Saturday, August 20, 2022

Menjaga Eksistensi Kelestarian Masyarakat Adat dalam Bingkai NKRI


Eksistensi masyarakat adat mulai tergerus oleh zaman, jumlahnya terus mengerucut akibat besarnya globalisasi. Perlahan eksistensinya memudar, wilayah hilang sejengkal demi sejengkal. Menyisakan kenangan yang dulunya lahan milik masyarakat adat.

 

Kasus masyarakat adat jadi perhatian khusus, karena jumlah yang cukup besar di tanah air. Permasalahan yang paling sering dihadapi tentunya ada banyak gangguan yang membuat jumlah masyarakat terus menyusut dari tahun ke tahun.

 

Masyarakat adat yang biasanya hidup di pedalaman dan jauh dari akses teknologi informasi. Kini mulai tergerus sedikit demi sedikit. Sebagai catatan, ada sekitar 70 juta Masyarakat Adat yang terbagi menjadi 2.371 komunitas adat tersebar di 31 provinsi Tanah Air.

 

Adapun sebaran Komunitas Adat terbanyak berada di Kalimantan dengan jumlah mencapai 772 Komunitas Adat dan Sulawesi sebanyak 664 Komunitas Adat. Adapun di Sumatera mencapai 392 Komunitas Adat, Bali dan Nusa Tenggara 253 Komunitas Adat, Maluku 176 Komunitas Adat, Papua 59 Komunitas Adat dan Jawa 55 Komunitas Adat.

 

Jumlah masyarakat adat yang besar dan tersebar di sejumlah wilayah ini harus dilestarikan, karena ada banyak ragam budaya, bahasa, kerajinan tangan hingga hasil alam yang mereka hasilkan. Melalui sepak terjang kita dan kepedulian pada mereka.

 

Mengenal Masyarakat Adat Lebih Jauh

Masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki sejarah asal-usul dan  menempati wilayah adat secara turun-temurun, yang memiliki kedaulatan atas tanah, kekayaan alam serta kehidupan sosial budaya yang diatur oleh Hukum Adat dan Lembaga Adat.

Masyarakat adat seperti yang kita tahu merupakan kesatuan masyarakat serta para anggota masyarakat tersebut telah secara turun temurun hidup pada suatu wilayah tertentu dan telah terikat dengan nilai-nilai budaya, perilaku dan adat istiadat wilayahnya. 

 

Sistem kehidupan masyarakat adat pun terbilang tradisional mayoritas masyarakat masih mengandalkan sumber daya alam sebagai sumber mata pencaharian utama seperti bertani, berternak, berkebun atau berladang. Sistem ini membuat mereka bisa bertahan dalam kerasnya zaman dan globalisasi sekali pun.

 

Tahun 2020 jadi bukti nyata, masa pandemi yang berlangsung hampir 2 tahun lamanya. Membuat masyarakat global yang terbiasa dengan interaksi kesusahan. Khususnya akses logistik dan ketahanan pangan.

 

Pendapatan yang bergantung dari aktivitas di luar rumah terganggu, sedangkan masyarakat adat yang hidup dengan mengandalkan alam bisa bertahan di masa krisis. Contoh nyata adalah Suku Baduy Dalam menunjang ketahanan pangan masyarakat Baduy menyimpan padi gabah kering hasil berladang di lumbung padi yang disebut sebagai leuit. 

 

Padi yang telah disimpan tidak diperjual belikan melainkan untuk cadangan sekaligus pemenuhan kebutuhan pakan masyarakatnya. Leuit sendiri  ditempatkan di sekeliling pemukiman di kawasan hutan dan tidak berada di sekitar pemukiman warga. Padi yang disimpan di sana dapat bertahan hingga mencapai 5 tahun minimal dengan kondisi baik dan layak untuk dikonsumsi oleh masyarakat Baduy.

 

Ketahanan pangan masyarakat Baduy juga didukung oleh berbagai jenis tanaman buah yang di budidayakan masyarakat Baduy sendiri yaitu rambutan, durian, duku, pisang dan koskosan. Selain itu masyarakat adat Baduy memanfaatkan sumber daya alam yang berasal dari perkebunan dan kehutanan dengan tetap mempertimbangkan aturan adat yang berlaku, seperti pemanfaatan bambu, madu, kayu. Ketahanan pangan masyarakat Baduy juga bersumber dari peternakan yang meliputi ayam, bebek, dan kambing.

