Monday, December 3, 2018

Memberdayakan Sampah Plastik dengan Ecobrick

Pantai, lokasi yang begitu lekat dalam hidup saya. Puluhan tahun hidup menjadi anak pesisir, badan lengket dengan pasir laut. Berlarian di pinggir pantai, bermain sepak bola pantai yang kadang buat mata kelilipan. Setelah kotor dan berkeringat, saatnya nyemplung bersama-sama di air laut.

Terombang-ambing dibawa ke sana kemari oleh pecahan gelombang. Matahari mulai ada di ujung tepi, perlahan beranjak tenggelam. Itu tanda pulang alam sebelum ibu mencari dan meneriaki kami pulang ke rumah.

Bertambah jumlah penduduk di sekitar pesisir pantai dan nilai jual pantai yang menawarkan angin seakan mempersempit lokasi bermain bola. Pantai tak selapang dulu, ia mulai padat dengan aktivitas manusia. Bak pasar malam sesaknya, pedagang datang ke sana. Animo pengunjung jadi lapang para pedagang, tumpukan sampah menimbun di setiap pojokan pantai. Bau menyengat seakan menusuk hidung andai melintas di sana. 
Kaki lincah kaki harus berhati-hati, lapangan bola pasir kami kini dipenuhi ranjau yang siap melukai kaki. Bisa saja lidi, pecahan beli, hingga kaleng karat. Makin pelit lagi masyarakat pesisir yang membuat hajatnya di tumpukan pasir. Bak kucing yang menggali tumpukan pasir untuk melepas hajatnya. Siramannya datang dari gelombang pasang pagi atau siang.

Tahun 2004, tepatnya 26 Desember jadi hari yang pilu. Tsunami dahsyat meluluh lantak desa kami. Di awali gempa yang cukup dahsyat dan air bah menerjang tanpa ampun, bak pembalasan mengotori pantai. Ulah manusia yang mencemari pantai dengan aktivitas digantikan dengan pukul balik jauh ke daratan, menyapu tanpa sisa pesisir.

Saya dan keluarga beruntung jadi orang yang selamat dalam musibah dahsyat tersebut. Terombang-ambing hingga akhirnya terselamatkan oleh  tumpukan puing-puing bangunan tinggi. Menjadi saksi bencana besar abad ini. Setelah bencana besar itu kami pun harus pindah dari desa yang dekat pesisir, pindah jauh dari bibir pantai. Trauma dan tidak layaknya lokasi tinggal seakan tak ada pilihan lain lagi untuk pindah.

Saya seakan tidak pernah lepas laut dan pantai. Menjelang tamat sekolah, saya bisa perguruan tinggi saya memilih jurusan ilmu kelautan yang ada di Kota Banda Aceh. Jurusan yang pastinya bersinggungan dengan dunia laut, dari pesisir hingga lalu dalam yang hanya bisa ditembusi sinar sonar.

Ada pelajaran mata kuliah renang dan selam, mata kuliah wajib yang menguras tenaga di tengah terik matahari. Belum lagi praktikum yang umumnya di pesisir dan laut, seakan dunia laut sangat tidak asing. Mungkin pergi ke laut dan pantai jadi rutinitas bak minum obat.

Pengalaman itu seakan membuat saya tahu banyak pantai yang ada di Aceh khususnya di daerah Banda Aceh, Aceh Besar, dan Sabang. Aktivitas yang ada di pantai umumnya sebagai lokasi wisata, tak jarang lokasi perumahan warga. Setelah bencana tsunami 15 tahun silam, aktivitas, aktivitas di pesisir kembali pulih. 
Masyarakat mulai kembali membangun rumah, lokasi wisata, dan seakan tidak pernah terjadi bencana. Otomatis dengan meningkatnya aktivitas masyarakat di pesisir ada banyak sampah yang dihasilkan. Sampah yang dihasilkan beragam, mulai dari sampah rumah tangga hingga sampah wisata. Pemerintah sudah punya segudang cara mengurangi sampah, salah satunya dengan menyediakan begitu banyak tong sampah. Semua percuma karena masih rendahnya kesadaran masyarakat.

