Monday, September 15, 2025

Monyet Ekor Panjang di Aceh, Ketika Hutan dan Manusia Bertemu

Setiap melintas di jalan berliku di pegunungan Geurute seakan disuguhi panorama alam yang memukau. Hamparan hutan lebat berdiri gagah membelah pegunungan, sementara di bawahnya terbentang luasnya Samudra Hindia yang biru berkilau. Perpaduan yang membuat setiap perjalanan ke Pantai Barat Aceh memberikan pengalaman tak terlupakan.

Ada banyak warung-warung berdiri di puncak gunung, mengarah ke lautan luas dan jadi tempat persinggahan banyak orang sembari menikmati panorama dan menyantap kuliner. Ada satu hal yang menarik saat di persinggahan, ada banyak gerombolan Monyet Ekor Panjang yang muncul dari tepi hutan. Mereka mendekat, melompat di antara atap warung, mengintai makanan, hingga merebutnya.

Kehadiran mereka tak sekadar hiburan atau kejutan bagi pengunjung, namun tercermin cerita besar akan menyempitnya habitat. Membuat satwa liar seperti MEP harus berbagi ruang hidup dengan manusia. Sebagai satwa liar, MEP tak bisa disalahkan atas perubahan perilakunya. Justru manusia yang kerap memberikan makanan membuat MEP bergantung banyak pada uluran manusia dibandingkan mencari makanan dari habitatnya.

Habitat hutan makin menyempit membuat MEP kehilangan sumber makanan alami.  Berbagai buah-buah hutan, pucuk daun, dan biji-bijian makin sulit ditemukan. Mau tak mau, para satwa liar melihat opsi yang masuk akal yaitu pergi ke sejumlah sumber makanan dari perkebunan, pekarangan hingga pinggiran jalan raya. Pegunungan Geurute salah satunya, pola lanskap yang memudahkan monyet dan manusia bertemu membuat MEP mencari sumber makanan di tempat lokasi manusia berkumpul.

Di Aceh ada banyak satwa liar khususnya MEP bertemu dengan manusia dan polanya serupa dengan Pegunungan Geurute. Ada di jalan pegunungan lintas Saree, Nol Kilometer Sabang, Pemandian Mata ie, hingga Hutan Mangrove di Langsa. Polanya hampir sama, ada banyak aktivitas manusia yang begitu ramai dan bersinggungan dengan MEP. Satwa mendekat karena terbiasa diberi makanan, manusia awalnya menjadikannya tontonan yang kemudian menjadi gelisah hingga menimbulkan ancaman saat jumlah terlalu besar.

Sejumlah satwa liar punya perilaku sangat adaptif, membuat MEP makin cerdik dan agresif. Mereka sudah bisa membuka plastik, merogoh benda-benda di jok kendaraan, merusakan atap hingga bahkan melukai. Tujuannya agar diberikan makanan, makin sering interaksi dengan manusia maka konflik akan sulit terhindar. Harus ada solusi bijak yang tak hanya melindungi gangguan, tetapi memastikan MEP tetap hidup sesuai perannya di alam.

Mengenal Lebih Dekat akan MEP aka Macaca fascicularis

MEP menjadi primata paling adaptif dan mudah ditemukan di hutan Indonesia. Punya tubuh cukup ramping dengan ekor panjang khasnya. Hidup secara berkelompok dengan sistem hierarki sosial yang terbentuk dan tentu saja cerdas. Ia akan menyesuaikan hidupnya sesuai dengan lingkungannya, apakah itu di hutan, perkebunan hingga pinggiran kota yang ramai interaksi manusia.

Ada hal yang istimewa dari MEP, ia tak sebatas penghuni hutan semata tetapi perannya baik buat ekosistem. Bak sang pengendali populasi tumbuhan dengan menyebarkan biji-bijian setelah ia memakannya. MEP menjadi agen alami penyemaian hutan yang melahirkan regenerasi pohon-pohon baru, menjaga keseimbangan rantai kehidupan, dan memastikan hutan tetap lestari buat satwa lain dan bahkan untuk manusia.

Tak hanya itu saja, MEP seakan memberikan refleksi erat satwa liar dan budaya masyarakat sekitar. Sebagai contoh, di Aceh MEP kerap muncul dalam sejumlah cerita rakyat atau sebagai tontonan sehari-hari di persinggahan jalan pegunungan. Kehadiran mereka yang berinteraksi dengan manusia menunjukkan betapa satwa ini mampu hidup berdampingan dengan manusia meskipun ekosistem mereka mulai terganggu.

