Permasalahan sampah sudah menjadi isu klasik di Kota
Bireuen. Kebiasaan masyarakat membuang sampah sembarangan sudah menjadi hal
yang tak bisa dibiarkan. Dampaknya terjadi di sejumlah sudut kota, sudut keramaian
dipenuhi dengan tumpukan sampah.
Pemandangan tak sedap mata menjadi sesuatu yang lumrah yang terjadi di sana. Selama ini sisa sampah dianggap tidak berguna dan orang lebih memilih membuangnya sembarangan atau membakarnya. Solusi yang tidak jitu dan bisa menghasilkan polusi lainnya.
Pemberitaan media lokal tentang Bireuen terkait sampah
tentunya sudah menjadi santapan sehari-hari. Mulai dari pemberitaan terkait
sampah yang menumpuk di selokan hingga aksi buang sampah sembarangan di
pinggiran jalan.
Jelas pukulan telak bagi Kabupaten Bireuen, masyarakat
mengeluh karena kondisi ini telah berlarut begitu lama. Sama hal dengan seorang
Pemuda bernama Abdul Halim, Pria dari Dusun Lhok Baroh Desa Glee Putoh, Kabupaten Bireuen. Rasa
gundah inilah yang seakan mendorongnya menyelesaikan masalah di kota
kelahirannya. Mencoba menata kembali kota kelahirannya setelah menuntut ilmu di
kota seberang.
Bireuen dan Permasalahan Sampah yang Akut
Bagi sebagian kota, masalah sampah menjadi sesuatu yang
mengganggu. Tak hanya segi pemandangan tapi juga aspek kesehatan. Rata-rata
sampah menumpuk di selokan, saat terjadi musim hujan banyak selokan yang
tersumbat dan saat musim kemarau. Tumpukan sampah menghasilkan bau yang sangat
menyengat.
Sejak awal menjadi Kabupaten, Bireuen pun sudah punya
Qanun khusus yang mengatur tentang pengelolaan sampah. Melalui Qanun No. 15
Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Sampah. Ada banyak regulasi yang diatur
khususnya dalam menyikapi masalah sampah. Tertuang panjang dalam Qanun yang
tertulis sebanyak 22 halaman tersebut.
Nyata pengelolaan sampah ibarat jauh panggang dari api. Ada banyak kendala setelah lebih dari 12 tahun disahkan. Masalah sampah masih terus terjadi terutama di pusat keramaian. Penulis pun merasakan hal demikian karena Bireuen ibarat kota kedua dan kota orang tua berasal.
Sampah merupakan salah satu problem utama yang dihadapi
Bireuen namun hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Masalah yang belum dapat
ditangani secara berkelanjutan dan bisa menjadi bom waktu. sehingga pilihan
akhir adalah berakhir di Tempat Pembuangan Akhir.
Masalah sampai saat sedikit yang peduli dan berharap
sampah yang dihasilkan khususnya di perkotaan sepenuhnya adalah tugas para
petugas kebersihan dan DLKH Kabupaten Bireuen. Harus ada yang berani turun
tangan dalam mengelola sampah dan tentunya berani bersosialisasi akan wujud
kepedulian dan kebersihan. Bahkan bisa mengelola sampah menjadi barang bernilai
dari tangan-tangan kreatif masyarakat Bireuen.
Menyelesaikan Kuliah, Kini Menyelesaikan Persoalan Sampah
Setelah menamatkan di perkuliahan di Universitas Malikul
Saleh, Lhokseumawe di tahun 2015. Mungkin bagi sebagian orang adalah sebuah
pencapaian yang cukup besar. Namun tidak dengan pemuda asal Desa Kuta Blang
Bireuen.
Kecintaan pada dunia lingkungan mulai terpupuk setelah
saat di tahun 2017. Beliau bergabung dengan LSM yang berkecimpung di isu
lingkungan. Saat itu isu yang diangkat adalah proses penyelamatan di Sungai
Peusangan, Bireuen Provinsi Aceh.
Kala itu, hilirnya DAS Peusangan mengalami masalah cukup
pelik khususnya sampah. Melalui kegiatan yang dilakukan bersama LSM tempat
beliau bekerja. Akhirnya permasalahan tersebut selesai dan mengakhiri bau tak
menyengat yang datang dari DAS Peusangan.
Akhirnya di tahun 2019, lahirnya ide dalam memfasilitasi
petugas untuk mengambil sampah rumah tangga dengan memanfaatkan motor roda
tiga, bantuan KLHK. Rutin melakukan aksi dalam mengambil sampah ada di
rumah-rumah warga. Petugas desa berhasil melayani 60 rumah tangga untuk
pengambilan sampah setiap dua kali seminggu. Sampah seterusnya diangkut oleh
petugas kebersihan Dinas LHK Bireuen.
Penolakan Awal Astra atas Ide Pengelolaan Sampah
Bang Halim bercerita akan pengalamannya menjadi Penerima
Apresiasi Astra. Tempat bekerja beliau yang peduli atas lingkungan secara
langsung membuat beliau memberanikan diri untuk mendaftarkan diri di tahun
2019. Ide yang beliau angkat saat itu adalah pengelolaan sampah di Kota
Bireuen.
Apakah membuahkan hasil?
Nyatanya tidak, ide beliau masih kurang seksi dan beliau
sendiri bercerita saat itu masih belum mendampingi proses pengelolaan sampah di
tempat kelahirannya. Saat itu masih berupa ide dan belum ada aksi nyata dan
Astra ingin sebuah aksi yang mampu mengubah desa terutama dalam pengelolaan
sampah.
