Ketika terlintas kata transportasi,
acapkali pikiran kita terbayangkan akan sebuah ruang singgah, tempat kita
menunggu lalu bergerak ke tujuan. Pikiran itu seakan bagaimana bisa segera
sampai ke tujuan agar bisa melepas lelah dan bertemu dengan orang tercinta. Tapi
dari setiap perjalanan bukan hanya urusan jarak, ini bak ruang yang mampu
memantulkan identitas sebuah daerah. Namun kini transportasi mencoba memberikan
pandangan baru pada panggung kehidupan, ruang di mana sebuah daerah tercermin
dan menggambarkan identitas budaya buat siapa yang ada di sana.
Hingga kini, ruang-ruang transportasi di kota kita masih tampil seadanya, ia hanya sekadar pemberhentian jiwa. Halte yang bisa disinggahi hanya sebatas menunggu bis tiba, terminal hanya ruang singgah saat klakson kendaraan memanggil masuk ke dalam, pelabuhan dan stasiun hanya persimpangan melangkah sembari menunggu antrean panjang nan melelahkan. Belum ada rasa yang hadir, belum ada setiap kisah saat detak jarum jam waktu berangkat tiba. Menunggu memang membosankan, kini bagaimana menghapus bosan itu.
Saya seakan ingat dalam sejumlah film dari
Eropa Timur yang dingin dan beku, dalam Film Box Office Hollywood digambarkan
dengan warna kelam, suram, dan penuh bayangan. Namun di balik segala citra
dingin yang mereka ciptakan ada satu sisi yang sering ingat dalam bayangan saya
yaitu moda transportasi mereka: stasiun metro. Kota besar seperti Moskow punya
stasiun metro yang bukan sekedar tempat menunggu kereta tiba. Ia dibangun megah
dengan latar belakang monumen budaya, ada pilar marmer menjulang, lukisan serta
relief menggambarkan kisah raya tempo dulu hingga lampu gantung kristal
gemerlap yang membuat ruangan menjadi lebih hidup.
Tentunya kala itu aura sosialisme begitu kentara,
bak istana bawah tanah yang menyimpan rasa aman dan nyaman. Soviet dan negara
Eropa Timur lainnya sadar ada banyak ancaman mengintai terutama saat perang
dingin dulu. Stasiun metro diciptakan sebagai bungker bawah tanah andai saja
perang nuklir bisa pecah dan lokasi ini juga menyimpan logistik dan
persenjataan sehingga punya kedalaman ekstra. Artinya para insinyur sadar bahwa
moda transportasi bisa jadi sarana mitigasi di situasi genting. Sebuah
pembelajaran berharga yang bisa jadikan cermin dalam membangun sistem
transportasi tak hanya efisien dalam memobilisasi manusia tapi memberi rasa
aman dan menuturkan kisah budaya pada dunia.
Seandainya stasiun metro di jantung Kota
Moskow dipoles bak istana dalam perut bumi, Aceh pun dapat menata ruang-ruang
perjalanannya dengan pesonanya sendiri. Bukan marmer yang berkilau atau kristal
yang penuh kerlap, melainkan ukiran leluhur yang menyimpan doa, motif-motif
mengisahkan alam dan ragam hiasan yang penuh makna. Biarkan saja tiap halte,
terminal, pelabuhan, dan stasiun menjelma tak hanya sebagai titik singgah. Ia
menjelma jadi pintu pertama dalam menyambut jiwa dan jendela mengenalkan adat
dan budaya Aceh dengan segala keunikannya kepada siapa saja yang pergi ke sana.
