Friday, September 12, 2025

Menenun Jalan, Menutur Budaya: Aceh dalam Bingkai Transportasi

Ketika terlintas kata transportasi, acapkali pikiran kita terbayangkan akan sebuah ruang singgah, tempat kita menunggu lalu bergerak ke tujuan. Pikiran itu seakan bagaimana bisa segera sampai ke tujuan agar bisa melepas lelah dan bertemu dengan orang tercinta. Tapi dari setiap perjalanan bukan hanya urusan jarak, ini bak ruang yang mampu memantulkan identitas sebuah daerah. Namun kini transportasi mencoba memberikan pandangan baru pada panggung kehidupan, ruang di mana sebuah daerah tercermin dan menggambarkan identitas budaya buat siapa yang ada di sana.

Hingga kini, ruang-ruang transportasi di kota kita masih tampil seadanya, ia hanya sekadar pemberhentian jiwa. Halte yang bisa disinggahi hanya sebatas menunggu bis tiba, terminal hanya ruang singgah saat klakson kendaraan memanggil masuk ke dalam, pelabuhan dan stasiun hanya persimpangan melangkah sembari menunggu antrean panjang nan melelahkan. Belum ada rasa yang hadir, belum ada setiap kisah saat detak jarum jam waktu berangkat tiba. Menunggu memang membosankan, kini bagaimana menghapus bosan itu.

Saya seakan ingat dalam sejumlah film dari Eropa Timur yang dingin dan beku, dalam Film Box Office Hollywood digambarkan dengan warna kelam, suram, dan penuh bayangan. Namun di balik segala citra dingin yang mereka ciptakan ada satu sisi yang sering ingat dalam bayangan saya yaitu moda transportasi mereka: stasiun metro. Kota besar seperti Moskow punya stasiun metro yang bukan sekedar tempat menunggu kereta tiba. Ia dibangun megah dengan latar belakang monumen budaya, ada pilar marmer menjulang, lukisan serta relief menggambarkan kisah raya tempo dulu hingga lampu gantung kristal gemerlap yang membuat ruangan menjadi lebih hidup.

Tentunya kala itu aura sosialisme begitu kentara, bak istana bawah tanah yang menyimpan rasa aman dan nyaman. Soviet dan negara Eropa Timur lainnya sadar ada banyak ancaman mengintai terutama saat perang dingin dulu. Stasiun metro diciptakan sebagai bungker bawah tanah andai saja perang nuklir bisa pecah dan lokasi ini juga menyimpan logistik dan persenjataan sehingga punya kedalaman ekstra. Artinya para insinyur sadar bahwa moda transportasi bisa jadi sarana mitigasi di situasi genting. Sebuah pembelajaran berharga yang bisa jadikan cermin dalam membangun sistem transportasi tak hanya efisien dalam memobilisasi manusia tapi memberi rasa aman dan menuturkan kisah budaya pada dunia.

Seandainya stasiun metro di jantung Kota Moskow dipoles bak istana dalam perut bumi, Aceh pun dapat menata ruang-ruang perjalanannya dengan pesonanya sendiri. Bukan marmer yang berkilau atau kristal yang penuh kerlap, melainkan ukiran leluhur yang menyimpan doa, motif-motif mengisahkan alam dan ragam hiasan yang penuh makna. Biarkan saja tiap halte, terminal, pelabuhan, dan stasiun menjelma tak hanya sebagai titik singgah. Ia menjelma jadi pintu pertama dalam menyambut jiwa dan jendela mengenalkan adat dan budaya Aceh dengan segala keunikannya kepada siapa saja yang pergi ke sana.