Pantai Ulee Lheu Identik dengan Wisata Khas Pelabuhan
Aura Pantai Ulee Lheu identik sebagai lokasi wisata pantai yang menawarkan pemandangan pantai. Memperlihatkan jajaran pulau terluar tanah air, salah satunya Pulau Sabang. Di lokasi jelang petang begitu banyak pedagang yang berjualan, bak magnet yang menggoda. Melihat Pulau Sabang dari kejauhan sembari menunggu matahari tenggelam di ufuknya.

Kegiatan mata kuliah renang sering kami lakukan pada Hari Sabtu dan Minggu. Prosesnya melibatkan banyak asisten dari mahasiswa kelas. Setelah kegiatan selesai, kami punya tugas yang tak kalah penting yaitu membersihkan sampah yang tercecer di pinggir pantai.

Itu adalah pelajaran wajib kampus yakni renang untuk semester awal dan selam di semester selanjutnya. Lokasi kami latihan berada di pantai Ulee Lheu yang terkenal, saat pemanasan. Ada begitu banyak sampai yang ditemukan di sekitar lokasi. Mulai dari sampah plastik, hingga lidi tusuk, dan ampas jagung. Paling sulit terurai jelas sampah plastik. Akan tetapi lidi tusuk sangat berbahaya bila tertusuk di kaki.

Pagi harinya ada begitu banyak sampah yang tersisa, memang pedagang diharuskan membersihkan sampah hasil jualan merek, namun tetap saja yang dibiarkan. Saat kami menyelam menggunakan snorkling, ada banyak sampah yang tenggelam di dasar laut akibat ulah pengunjung.

Kegiatan sukarela itu kami lakukan sebagai wujud cinta laut dan jangan sampai laut rusak oleh sampah manusia. Kalau sudah rusak, anak cucu tidak bisa melihat kembali hamparan pantai indah. Malahan hamparan sampah yang menggunung.

Menyelamatkan Laut dari hal Terkecil
Masih segar ingatan kita akan matinya Paus Sperma di sebuah pantai di Wakatobi. Tubuhnya yang lemah, tak ada pilihan lain kecuali mencari perairan dangkal. Sebelum harus merenggang nyawa. Ada fakta yang mengejutkan, karena ikan paus tersebut menelan begitu beragam jenis sampah plastik di lambungnya.
 Related image
Total ada 5,9 kilogram yang berhasil dihimpun oleh peneliti dalam lambung Ikan Paus. Ada sebanyak 750 gram sampah plastik, plastik keras 1440 gram, botol plastik 150 gram, kantong plastik 260 gram, serpihan kayu 740 gram, sandal jepit 270 gram, karung nilon 200 gram, tali rafia 3.260 gram (lebih dari 1.000 potong).

Jumlah itu baru ditemukan pada satu hewan laut saja, mungkin ada banyak hewan laut serupa yang tubuhnya sudah teracuni sampah. Menyusul Paus Sperma malang tersebut, merenggang nyawa dari sampah laut yang tak bisa diurai organ pencernaannya. Sampah plastik sering dianggap sebagai makanan sejumlah hewan saat terpapar sinar matahari.
Posisinya yang umumnya mengambang di atas permukaan air kerap menjebak hewan malang. Mereka mengira itu kumpulan plankton atau bahkan ubur-ubur. Kita harus mencegah dan itu semua dari niat mengurangi limbah sampai ke laut.

Peugle Pasie, Cara Membersihkan Pantai Secara Sukarela
Setiap perjalanan ke sejumlah lokasi pantai, saya dan teman-teman punya program untuk membersihkan semampu kami. Mengurangi keringat sekaligus bisa mengurangi dampak sampah pesisir. Melalui program Peugleh Pasie (Bahasa Aceh) yang dalam Bahasa Indonesia artinya membersihkan pantai secara sukarela.
 