Meskipun begitu, kemampuan adaptif MEP ibarat pedang bermata dua. Saat hutan sekitar mulai menyempit, perlahan sumber makanan mereka berkurang drastis. Opsi yang MEP pilih hadir dari tak jauh dari tempat mereka tinggal, apakah itu kebun, warung, hingga pemukiman warga. Di sinilah potensi konflik hadir, satwa yang awalnya penjaga hutan perlahan dianggap hama dan ancaman. Seakan kita harus memahami MEP krusial pada ekosistem, tetapi kita harus memikirkan cara konflik dengan manusia tak terjadi dan bisa hidup berdampingan.

Potret Konflik Dampak Konflik Manusia dan MEP

Saat kamu pergi ke lokasi yang sudah ada invasi MEP jelas menakutkan. Tak jarang MEP punya cara mengancam dan membuat pengunjung tak tenang. Makanan ditinggal sebentar mendadak raib dibawa lari ke atas pohon. Itu baru makanan, bagaimana barang berharga yang mendadak bisa dibawa kabur hanya karena kita tak memberikan makanan.

Pemilik usaha pun juga waswas karena usahanya bisa sepi karena dianggap tidak aman dalam mengontrol laju MEP yang makin agresif. Atau orang yang trauma akan MEP yang siap menyerang. Sehingga secara tak langsung objek wisata jadi sepi, seakan kita sedang diteror sama preman berwujud satwa liar. Hewan liar pun nyawanya juga tak aman, saat ini berusaha mengambil makanan yang dilepas pengunjung di pinggir jalan berisiko tergilas. Tak jarang jasadnya tergeletak mati di pinggir jalan tanpa ada yang coba menguburkannya. Potret kelam dari hubungan rapuh antara manusia dan satwa liar.

Bagi masyarakat yang mencari nafkah dari berkebun. Saat ia singgah ke kebunnya, senyuman mendadak sirna, ada pemandangan menyakitkan yakni penjarahan. Tandan pisang, jagung muda, hingga pucuk tanaman yang baru saja tumbuh disantap gerombolan MEP. Jerih payah berbulan-bulan runtuh hanya dalam hitungan jam, meninggalkan rasa marah dan putus asa.

Populasi MEP yang meningkat pun seakan meningkatkan tensi konflik dengan manusia termasuk kerugian ekonomi. Apakah itu hasil pertanian, bahkan sampai aksi penyerangan baik dari manusia dan MEP. Di sisi manusia, luka gigitan MEP bisa berakibat serius yang menimbulkan trauma. Ada rasa cemas menyelinap acapkali terdengar riuh suara MEP dari kejauhan. Seakan pertanda serangan ke kebun atau pekarangan rumah akan segera terjadi.

Ironinya seakan mendorong masyarakat melakukan tindakan instan dalam mengusir MEP. Caranya terlihat kasar mulai dari melempari, menembaki dengan senjata angin hingga perburuan yang nyata-nyata membahayakan kelestarian mereka. Cara ini kesannya hanya efek sementara, monyet yang diusir akan sering kembali sedangkan bila ditekan dengan perburuan akan mengancam keberlangsungan spesiesnya. Padahal MEP sejatinya memiliki peran penting bagi keseimbangan ekosistem hutan.

Memahami konflik bukan sekadar soal menjaga kenyamanan manusia tetapi juga memastikan kelestarian ekosistem dengan jalan tengah yang adil bagi keduanya. Butuh pendekatan yang lebih bijak agar konflik mereda dan hutan tetap lestari. Apalagi MEP tak bisa dipandang sebagai ancaman melainkan penjaga ekosistem sekitar.

Jalan Cerdas Meredam Konflik Manusia dan MEP

Konflik antara manusia dan MEP di Aceh masih cenderung tidak meresahkan seperti sejumlah wilayah di Indonesia. Misalnya di Jawa tengah, ada gangguan MEP yang terjadi di 15 kabupaten dari rentang 2011 hingga 2019. Penyebab utama tentu saja meledaknya populasi MEP yang membuat habitat mereka tertekan. Saat itulah MEP datang ke kebun-kebun warga dengan mencuri, menyerang warga hingga menimbulkan trauma psikologi serta kerugian ekonomi.

Sedangkan di Aceh, konflik MEP masih sekadar satwa gangguan ringan. Meskipun MEP kerap muncul di kebun, jalan pegunungan hingga sejumlah objek wisata. Interaksi dengan manusia masih tergolong menimbulkan serangan agresif yang menimbulkan kerugian besar. Meskipun begitu, inilah kesempatan dini mengelola konflik sebelum menjadi masalah serius di kemudian hari.