 

Pengetahuan lokal yang diterapkan oleh masyarakat Baduy untuk menjaga ketahanan pangan dan kestabilan kondisi ekonomi, pandemi Covid-19 tidak menjadi ancaman yang berarti. Strategi yang mereka terapkan adalah dengan pengelolaan kebutuhan pokok berupa beras yang berasal dari ladang yang tidak diperjualbelikan melainkan digunakan sebagai lumbung pangan.

 

Warisan Penting dari Masyarakat Adat

Masyarakat adat punya segudang warisan yang sudah jadi leluhur yang terus dijaga. Unsur-unsur tersebut, antara lain identitas budaya yang sama, mencakup bahasa, spiritualitas, nilai-nilai, serta sikap dan perilaku yang membedakan kelompok sosial yang satu dengan yang lain; sistem nilai dan pengetahuan, mencakup pengetahuan tradisional yang dapat berupa pengobatan tradisional, perladangan tradisional.

 

Ada juga permainan tradisional, sekolah adat, dan pengetahuan tradisional maupun inovasi lainnya; wilayah adat (ruang hidup), meliputi tanah, hutan, laut, dan sumber daya alam (SDA) lainnya yang bukan semata-mata dilihat sebagai barang produksi (ekonomi), tetapi juga menyangkut sistem religi dan sosial-budaya; serta hukum adat dan kelembagaan adat aturan-aturan dan tata kepengurusan hidup bersama untuk mengatur dan mengurus diri sendiri sebagai suatu kelompok sosial, budaya, ekonomi, dan politik.

 

Warisan tersebut jadi cerminan dari masyarakat adat dalam menjaga peninggalan mereka pada generasi selanjutnya. Bukti itu jugalah jadi keunikan setiap warisan dari beragam masyarakat adat yang mendiami tanah air.

 

Masyarakat Adat yang Terancam Deforestasi

Kebakaran hutan dan alih fungsi lahan jadi ancaman bagi keberlangsungan ekosistem di dalam hutan. Termasuk masyarakat adat yang telah mendiami wilayah tersebut dalam waktu lama.  Ancaman ini menghasilkan perubahan kontur alam dan banyak ekosistem yang hilang di dalamnya. Selain itu juga, efek lainnya adalah aksi deforestasi kembali.

 

Adapun kerugian lain dari adanya deforestasi bagi masyarakat adat, di antaranya: Hilangnya Kebudayaan dan Identitas Masyarakat. Pemindahan pemukiman akibat deforestasi dapat mengganggu sistem budaya dan menghilangkan  situs sakral yang dimiliki masyarakat adat. Pada akhirnya, tradisi yang telah diwariskan secara turun - temurun akan lenyap dan masyarakat adat akan kehilangan identitas aslinya.

 

Hilangnya mata pencaharian bagi kelompok yang memanfaatkan sumber daya alam sebagai mata pencaharian utama, deforestasi sangat berdampak negatif bagi kelangsungan hidup masyarakat adat. Beberapa wilayah transmigrasi yang dijadikan sebagai pemukiman baru nyatanya tidak memiliki sumber daya yang memadai. Banyak kasus masyarakat kesulitan bertani dan bercocok tanam, akibat lahan baru yang tidak subur. Hal ini tentu berakibat pada ketahanan pangan yang menurun.

 

Meningkatnya risiko terjadi konflik, kasus seperti perebutan lahan dan sengketa tanah antara masyarakat adat dan pihak investor menjadi hal yang tidak terelakkan. Penggusuran paksa yang sering terjadi juga rentan menimbulkan tindakan anarkisme di wilayah adat. Tentunya, hal semacam ini akan melahirkan konflik - konflik baru yang tidak dapat dihindari ke depannya.

 

Kerusakan lingkungan disebabkan oleh hilangnya hutan yang menjadi penghasil oksigen dan menampung air di wilayah tersebut. Akibatnya, saat musim kemarau atau hujan akan rentan terjadi kekeringan dan banjir. Bencana ini tentu tidak hanya berdampak bagi pihak industri, namun juga kepada masyarakat sekitar.

 

Berbagai Pelanggaran yang Didapatkan Masyarakat Adat di Indonesia

Berdasarkan data YLBHI yang menunjukkan terjadi pelanggaran hak masyarakat adat di Indonesia tahun 2020. Terdapat 13% masyarakat  adat  menjadi  korban  pelanggaran  hak  hidup, perampasan tanah dengan persentase nilai 20% hingga 13 kasus kriminalisasi masyarakat adat dengan jumlah korban 55 orang.