Kearifan Lokal
dalam Bingkai Ruang Transportasi Aceh
Mengintegrasikan kearifan lokal Aceh dalam
wajah transportasi publik bak ibarat menenun kembali benang-benang sejarah
dalam wujud kain masa kini. Tiap ukiran, motif, dan falsafah leluhur bukan
sebatas hiasan. Ada bahasa sunyi yang seakan menyampaikan kisah Aceh tempo
dulu. Bayangkan saja halte yang berdiri dengan dinding penuh motif Awan
Berarak, terminal yang setiap ukiran langit-langitnya penuh tenunan Ulen-Ulen,
dan pelabuhan yang pintu gerbang terhias akan ukiran Pucuk Rebung. Di
sini semuanya bukan sebatas ruang singgah, ia adalah panggung budaya yang
menorehkan kisah dari tiap ukiran sejarah. Perjalanan tak hanya sebatas lokasi
berpindah tempat, serasa menapaki jelajah sejarah akan beragam suku-suku di
Aceh. Merasakan denyut tradisi leluhur di tengah derasnya arus modernitas.
Ini seakan membawa pada kesempatan berharga
saya di tahun 2017, saat itu kami punya semacam forum menulis yang ada di Kota
Banda Aceh, kemudian ini jadi cikal-bakal FAMe (Forum Aceh Menulis). Ide besar
paling awal tentu saja bisa membuat buku bersama-sama yang dimulai dari
sekitar. Lokasi kelas belajar yang kala itu dilaksanakan di Anjungan Kabupaten
Aceh Singkil di Kompleks Taman Budaya Pekan Kebudayaan Aceh (PKA). Ini seakan
menginspirasi, ada 22 Kabupaten/Kota lainnya yang punya rumah anjungan serupa.
Setiap daerah punya keunikan dari material, ukiran hingga ragam hias yang
menyimpan kisah dan identitas budayanya masing-masing. Kami ditantang dan
diberikan tenggat waktu selama dua minggu untuk menyelesaikan tulisan dan
observasi menjadi tulisan yang bernilai tinggi.
Ide inilah yang kemudian membisikan pikiran
penulis bahwa ruang sejarah tak hanya sebatas terkunci pada rumah adat semata,
melainkan iya bak ibarat nafas dari tiap sudut daerah melalui moda
transportasi. Membayangkan halte yang berdiri dengan hiasan motif daerah,
terminal yang berdenyut bak lembar kita budaya, atau stasiun yang menyimpan
ukiran seakan iya bergerak bersama roda kereta atau membelah lautan. Tiap
perjalanan tak hanya sebatas menempuh jarak, ia seperti menapaki lorong waktu
yang menyatukan masa lalu dan denyut mobilitas masa kini.
Pada tiap ukiran seakan ia hidup di ruang
publik, ibarat sebaris kalimat panjang dari sejarah budaya. Pada motif pada rumah tradisional Aceh salah satunya Aceh Pidie
terinspirasi dari alam (awan, pucuk rebung, bunga, dan sulur dedaunan)
dipadukan dengan pola geometris. Ragam motif ini bisa diterapkan pada sejumlah
ruang publik seperti halte, terminal, stasiun, hingga pelabuhan. Pada tiap
ukiran seakan ia hidup di ruang publik, ibarat sebaris kalimat dari sejarah
panjang akan budaya Aceh.
Ia tak hanya terpahat di bagian kayu atau
berwujud cat, melainkan punya makna mendalam yang bisa dilihat, dibaca, dan
direnungi bagi siapa saja yang singgah. Halte yang hadir dengan motif Awan
Berarak seakan menghadirkan nuansa teduh, seakan-akan langit mengikuti
perjalanan kita hingga ke tujuan. Bahkan motif awan berarak menggambarkan
masyarakat modern yang dinamis tanpa henti. Menjelma jadi bahasa visual lintas
zaman, menyatukan jejak leluhur dan mobilitas masa kini
Hadir pula bentangan ulen-ulen yang seakan
menuturkan kisah bahwa kita ada tamu terhormat yang ditunggu. Motif kursi-kursi
bus berbalut motif kerawang seakan kita duduk bukan hanya berpindah jarak, tapi
bersandar pada doa leluhur. Tak ketinggalan pula pelabuhan penyeberangan hadir
dengan hiasan Pucuk Rebung, seolah-olah melambangkan harapan akan
kehidupan baru. Lebih dari itu, wajah transportasi selain melambangkan kearifan
lokal, ia bak penanda bahwa kita sedang berada di Aceh.