Kearifan Lokal dalam Bingkai Ruang Transportasi Aceh

Mengintegrasikan kearifan lokal Aceh dalam wajah transportasi publik bak ibarat menenun kembali benang-benang sejarah dalam wujud kain masa kini. Tiap ukiran, motif, dan falsafah leluhur bukan sebatas hiasan. Ada bahasa sunyi yang seakan menyampaikan kisah Aceh tempo dulu. Bayangkan saja halte yang berdiri dengan dinding penuh motif Awan Berarak, terminal yang setiap ukiran langit-langitnya penuh tenunan Ulen-Ulen, dan pelabuhan yang pintu gerbang terhias akan ukiran Pucuk Rebung. Di sini semuanya bukan sebatas ruang singgah, ia adalah panggung budaya yang menorehkan kisah dari tiap ukiran sejarah. Perjalanan tak hanya sebatas lokasi berpindah tempat, serasa menapaki jelajah sejarah akan beragam suku-suku di Aceh. Merasakan denyut tradisi leluhur di tengah derasnya arus modernitas.

Ini seakan membawa pada kesempatan berharga saya di tahun 2017, saat itu kami punya semacam forum menulis yang ada di Kota Banda Aceh, kemudian ini jadi cikal-bakal FAMe (Forum Aceh Menulis). Ide besar paling awal tentu saja bisa membuat buku bersama-sama yang dimulai dari sekitar. Lokasi kelas belajar yang kala itu dilaksanakan di Anjungan Kabupaten Aceh Singkil di Kompleks Taman Budaya Pekan Kebudayaan Aceh (PKA). Ini seakan menginspirasi, ada 22 Kabupaten/Kota lainnya yang punya rumah anjungan serupa. Setiap daerah punya keunikan dari material, ukiran hingga ragam hias yang menyimpan kisah dan identitas budayanya masing-masing. Kami ditantang dan diberikan tenggat waktu selama dua minggu untuk menyelesaikan tulisan dan observasi menjadi tulisan yang bernilai tinggi.

Ide inilah yang kemudian membisikan pikiran penulis bahwa ruang sejarah tak hanya sebatas terkunci pada rumah adat semata, melainkan iya bak ibarat nafas dari tiap sudut daerah melalui moda transportasi. Membayangkan halte yang berdiri dengan hiasan motif daerah, terminal yang berdenyut bak lembar kita budaya, atau stasiun yang menyimpan ukiran seakan iya bergerak bersama roda kereta atau membelah lautan. Tiap perjalanan tak hanya sebatas menempuh jarak, ia seperti menapaki lorong waktu yang menyatukan masa lalu dan denyut mobilitas masa kini.

Pada tiap ukiran seakan ia hidup di ruang publik, ibarat sebaris kalimat panjang dari sejarah budaya. Pada motif pada rumah tradisional Aceh salah satunya Aceh Pidie terinspirasi dari alam (awan, pucuk rebung, bunga, dan sulur dedaunan) dipadukan dengan pola geometris. Ragam motif ini bisa diterapkan pada sejumlah ruang publik seperti halte, terminal, stasiun, hingga pelabuhan. Pada tiap ukiran seakan ia hidup di ruang publik, ibarat sebaris kalimat dari sejarah panjang akan budaya Aceh.

Ia tak hanya terpahat di bagian kayu atau berwujud cat, melainkan punya makna mendalam yang bisa dilihat, dibaca, dan direnungi bagi siapa saja yang singgah. Halte yang hadir dengan motif Awan Berarak seakan menghadirkan nuansa teduh, seakan-akan langit mengikuti perjalanan kita hingga ke tujuan. Bahkan motif awan berarak menggambarkan masyarakat modern yang dinamis tanpa henti. Menjelma jadi bahasa visual lintas zaman, menyatukan jejak leluhur dan mobilitas masa kini

Hadir pula bentangan ulen-ulen yang seakan menuturkan kisah bahwa kita ada tamu terhormat yang ditunggu. Motif kursi-kursi bus berbalut motif kerawang seakan kita duduk bukan hanya berpindah jarak, tapi bersandar pada doa leluhur. Tak ketinggalan pula pelabuhan penyeberangan hadir dengan hiasan Pucuk Rebung, seolah-olah melambangkan harapan akan kehidupan baru. Lebih dari itu, wajah transportasi selain melambangkan kearifan lokal, ia bak penanda bahwa kita sedang berada di Aceh.