 

Selain itu, ditemukan 19 kasus dalam konflik agraria dengan kategori  perampasan  tanah,  perusakan  kebun, pengusiran paksa, dibangun kebun atau pabrik secara sepihak, menentukan kawasan sepihak, dan permintaan meninggalkan lahan.

 

Tingginya pelanggaran tersebut, mengharuskan mereka punya payung hukum dalam menghadapi sengketa, konflik hingga perampasan tanah yang menjadi lokasi tempat mereka berdiam sebelumnya. Salah satunya yang paling getol adalah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).

 

Turut menjaga nilai-nilai kemanusiaan itu tidaklah milik masyarakat modern semata, sebaliknya masyarakat urban yang modern kerap mengalami kebingungan tentang nilai-nilai itu, yaitu nilai yang baik yang mampu memelihara eksistensi bersama manusia.

 

Mengenal AMAN Selaku Perisai Masyarakat Adat

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) adalah organisasi kemasyarakatan independen dengan visi untuk mewujudkan kehidupan yang adil dan sejahtera bagi semua Masyarakat Adat di Indonesia. Lembaga AMAN bekerja di tingkat lokal, nasional, dan internasional untuk mewakili dan melakukan advokasi untuk isu-isu Masyarakat Adat. Beranggota 2.373 komunitas adat di seluruh Indonesia yang berjumlah sekitar 17 juta anggota individu. Kami menempati wilayah adat kami secara turun-temurun.

Masyarakat Adat memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mempertahankan keberlanjutan kehidupan mereka sebagai komunitas adat.

AMAN dideklarasikan berdasarkan bangunan sejarah pergerakan Masyarakat Adat yang panjang di Indonesia. Tugas utama dari program yang AMAN emban cukup berat terkait dengan masyarakat adat yang jumlah cukup besar.

 

Pertama, Advokasi, Hak Asasi Manusia dan Politik dalam melindungi hak-hak Masyarakat Adat dan layanan hukum pada mereka yang sedang berkonflik.

 

Kedua, Penguatan Organisasi dan Kelembagaan, Memperkuat kapasitas manajemen dan operasional organisasi serta kapasitas anggota dan kader-kader AMAN.

 

Ketiga, Pelayanan dan Dukungan Komunitas, melakukan pemetaan Wilayah Adat; penguatan ekonomi komunitas; mengembangkan energi terbarukan, tanggap darurat bencana dan membangun koperasi

produsen Masyarakat Adat.

 

Keempat, Sosial dan Budaya, melakukan identifikasi dan pendokumentasian data tentang pengetahuan, kesenian tradisional serta kekayaan intelektual Masyarakat Adat.

 

AMAN Membagikan Cerita Bersama EcoBlogger

Jelang di hari kemerdekaan RI yang ke 77 tahun, Ecoblogger diberikan kejutan akan adanya materi terkait dengan masyarakat adat di tanah air. Pertemuan zoom meeting kali ini membahas tentang masyarakat adat dengan narasumber Kak Mina Setra dari AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara).

Awal mula slide beliau menjelaskan beragam kerajinan dan aneka tumbuhan yang dihasilkan oleh masyarakat adat. Ada banyak tumbuhan yang mungkin penulis tidak kenal dan pernah dengar namanya. Namun di sini, Mbak Mira menjelaskan secara gamblang fungsinya dalam ketahanan pangan seperti masa pandemi lalu.

 

Misalnya saja program unggulan yaitu Pulang Kampung dalam menjaga kelestarian masyarakat adat. Saat ini, kota besar ibarat kumpulan gula yang menarik semut-semut untuk berkumpul di sana. Ada banyak dari masyarakat adat yang merantau ke kota ketimbang hanya mengandalkan hutan. Sehingga kearifan lokal masyarakat hutan pun berkurang, ritual-ritual pun berkurang.

 

Salah satunya adalah dengan gerakan anak muda pulang kampung dengan memanggil anak muda dari masyarakat adat untuk kembali menjaga wilayah adatnya. Kak Mina mengatakan jika pandemi membuktikan bahwa kampung adalah tempat paling aman dan paling sejahtera karena banyaknya sumber pangan.

 

Hasil akhir, program tersebut berhasil karena banyak anak muda berhasil pulang. Alasan mereka merantau karena mereka mungkin ingin seperti orang-orang, namun di tempat asal mereka sulit akan pekerjaan. awalnya tetua mereka ragu apakah mereka serius melakukannya. Dan ternyata setelah mereka berhasil, para tetua mereka percaya dan anak-anak mudahnya pun betah tinggal di kampung mereka untuk menjaga wilayah adatnya.