Para pecinta lingkungan yang ada di Aceh melibatkan berbagai elemen mulai dari mahasiswa, masyarakat, dan relawan punya ide unik. Berwisata sambil membersihkan pesisir pantai, sekaligus berolahraga. Kegiatan yang dilakukan secara berkelompok ini sangat membantu kerja tim dan punya banyak kenalan baru.

Kegiatan seperti ini sangat rutin dilakukan setiap bulannya, memilih berbagai pantai yang terkenal dengan jumlah pengunjungnya. Budaya masyarakat yang masih rendah akan sampah membuat mereka rela buang sampah sembarangan. Tugas memberikan sampah hanya pada pengelola saja.

Adanya kegiatan tersebut seakan mendorong masyarakat yang sedang berwisata terdorong untuk membersihkan sampah yang mereka bawa. Hari yang dipilih pun adalah akhir pekan, waktu yang paling tepat karena animo masyarakat berlibur ke tempat wisata.

Sekaligus memberikan sosialisasi bahaya sampai, sebuah sampah yang dibuang bebas di alam punya proses larut berbeda. Saya pun mencontohnya sampah organik yang paling ditemukan di pantai seperti sampah sayuran, buah kepala, lidi tusuk dan kertas. Butuh waktu larut dan hancur di dalam tanah mulai hitungan hari sampai minggu. Paling lama adalah sebulan karena ukurannya yang besar.

Beda lainnya dengan sampah anorganik, misalnya saja kantong plastik butuh waktu 12 tahun untuk terurai sedangkan botol plastik lebih dari 20 tahun. Alasannya karena kandungan polimer yang ada di dalam botol lebih kompleks dihancurkan alam.

Paling berbahaya adalah styrofoam, bahan yang paling digunakan untuk membungkus makanan (sekarang mulai dilarang). Butuh waktu lebih dari 500 tahun untuk bisa hancur sempurna di dalam alam. Artinya, sejak pertama sekali styrofoam ditemukan di tahun 1947 belum ada yang larut sempurna di dalam tanah dan air. Ayo hilangkan kebiasaan membuang sampah organik di alam.

Teknik Ecobrick yang Memanfaat Volume
Saat aksi Peugleh Pasie yang kami menggunakan kantung plastik yang berukuran sangat besar, tak jarang kantung plastik ini tidak efisien. Bisa saja pecah dan bahkan sampah yang sudah dikutip tumpah. Proses membawanya juga sulit, untuk area yang sangat luas.

Menggunakan plastik hitam besar yang mampu menampung dan menyaring sampah berukuran besar sekalipun. Kemudian sampah diangkut ke truk sampah yang membawa tumpukan plastik ke tempat penampungan akhir.

Sempat terbesit di dalam pikir saya setelah mengetahui teknologi kekinian memanfaatkan sampai jadi benda berharga. Kebanyakan sampah plastik yang paling sering lahir dari botol plastik dan kantong plastik. Minuman yang sudah habis diminum dibuang saja, menjadi barang tak bernilai.

Tak jarang para pemulung memungut tumpukan sampah tersebut untuk nantinya dijadikan bahan sintesis olahan berikutnya. Sangat jarang sampah yang menjadi barang seni yang punya nilai estetika tinggi.

Cara yang baru saya kenal adalah pengembangan Ecobrick, teknik yang bisa menjadikan barang sampah seperti botol jadi barang berharga. Sampah yang sudah dikumpulkan tidak harus berakhir di tempat penampungan sampah tapi mengubahnya jadi bernilai.

Nah.. cara pengembangnya cukup mudah, hanya dengan memasukkan tumpukan plastik seperti plastik, bungkusan permen ke dalam plastik hingga padat. Rongga botol plastik akan kuat dan bisa dimanfaatkan jadi berbagai benda. Coba dibayangkan ada banyak botol plastik, akan banyak ide yang lahir dari tumpukan botol plastik padat itu.
Image result for ecobrick
female network
Meskipun butuh usaha ekstra memasukkan tumpukan plastik ke dalam botol setelah mengutipnya di pantai. Hasilnya terbalaskan dari kerajinan tangan yang dihasilkan. Apalagi zat buang sampah menghasilkan begitu banyak karbondioksida yang tertahan di atmosfer bumi. 