Desain transportasi publik yang mengadopsikan
kearifan lokal ibarat menghadirkan ruang belajar dan kelas budaya. Di sana anak
muda seakan belajar akan akar dirinya tanpa buku sejarah, tapi semua datang
dari visual. Sedangkan para wisatawan bisa merasakan keramahan Aceh dari motif
tanpa suara tapi bermakna. Seakan pelabuhan tak sebatas gerbang keluar masuk
kapal, ia bak pintu sejarah, Lalu terminal bukan simpul perjalanan, tapi
lembaran pameran untuk menunjukkan siapa kita. Begitulah transportasi impian bila
diwujudkan, ia cerminan budaya yang menuntun tiap langkah, menyapa penuh
keindahan, dan menjaga warisan leluhur tetap hidup di tiap perjalanan kita.
Menenun
Identitas Lokal dalam Roda Transportasi
Aceh bangsa yang kaya sejarah dan budaya, kini
anak muda coba kembali mewujudkan misi besar ini. Mewujudkan hal besar itu
bukan isapan jempol belaka, ada banyak tangan-tangan yang siap bergandengan
dari yang memegang tampuk kuasa hingga yang berkarya, dari pemimpin hingga
seniman yang setia menatah motif indah di kayu dan kanvas. Semua itu bermula
dari hal sederhana, sarana prasarana publik. Bayangkan saat halte di pinggir
kota, tiap tiangnya terbalut dengan motif Awan Berarak yang punya nuansa
teduh dan atapnya berhiaskan Pucuk Rebung atau bahkan bangkunya penuh
dengan motif Kerawang Gayo. Penumpang akan senang meskipun waktunya
tersita lama sembari menunggu bus tiba, ia sudah dapat satu hal: pengalaman
masa lalu sejarah bangsa.
Meloncat jauh ke tempat lain, di utara Aceh,
saat ada di stasiun kereta api. Ia hadir dengan segala macam relief sejarah
Aceh. Kisah heroik Cut Nyak Dhien sangat mengusir penjajah Belanda dan beragam
kisa perlawanan Aceh yang terpahat indah dengan pola geometris khas ala mural.
Semuanya berpadu dengan motif ma ini lo (matahari) atau meuracu sebagai
penanda harapan dan penunjuk arah. Jalur penyebrangan didesain dengan ukiran Pucuk Rebung atau motif Mesikhat
Alas, seakan penumpang masuk ke dalam pintu sejarah. Serta beragam
kerlap-kerlip lampu pelabuhan dirancang dengan menyerupai sulaman Kasab Aneuk
Jamee, seakan ia berkilau namun sarat makna.
Namun dari semua itu, semua lahir tak secara
kebetulan. Ada peran sentral pemerintah dalam penggagas arah serta memberikan
dukungan penuh ada kebijakan tersebut bisa benar-benar terwujud. Para anak muda
yang datang dari latar belakang perancang ruang hanya bisa menorehkan visi
dalam mengolah bahan modern menjadi karya seni penuh tradisi. Lalu para seniman
lokal dan desainer grafis, menafsirkan ulang motif leluhur agar tetap segar dan
akrab di mata generasi muda. Sedangkan kita selaku masyarakat, punya andil
menjaga makna dari setiap motif di daerah asal tetap hidup, menjadi roh yang
menghidupkan tiap ukiran-ukiran itu.
Segala wujud kolaborasi itu seakan mimpi itu
bisa segera hadir, menunggu transformasi halte bukan lagi sekedar ruang
menunggu, terminal bukan lagi suara riuh penuh klakson, stasiun bukan hanya
persimpangan rel, dan pelabuhan bukan hanya gerbang kapal. Semuanya menjelma
jadi ruang singgah yang bercerita akan galeri budaya tanpa harus ke museum
setempat. Ia bak etalase budaya yang memperkenalkan keragaman Aceh kepada
masyarakat luas maupun wisatawan. Menyapa dengan keindahan, menuntun dengan
segala kearifan, dan tentu saja menjaga warisan leluhur tetap hidup dari setiap
perjalanan.