 

Di program ini, mereka membangun konservasi berbasis organik melalui pertanian. Misal seperti menanam berbagai sayur mayur, buah-buahan, atau tanaman herbal. Untuk tanaman herbal, bahkan mereka membuat pertanian berbasiskan wisata. Jadi orang datang belajar bertanaman herbal sekalian berwisata. Aliasnya mereka dapat dua keuntungan dari wisata dan tanaman herbal itu sendiri.

 

Cara ini sangat baik terutama dalam menjaga ketahanan pangan dan tentunya menjadi ladang pemasukan buat anak muda berkat kemampuan dari pengembangan hasil pertanian untuk dijual ke kota. Pendapatan yang layak meskipun berasal dari kampung.

 

Refleksi dan Pembelajaran dari Masyarakat Adat

Jika kita merasa masyarakat adat itu kuno dan terisolir, maka sebenarnya kita perlu belajar banyak hal dengan mereka. Masyarakat punya prinsip berladang yang luar biasa. Mereka bisa menghasilkan panen yang melimpah tanpa bergantung dengan pupuk dan obat-obatan kimia. Masyarakat adat juga memiliki perhitungan waktu khusus untuk menanam dan menyesuaikan dengan musim.

 

Kemudian, ada salah satu kelompok masyarakat adat di sungai Utik, mereka tinggal di rumah panjang, mereka menghasilkan berbagai kerajinan tangan yang luar biasa. Mulai dari kain tenun, tas rajut dan lain-lain.

 

Selain keterikatannya dengan alam yang kuat, masyarakat adat sebenarnya adalah seniman sejati. Misalnya dalam membuat kain tenun, mereka memiliki motif yang sangat unik dan khas. Padahal mereka tidak menggambar desain terlebih dahulu dan semuanya dilakukan secara manual serta menggunakan warna-warna alam. Masyarakat bisa membuat karya-karya itu di sela-sela aktivitas berladang dan bertani.

 

Masyarakat adat memiliki komitmen yang kuat untuk menjaga alam karena mereka sangat bergantung pada alam. Alam sudah menjadi bagian hidup mereka. Karena sebagian besar kebutuhan hidup mereka dipenuhi oleh hutan dan alam.

 

Masyarakat adat juga yang sebenarnya menjadi penjaga bumi. Karena mereka tidak mengeksploitasi hutan, mereka mengambil secukupnya untuk dikonsumsi. Mereka juga memikirkan kelangsungan hidup anak cucunya kelak. Ini merupakan sebuah prinsip yang luar biasa sebenarnya, bahkan terkadang sulit dipraktikkan oleh kita yang katanya berpendidikan dan modern ini.

 

Masyarakat adat sering mengatakan bahwa hutan merupakan supermarket mereka. Karena mereka mendapatkan banyak hal dari hutan seperti halnya orang-orang kota mendapatnya semuanya di supermarket. Mulai dari daging, ikan, sayuran, buah-buahan, sampai madu semuanya tersedia di hutan. Masyarakat adat hidup tenteram dengan pangan lokal.

 

Bagi masyarakat adat, hutan merupakan rumah bagi leluhurnya. Makanya mereka menjaga betul rumah yang dianggap sakral. Dalam kosmologi masyarakat adat, bumi yang terdiri dari hutan, laut, tanah, air, udara, dan kebudayaan bukan sekadar warisan generasi sebelumnya yang perlu dijaga, bagi mereka semua itu dipinjam dari generasi yang akan datang. Maka menjaga bumi berarti menjaga kehidupan masyarakat adat.

 

Hasil dari pembelajaran masyarakat adat sangat membekas bagi saya, selama ini kita lebih peduli pada alam. Nyatanya masyarakat adat hidup di alam dan pendalaman. Menjaga alam dan melestarikan budaya leluhur mereka dari ancaman pihak asing dan kepunahan.

 

Wujud pembelajaran ini, kita bisa tahu bahwa masyarakat adat sangat berdiri pada negeri. Termasuk menjaga keberagaman sebagai bingkai NKRI. Semoga tulisan ini menginspirasi kita semua, akhir kata: Have a Nice Days.


Share:

0 komentar:

Post a Comment

Kenalan Blogger

My photo
Blogger & Part Time Writer EDM Observer

Part of EcoBlogger Squad

Part of EcoBlogger Squad