Perubahan iklim salah satu efek dari banyaknya sampah yang menghasilkan karbondioksida di udara. Dalam menerapkan, teknik Ecobrick mampu mengurangi buangan sampah tadi dalam rongga botol.  Nantinya ia tertahan di dalam kungkungan botol plastik yang memiliki manfaat beragam untuk manusia.

Apa yang ingin saya buat dari Ecobrick
Melihat inovasi menarik yang bisa dilakukan dari Ecobrick, saya kepincut dan punya segudang ide yang bisa dilakukan serupa. Mungkin tak asing saat melihat botol Ecobrick menjadi bahan baku untuk furnitur, barang dekorasi hingga rakit kecil.

Ada banyak ide yang ingin saya terapkan dalam program salah satunya Ecobrick. Puluhan hingga ratusan botol tadi ingin saya ubah jadi bahan baku membangun rumah sebagai pengganti batu bata. Alasan utama yang mendasar karena daerah saya tinggal yaitu Aceh sangat rentan dengan gempa.

Tak jarang gempa renggut nyawa pemilik dari reruntuhan bangunan yang menimpa korban. Ada banyak sejarah gempa besar yang terjadi dalam 15 tahun terakhir, mulai dari skala 6 Skala Richter hingga mencapai 9 Skala Richter. Botol-botol Ecobrick nantinya akan disulap sedemikian sebagai dinding, beratnya yang lebih ringan dari batako dan batu bata akan mengurangi efek cedera akibat reruntuhan.
Related image
Sumber:spot.ph
Akan ada nilai estetika dari setiap botol Ecobrick yang berwarna-warni. Jadi setiap dinding akan mencolok dari warna tutup botol dan isi botolnya. Jadi kita tidak harus memplaster bagian rumah karena ada nilai estetika tersebut. Secara kalkulasi, biaya dari batu bata mampu ditekan dari susunan botol tersebut. Ada satu alasan mengapa rumah dari botol Ecobrick jadi sebuah pilihan, karena mampu menyerap panas saat suhu ekstrem tanpa harus penghuninya merasakan panas tersebut.

Pilihan lainnya yang ingin saya kembangkan adalah dengan membuat rak buku dari bahan-bahan Ecobrick. Ada banyak buku yang saya milik tergeletak begitu saja ada tempat yang cocok. Saya pun ingin membuat kumpulan Ecobrick dengan bentuk fleksibel yang ada di dinding kamar. Akan banyak buku yang muat dan tidak perlu lagi membeli rak buku.
Related image
ecobrick.org
Terakhir ide yang ingin saya terapkan dari bahan Ecobrick adalah menjadikan botol sebagai hiasan di meja. Ukuran dari beragam botol produk akan dihiasi dengan cat warna-warna. Buat suasana meja belajar jadi lebih hidup. 
 Related image
Pekerjaan saya lekat dengan komputer seakan mengharuskan banyak ide, ruangan setup meja desktop yang bervariasi dengan hiasan akan melahirkan ide. Tak perlu harus beli bunga buatan atau memajang barang hiasan mewah. Cukup dengan beberapa botol Ecobrick yang warna-warni. Pikiran yang buntu ide, mendadak banjir ide saat melihat warna-warni penghias meja setup desktop.

Itulah sejumlah ide yang ini saya terapkan dari masalah sampah, memberdayakan barang yang tidak berharga jadi barang bernilai seni tinggi. Ecobrick jadi pilihan terbaik dan melatih jiwa kreatif dan cinta lingkungan, sekaligus memberdayakan masyarakat pada limbah plastik.

Semoga saja postingan ini menginspirasi kita semua dan Have a Nice Day
Share:

0 komentar:

Post a Comment

ROG Phone 8

Kenalan Blogger

My photo
Blogger & Part Time Writer EDM Observer

Part of EcoBlogger Squad

Part of EcoBlogger Squad