Desain transportasi publik yang mengadopsikan kearifan lokal ibarat menghadirkan ruang belajar dan kelas budaya. Di sana anak muda seakan belajar akan akar dirinya tanpa buku sejarah, tapi semua datang dari visual. Sedangkan para wisatawan bisa merasakan keramahan Aceh dari motif tanpa suara tapi bermakna. Seakan pelabuhan tak sebatas gerbang keluar masuk kapal, ia bak pintu sejarah, Lalu terminal bukan simpul perjalanan, tapi lembaran pameran untuk menunjukkan siapa kita. Begitulah transportasi impian bila diwujudkan, ia cerminan budaya yang menuntun tiap langkah, menyapa penuh keindahan, dan menjaga warisan leluhur tetap hidup di tiap perjalanan kita.

Menenun Identitas Lokal dalam Roda Transportasi

Aceh bangsa yang kaya sejarah dan budaya, kini anak muda coba kembali mewujudkan misi besar ini. Mewujudkan hal besar itu bukan isapan jempol belaka, ada banyak tangan-tangan yang siap bergandengan dari yang memegang tampuk kuasa hingga yang berkarya, dari pemimpin hingga seniman yang setia menatah motif indah di kayu dan kanvas. Semua itu bermula dari hal sederhana, sarana prasarana publik. Bayangkan saat halte di pinggir kota, tiap tiangnya terbalut dengan motif Awan Berarak yang punya nuansa teduh dan atapnya berhiaskan Pucuk Rebung atau bahkan bangkunya penuh dengan motif Kerawang Gayo. Penumpang akan senang meskipun waktunya tersita lama sembari menunggu bus tiba, ia sudah dapat satu hal: pengalaman masa lalu sejarah bangsa.

Meloncat jauh ke tempat lain, di utara Aceh, saat ada di stasiun kereta api. Ia hadir dengan segala macam relief sejarah Aceh. Kisah heroik Cut Nyak Dhien sangat mengusir penjajah Belanda dan beragam kisa perlawanan Aceh yang terpahat indah dengan pola geometris khas ala mural. Semuanya berpadu dengan motif ma ini lo (matahari) atau meuracu sebagai penanda harapan dan penunjuk arah. Jalur penyebrangan didesain  dengan ukiran Pucuk Rebung atau motif Mesikhat Alas, seakan penumpang masuk ke dalam pintu sejarah. Serta beragam kerlap-kerlip lampu pelabuhan dirancang dengan menyerupai sulaman Kasab Aneuk Jamee, seakan ia berkilau namun sarat makna.

Namun dari semua itu, semua lahir tak secara kebetulan. Ada peran sentral pemerintah dalam penggagas arah serta memberikan dukungan penuh ada kebijakan tersebut bisa benar-benar terwujud. Para anak muda yang datang dari latar belakang perancang ruang hanya bisa menorehkan visi dalam mengolah bahan modern menjadi karya seni penuh tradisi. Lalu para seniman lokal dan desainer grafis, menafsirkan ulang motif leluhur agar tetap segar dan akrab di mata generasi muda. Sedangkan kita selaku masyarakat, punya andil menjaga makna dari setiap motif di daerah asal tetap hidup, menjadi roh yang menghidupkan tiap ukiran-ukiran itu.

Segala wujud kolaborasi itu seakan mimpi itu bisa segera hadir, menunggu transformasi halte bukan lagi sekedar ruang menunggu, terminal bukan lagi suara riuh penuh klakson, stasiun bukan hanya persimpangan rel, dan pelabuhan bukan hanya gerbang kapal. Semuanya menjelma jadi ruang singgah yang bercerita akan galeri budaya tanpa harus ke museum setempat. Ia bak etalase budaya yang memperkenalkan keragaman Aceh kepada masyarakat luas maupun wisatawan. Menyapa dengan keindahan, menuntun dengan segala kearifan, dan tentu saja menjaga warisan leluhur tetap hidup dari setiap perjalanan.

