pada satwa.
Pemandu wisata juga berperan agar efektif mengubah perilaku pengunjung dan MEP
jadi ramah, karena sumber makanan hal utama pemantik konflik.
Bagi petani dan pekebun pun serupa, menghalau MEP
tak lagi butuh senapan angin atau jebakan yang mengancam nyawa mereka. Di sini
masyarakat bisa menerapkan pagar hidup dari tanaman yang tak disukai MEP, ada
juga alat pengusir menggunakan suara-suara, hingga lampu sorot otomatis ke
kebun. Cara lebih humanis dan tetap menjaga populasi satwa yang kini mulai tertekan.
Opsi bagi petani juga diberikan, bila lokasi
hutan ada banyak satwa liar seperti MEP. Warga bisa diajarkan menanam tumbuhan
yang punya nilai tinggi tapi tak disukai oleh MEP. Apakah itu jahe, sera, kopi,
sejumlah usaha lainnya seperti lebah madu hingga pemanfaatan hasil hutan
non-kayu. Ini membuat petani tak perlu takut akan kebunnya diganggu oleh MEP,
sekaligus tetap memperoleh penghasilan yang berkelanjutan.
Paling penting bagaimana MEP tak dipandang
sebagai hawa, ia ibarat daya tarik wisata. Saat kita datang ke objek wisata,
kita bisa menyaksikan mereka bermain, melompati pepohonan, atau menyantap
sumber makan di habitatnya. Pengelolaan yang tepat seakan keberadaan MEP jadi
pengalaman edukatif pada pengunjung, seakan ada peluang ekonomi bagi masyarakat
sekitar tanpa memicu konflik
Caranya bisa dengan menjual daya tari MEP
sebagai bagian ekowisata. Bisa dengan paket liburan pengamatan jalur satwa liar
dan paket wisata edukatif yang kini sedang tren. Pendekatan yang seakan membuat
keunikan satwa dan habitat tetap terjaga serta masyarakat memperoleh manfaat
ekonomi. Kini hutan terjaga, MEP bisa hidup bebas di alam dan menjaga harmoni
dengan manusia.
REFERENSI
TULISAN
Amir, R., &
Saputra, F. (2021). Introduced populations of long-tailed macaques (Macaca
fascicularis) in Bonerate and Kalao, Selayar Islands, South Sulawesi:
Conflicts and ecological impact. Journal of Primatology Studies.
Handoko, D., et
al. (2019). Human and long-tailed macaque conflict in Central Java, Indonesia.
Journal of Wildlife Research.
Nekaris, K. A.
I., et al. (2016). Changes in the primate trade in Indonesian wildlife markets
over a 25-year period: Fewer apes and langurs, more macaques, and slow lorises.
American Journal of Primatology.
Prasetyo, B.,
et al. (2018). Gangguan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan
lutung (Trachypithecus auratus) di Hutan Blok Argasari, Kabupaten Kuningan,
Jawa Barat. Jurnal Primata Indonesia.
Sutanto, A.,
& Prasetyo, B. (2020). An overview of international trade of Macaca
fascicularis from Indonesia based on the CITES trade database. Biodiversitas,
21(5), 2110–2120.
Wijaya, T.,
& Hidayat, R. (2024). Long-tailed macaques (Macaca fascicularis) coexistence
with settlements in the Nyaru Menteng Arboretum Area, Central Kalimantan.
Indonesian Journal of Wildlife Conservation.
.png)
.png)
.png)
.png)
.png)
.png)

0 komentar:
Post a Comment