Menata Ruang
Pertemuan di Simpul Perjalanan
Saat pengalaman penulis dalam menceritakan
beragam rumah adat Aceh yang ada di Anjungan PKA. Ada satu hal yang menjadi
pengamatan khusus, masyarakat Aceh sejak dulu sangat suka berkumpul bersama (due
pakat). Ini tercermin dari wujud rumah adat yang hampir selalu menghadirkan
ruang luas di serambi depan (seuramoe keu), tempat orang-orang duduk
melingkar, berbincang, hingga bermusyawarah. Di sanalah tawa, kisah, dan segala
keputusan penting lahir. Seakan kayu-kayu yang menjadi tiang penopang ikut
mendengarkan dan ukiran di dinding menjadi saksi perjalanan bersama.
Kini di era modern, hal seperti ini seakan
mulai memudar, masyarakat seakan menjadi individualis, sibuk dengan gawai di
tangan dan tenggelamnya dalam dunianya masing-masing. Tak ada tegur sapa lagi,
hanya tertawa menapai gawai ponselnya, tak ada suara hangat khas masyarakat
dulu. Namun bayangkan bila halte, terminal, stasiun hingga pelabuhan dirancang
dengan suasana khas rumah adat. Tak ada lagi berjajar kaku, melainkan lingkaran
kecil tempat bisa orang saling menatap, berbagi cerita, dan kembali merasakan denyut
kebersamaan.
Di sanalah kearifan lokal Aceh kembali
berwarna dan hidup. Motif-motif bukan sebatas hiasan di dinding saja, tapi ia
bak latar perjumpaan, memanggil orang-orang untuk duduk lebih lama, bercakap
penuh rasa hangat. Ruang tunggu pun menjelma bukan sekedar menunggu kedatangan
kendaraan, ia bak serambi sosial nan versi modern yang siap jadi riuh napas di
tengah hiruk pikuk zaman kini yang melelahkan.
Saya mencoba berimajinasi di sini, bayangkan
saja di sudut halte ada kursi melingkar khas dengan ukiran Pucuk Rebung,
ada sekelompok pelajar berdiskusi ringan tentang tugas sekolah sembari menunggu
bus sore. Di sisi lainnya, tepatnya di terminal terselip ruangan kecil yang
punya dinding bermotif awan berarak, ada banyak pedagang melepas lelah bekerja
sehari sembari berkabar, bercanda sembari kembali menyapa hiruk-pikuk pasar.
Sementara di stasiun, bangku kayu panjang berbalut dengan Kerawang Gayo
menampung para penumpang sembari menunggu kereta. Ada ibu-ibu menimang anaknya,
bapak-bapak bercakap santai, hingga para musafir bertukar kisah. Semuanya larut
dalam kebersamaan nan hangat. Transportasi tak hanya perjalanan, ia serambi
kebersamaan yang hidup di tengah kini.
Kearifan
Bencana dalam Desain Bangunan Transportasi
Sejak masa leluhur kita dulu, tanah air kita
akrab dengan segala macam ujian alam, apakah itu gempa, banjir hingga gelombang
besar. Ia menyapa silih berganti dan nenek moyang kita mampu bertahan melewati
lintas zaman, semuanya berkat kearifan lokal. Hal paling mencolok itu hadir
dari warisan arsitektur rumah adat di masing-masing wilayah. Lihat bagaimana
rumah-rumah leluhur kita dibangun, ia berdiri di atas tiang yang menjulang,
lantai yang ditinggikan hingga ruang bawah rumah. Semuanya menyimpan makna dan pesan
buat penerusnya akan mara bahaya yang akan datang kelak. Seakan-akan tiang
ingin berbisik: hidup harus senantiasa siaga, budaya harus terus belajar dari
anomali alam.