Menata Ruang Pertemuan di Simpul Perjalanan

Saat pengalaman penulis dalam menceritakan beragam rumah adat Aceh yang ada di Anjungan PKA. Ada satu hal yang menjadi pengamatan khusus, masyarakat Aceh sejak dulu sangat suka berkumpul bersama (due pakat). Ini tercermin dari wujud rumah adat yang hampir selalu menghadirkan ruang luas di serambi depan (seuramoe keu), tempat orang-orang duduk melingkar, berbincang, hingga bermusyawarah. Di sanalah tawa, kisah, dan segala keputusan penting lahir. Seakan kayu-kayu yang menjadi tiang penopang ikut mendengarkan dan ukiran di dinding menjadi saksi perjalanan bersama.

Kini di era modern, hal seperti ini seakan mulai memudar, masyarakat seakan menjadi individualis, sibuk dengan gawai di tangan dan tenggelamnya dalam dunianya masing-masing. Tak ada tegur sapa lagi, hanya tertawa menapai gawai ponselnya, tak ada suara hangat khas masyarakat dulu. Namun bayangkan bila halte, terminal, stasiun hingga pelabuhan dirancang dengan suasana khas rumah adat. Tak ada lagi berjajar kaku, melainkan lingkaran kecil tempat bisa orang saling menatap, berbagi cerita, dan kembali merasakan denyut kebersamaan.

Di sanalah kearifan lokal Aceh kembali berwarna dan hidup. Motif-motif bukan sebatas hiasan di dinding saja, tapi ia bak latar perjumpaan, memanggil orang-orang untuk duduk lebih lama, bercakap penuh rasa hangat. Ruang tunggu pun menjelma bukan sekedar menunggu kedatangan kendaraan, ia bak serambi sosial nan versi modern yang siap jadi riuh napas di tengah hiruk pikuk zaman kini yang melelahkan.

Saya mencoba berimajinasi di sini, bayangkan saja di sudut halte ada kursi melingkar khas dengan ukiran Pucuk Rebung, ada sekelompok pelajar berdiskusi ringan tentang tugas sekolah sembari menunggu bus sore. Di sisi lainnya, tepatnya di terminal terselip ruangan kecil yang punya dinding bermotif awan berarak, ada banyak pedagang melepas lelah bekerja sehari sembari berkabar, bercanda sembari kembali menyapa hiruk-pikuk pasar. Sementara di stasiun, bangku kayu panjang berbalut dengan Kerawang Gayo menampung para penumpang sembari menunggu kereta. Ada ibu-ibu menimang anaknya, bapak-bapak bercakap santai, hingga para musafir bertukar kisah. Semuanya larut dalam kebersamaan nan hangat. Transportasi tak hanya perjalanan, ia serambi kebersamaan yang hidup di tengah kini.

Kearifan Bencana dalam Desain Bangunan Transportasi

Sejak masa leluhur kita dulu, tanah air kita akrab dengan segala macam ujian alam, apakah itu gempa, banjir hingga gelombang besar. Ia menyapa silih berganti dan nenek moyang kita mampu bertahan melewati lintas zaman, semuanya berkat kearifan lokal. Hal paling mencolok itu hadir dari warisan arsitektur rumah adat di masing-masing wilayah. Lihat bagaimana rumah-rumah leluhur kita dibangun, ia berdiri di atas tiang yang menjulang, lantai yang ditinggikan hingga ruang bawah rumah. Semuanya menyimpan makna dan pesan buat penerusnya akan mara bahaya yang akan datang kelak. Seakan-akan tiang ingin berbisik: hidup harus senantiasa siaga, budaya harus terus belajar dari anomali alam.