Kita harus mengetahui permasalahan utama terlebih dahulu, di Aceh masalah utama tentu saja berkurangnya sumber makanan alami di hutan. Ini membuat MEP mencari opsi paling mudah yakni dengan meminta ke pada pengunjung dan manusia yang melintas. Untuk masalah ini, solusi terbaik tentunya bersifat jangka panjang dan holistik. Tumbuhan seperti buah-buah hutan adalah makanan yang mereka sukai sebagai pakan alami.

Satwa tentunya lebih memilih tumbuhan hutan dibandingkan mendekat ke perkebunan dan lokasi wisata. Secara tak langsung, MEP berperan dalam penyebar benih alami yang mereka makan. Membantu regenerasi tumbuhan hutan yang telah ditanam dan mendukung kelestarian ekosistem secara alami. Menanami beragam jenis tumbuhan hutan tak hanya jadi pakan utama MEP tetapi jadi rantai kehidupan hutan yang seimbang.

Ada banyak objek wisata alam di Aceh dan umumkan berada di tengah hutan. Kebiasaan pengunjung tentu saja memberikan makan kepada satwa liar yang mengubah perilaku mereka. Untuk itulah harus ada edukasi pada pengunjung, lokasi seperti di Mata ie, Nol Kilometer Sabang, Geurute, Saree, hingga Hutan Mangrove Langsa harus ada papan peringatan. Ini berupa larangan berupa denda ringan kepada pengunjung bila memberikan makanan pada satwa. Pemandu wisata juga berperan agar efektif mengubah perilaku pengunjung dan MEP jadi ramah, karena sumber makanan hal utama pemantik konflik.

Bagi petani dan pekebun pun serupa, menghalau MEP tak lagi butuh senapan angin atau jebakan yang mengancam nyawa mereka. Di sini masyarakat bisa menerapkan pagar hidup dari tanaman yang tak disukai MEP, ada juga alat pengusir menggunakan suara-suara, hingga lampu sorot otomatis ke kebun. Cara lebih humanis dan tetap menjaga populasi satwa yang kini mulai tertekan.

Opsi bagi petani juga diberikan, bila lokasi hutan ada banyak satwa liar seperti MEP. Warga bisa diajarkan menanam tumbuhan yang punya nilai tinggi tapi tak disukai oleh MEP. Apakah itu jahe, sera, kopi, sejumlah usaha lainnya seperti lebah madu hingga pemanfaatan hasil hutan non-kayu. Ini membuat petani tak perlu takut akan kebunnya diganggu oleh MEP, sekaligus tetap memperoleh penghasilan yang berkelanjutan.

Paling penting bagaimana MEP tak dipandang sebagai hawa, ia ibarat daya tarik wisata. Saat kita datang ke objek wisata, kita bisa menyaksikan mereka bermain, melompati pepohonan, atau menyantap sumber makan di habitatnya. Pengelolaan yang tepat seakan keberadaan MEP jadi pengalaman edukatif pada pengunjung, seakan ada peluang ekonomi bagi masyarakat sekitar tanpa memicu konflik

Caranya bisa dengan menjual daya tari MEP sebagai bagian ekowisata. Bisa dengan paket liburan pengamatan jalur satwa liar dan paket wisata edukatif yang kini sedang tren. Pendekatan yang seakan membuat keunikan satwa dan habitat tetap terjaga serta masyarakat memperoleh manfaat ekonomi. Kini hutan terjaga, MEP bisa hidup bebas di alam dan menjaga harmoni dengan manusia.

REFERENSI TULISAN

Amir, R., & Saputra, F. (2021). Introduced populations of long-tailed macaques (Macaca fascicularis) in Bonerate and Kalao, Selayar Islands, South Sulawesi: Conflicts and ecological impact. Journal of Primatology Studies.

Handoko, D., et al. (2019). Human and long-tailed macaque conflict in Central Java, Indonesia. Journal of Wildlife Research.

Nekaris, K. A. I., et al. (2016). Changes in the primate trade in Indonesian wildlife markets over a 25-year period: Fewer apes and langurs, more macaques, and slow lorises. American Journal of Primatology.

Prasetyo, B., et al. (2018). Gangguan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan lutung (Trachypithecus auratus) di Hutan Blok Argasari, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Jurnal Primata Indonesia.

Sutanto, A., & Prasetyo, B. (2020). An overview of international trade of Macaca fascicularis from Indonesia based on the CITES trade database. Biodiversitas, 21(5), 2110–2120.

Wijaya, T., & Hidayat, R. (2024). Long-tailed macaques (Macaca fascicularis) coexistence with settlements in the Nyaru Menteng Arboretum Area, Central Kalimantan. Indonesian Journal of Wildlife Conservation.


Share:

0 komentar:

Post a Comment

Kenalan Blogger

My photo
Blogger & Part Time Writer EDM Observer