Kearifan yang seakan terpatri dalam rumah adat
bisa kita hadirkan dari sarana prasarana umum. Bayangkan itu hadir di halte
yang tak hanya melindungi dari derasnya hujan dan teriknya matahari siang, ia
seakan menuntun kita ke jalur cepat evakuasi saat gempa bumi mengguncang. Lalu
terminal hadir sebagai zona perlindungan, ia bukan sebatas persimpangan
pemberangkatan bisa tapi ibarat titik kumpul untuk berlindung saat bencana
tiba. Bahkan stasiun jadi simbol keamanan saat bencana tiba, seakan kita bisa
mengadopsikan apa yang Uni Soviet lakukan beberapa dekade silam saat bencana
perang nuklir bisa kapan saja pecah. Terakhir saat pelabuhan tak sebatas
gerbang kapal, ia benteng darurat kala laut bergejolak yang membuat penumpang
aman saat laut sedang melempar amarah besarnya.
Di sini sarana prasarana transportasi bisa
berevolusi menjadi ruang siaga. Menjadi ruang akan galeri perjalanan sarat
identitas budaya dan kesadaran akan mitigasi bencana. Aceh bahkan jadi
percontohan buat daerah lainnya dalam bagaimana mobilitas manusia dan mitigasi
bencana jadi satu paket lengkap. Bak penumpang yang menunggu kehadiran kereta,
setiap ruang menghadirkan pesan agar manusia selalu siap menghadapi hal tak
terduga. Sedangkan ukiran indah di dinding rumah adat yang di sana mengandung
beragam makna saat diselami maknanya.
Transportasi
sebagai Panggung Perkenalan Budaya Aceh
Banyak kota dan negara maju dinilai
sebagaimana ia menata sistem transportasi sebaik mungkin. Bagi saya,
transportasi massal ibarat denyut nadi mobilitas bangsa. Ia juga menjamin
kenyamanan dan keamanan penumpang hingga sampai tujuan. Di Eropa Timur ada Metro
Moskow yang berdiri anggun bak istana dongeng hingga masuk jauh dalam perut
bumi. Ada Jepang dengan stasiun kereta mereka yang memadukan nilai harmoni dan
seni, atau Singapura melalui Bandara Changi sebagai gerbang udara dunia yang
kaya akan taman botani. Semuanya membuktikan bahwa ruang transportasi lebih
sekedar dari persinggahan, ia bak sebuah etalase budaya dan citra sebuah daerah
serta bangsa.
Aceh punya kesempatan menata ulang sistem
transportasinya, selama ini sudah cukup baik tinggal memadukan nuansa kearifan
lokal di dalamnya. Segala hal yang penulis bayangkan dari motif awak berarak di
halte bus, terminal dengan nuansa langit-langit penuh tenunan ulen-ulen,
pelabuhan dengan hiasan khas pucuk rebung, hingga stasiun dengan nuansa
kerawang khas Gayo memberikan nuansa bersahaja.
Semuanya bisa menyesuaikan seperti ciri khas
masing-masing daerah, ini seakan memberikan nilai unik tiap daerah. Saat kita
kesulitan menemukan rumah adat khas daerah di Aceh, moda transportasi di sana
seakan menggambarkan itu semua. Siapa saja yang singgah ke wilayah Aceh, ia
akan merasakan sambutan berbeda, ada beragam motif di setiap ruang tunggu di
moda transportasi yang kelak jadi panggung promosi budaya tanpa harus menunggu
pagelaran budaya Aceh empat tahunan sekali.
Akhir yang
Menyapa dan Awal yang Menuntun
Aceh punya peluang emas dalam menyulap sarana
prasarana transportasi tak sebatas ruang singgah, ia bisa menjadi panggung
budaya, interaksi sosial, dan mitigasi bencana. Tinggal bagaimana pemerintah ,
para anak bangsa kreatif nan imajinatif, serta masyarakat berani menenun
kembali kearifan lokal. Semuanya bisa hadir dalam halte, stasiun, terminal, dan
pelabuhan sebagai cerminan budaya. Maka di sanalah dari setiap perjalanan akan
menjadi bukti Aceh tak hanya bergerak, tapi ia bercerita sejarah besarnya pada
dunia melalui transportasi.
0 komentar:
Post a Comment