Kearifan yang seakan terpatri dalam rumah adat bisa kita hadirkan dari sarana prasarana umum. Bayangkan itu hadir di halte yang tak hanya melindungi dari derasnya hujan dan teriknya matahari siang, ia seakan menuntun kita ke jalur cepat evakuasi saat gempa bumi mengguncang. Lalu terminal hadir sebagai zona perlindungan, ia bukan sebatas persimpangan pemberangkatan bisa tapi ibarat titik kumpul untuk berlindung saat bencana tiba. Bahkan stasiun jadi simbol keamanan saat bencana tiba, seakan kita bisa mengadopsikan apa yang Uni Soviet lakukan beberapa dekade silam saat bencana perang nuklir bisa kapan saja pecah. Terakhir saat pelabuhan tak sebatas gerbang kapal, ia benteng darurat kala laut bergejolak yang membuat penumpang aman saat laut sedang melempar amarah besarnya.

Di sini sarana prasarana transportasi bisa berevolusi menjadi ruang siaga. Menjadi ruang akan galeri perjalanan sarat identitas budaya dan kesadaran akan mitigasi bencana. Aceh bahkan jadi percontohan buat daerah lainnya dalam bagaimana mobilitas manusia dan mitigasi bencana jadi satu paket lengkap. Bak penumpang yang menunggu kehadiran kereta, setiap ruang menghadirkan pesan agar manusia selalu siap menghadapi hal tak terduga. Sedangkan ukiran indah di dinding rumah adat yang di sana mengandung beragam makna saat diselami maknanya.

Transportasi sebagai Panggung Perkenalan Budaya Aceh

Banyak kota dan negara maju dinilai sebagaimana ia menata sistem transportasi sebaik mungkin. Bagi saya, transportasi massal ibarat denyut nadi mobilitas bangsa. Ia juga menjamin kenyamanan dan keamanan penumpang hingga sampai tujuan. Di Eropa Timur ada Metro Moskow yang berdiri anggun bak istana dongeng hingga masuk jauh dalam perut bumi. Ada Jepang dengan stasiun kereta mereka yang memadukan nilai harmoni dan seni, atau Singapura melalui Bandara Changi sebagai gerbang udara dunia yang kaya akan taman botani. Semuanya membuktikan bahwa ruang transportasi lebih sekedar dari persinggahan, ia bak sebuah etalase budaya dan citra sebuah daerah serta bangsa.

Aceh punya kesempatan menata ulang sistem transportasinya, selama ini sudah cukup baik tinggal memadukan nuansa kearifan lokal di dalamnya. Segala hal yang penulis bayangkan dari motif awak berarak di halte bus, terminal dengan nuansa langit-langit penuh tenunan ulen-ulen, pelabuhan dengan hiasan khas pucuk rebung, hingga stasiun dengan nuansa kerawang khas Gayo memberikan nuansa bersahaja.

Semuanya bisa menyesuaikan seperti ciri khas masing-masing daerah, ini seakan memberikan nilai unik tiap daerah. Saat kita kesulitan menemukan rumah adat khas daerah di Aceh, moda transportasi di sana seakan menggambarkan itu semua. Siapa saja yang singgah ke wilayah Aceh, ia akan merasakan sambutan berbeda, ada beragam motif di setiap ruang tunggu di moda transportasi yang kelak jadi panggung promosi budaya tanpa harus menunggu pagelaran budaya Aceh empat tahunan sekali.

Akhir yang Menyapa dan Awal yang Menuntun

Aceh punya peluang emas dalam menyulap sarana prasarana transportasi tak sebatas ruang singgah, ia bisa menjadi panggung budaya, interaksi sosial, dan mitigasi bencana. Tinggal bagaimana pemerintah , para anak bangsa kreatif nan imajinatif, serta masyarakat berani menenun kembali kearifan lokal. Semuanya bisa hadir dalam halte, stasiun, terminal, dan pelabuhan sebagai cerminan budaya. Maka di sanalah dari setiap perjalanan akan menjadi bukti Aceh tak hanya bergerak, tapi ia bercerita sejarah besarnya pada dunia melalui transportasi.


Share:

0 komentar:

Post a Comment

Kenalan Blogger

My photo
Blogger & Part Time Writer EDM Observer