Persoalan Sampah, Persoalan Kita Bersama
Dalam proses pengelolaan sampah, Bang Halim mengatakan
bahwa pihak DLHK Kabupaten Bireuen menerapkan konsep 3R yaitu Reuse, Reduce,
dan Recycle terhadap sampah yang ada di rumah tangga. Cara ini cukup
efektif terutama sekali dalam pengelolaan sampah. Hadirnya konsep 3R menjadi
awal mula cara mengatasi persoalan sampah di Kabupaten Bireuen.
Hasilnya cukup terlihat terutama dari dampak lingkungan sekitar. Bila dulunya ada banyak sampah berserakan khususnya yang ada di tempat keramaian hingga selokan. Kini jumlah mulai teratur, dan lebih sedap dipandang mata.
Setelah itu juga, mulai timbul kesadaran dari masyarakat
setempat. Masalah sampah bukan hanya urusan DLHK Kabupaten Bireuen saja. Semua
pihak harus terlibat dalam pengelolaan sampah khususnya dimulai dari desa.
Edukasi yang efektif tentang pengelolaan sampah yang
baik, pengurangan penggunaan bahan-bahan sekali pakai, daur ulang, dan
pembelian produk yang ramah lingkungan sangat penting untuk mengubah pola
perilaku yang berkontribusi pada masalah sampah.
Mewujudkan Aksi Nyata pada Desa
Melihat ide yang beliau ajukan sangat menarik dan tentu
saja sebagai bukti pengabdian. Bang Halim akhir tergerak dalam mencoba hal
tersebut di salah satu desa di Bireuen. Berlokasi di Desa Blang Asan, Kecamatan
Peusangan. Bireuen.
Bekerja sama dengan Badan Usaha Milik Desa (BUMDES). Akhirnya
ide itu terwujud, Bang Halim akhirnya bisa mengimplementasikan idenya.
Menciptakan pengelolaan dan bank sampah terpadu dalam mengurangi sampah.
Melalui BUMDES, gerakan pengelolaan sampah berbasis
masyarakat harus dimulai dari desa. Melibatkan kepala desa dan perangkat desa
serta warga. Keterlibatan pemerintah desa merupakan hal mutlak yang harus
dilakukan, agar problem sampah dapat segera diselesaikan secara berkelanjutan.
Lalu muncul pertanyaan, mengapa beliau memilih desa
tersebut?
Desa Blang Asan, Kecamatan Peusangan. Bireuen. Sejak dulu
menjadi kota persinggahan yang cukup ramai terutama jalan lintas Banda Aceh –
Medan. Aktivitas yang besar ini tentunya menghasilkan banyak sampah khususnya
buangan rumah tangan.
Sebagai gambaran, sampah rumah tangan jelas menyumbang porsi paling besar dari sebuah sampah. Menurut data dari KLHK tahun 2023, jumlah timbunan sampah mencapai 18,3 juta ton/ tahun. Sebagian besar jumlahnya datang dari buangan rumah tangga berbentuk plastik dan limbah.
Buktinya di tahun 2022, Indonesia jadi negara di dunia mendominasi sampah plastik terbesar ke 2 sebesar 11,6 Juta ton dari total sampah nasional sebesar 68,5 juta ton. Sampah plastik juga menjadi kendala terbesar, penghasil terbesar datangnya dari aktivitas rumah tangga. Tak jarang sampah plastik dibuang sembarangan ke lingkungan dan jadi aspek utama pencemaran lingkungan.
Penulis pun merasakan hal demikian, Bireuen yang menjadi
lokasi kampung orang tua selalu ramai dengan aktivitas manusia. Tentu saja
dengan buangan sampah yang sangat besar, terutama yang berasal dari Pasar
Matang. Tumpukan sampah menumpuk saat sore hari, pekerja kebersihan bekerja
keras membersihkan saat pagi buta saat aktivitas pasar masih sepi. Itu berulang
selalu setiap harinya.
Untuk mengatasi masalah ini perlu adanya dorongan penuh
dari semua unsur. implementasi atas pengurangan sampah akan bisa
meningkat seiring dengan kepedulian rumah tangga akan bahaya sampah sedangkan
untuk penanganan sampah perlu adanya peran serta kelompok atau komunitas
tertentu dalam penanganan sampah.
Mengapa bisa dipilih lokasi Desa Blang Asan?
Alasan pertama karena lokasi Desa Blang Asan yang hanya
berjarak 1 KM tentunya membuat proses pengumpulan sampah jadi lebih mudah dan
dekat. Selain itu keterlibatan masyarakat tentu adalah hal penting. Bang Halim
juga menceritakan bagaimana ada 60 kepala keluarga dari total 110 terlibat di
dalam aksi tersebut.
Meskipun belum secara menyeluruh, namun secara perlahan
pihak desa telah berkolaborasi dengan DLHK dalam proses pengumpulan sampah.
Aksi kecil ini jelas berdampak apalagi ada banyak program lanjutan yang terus
hadir.
Di tahun 2021 jadi bukti, saat berdirinya Bank Sampah.
Selama ini Desa Blang Asan. Pada tanggal 18 Desember 2021 jadi bukti. Bank
Sampah pertama yang ada di Kota Bireuen akhirnya berdiri, berlokasi di Lapangan
Bola Blang Asan.
Awal pelaksanaan program tersebut, terdapat 30 Kepala
Keluarga yang ikut berpartisipasi dan saat ini telah mencapai angka 65 KK.
Konsep Pengelolaan Sampah Terintegrasi (PST) ini telah diluncurkan oleh Bupati
Bireuen dan berhasil diimplementasikan di Desa Blang Asan.
Kepedulian masyarakat pada sampah di Desa Blang Asan juga
tergolong besar. Lebih dari separuh dari total Kepala Keluarga terlibat dalam
aksi ini. Menunjukkan kesadaran dan kepedulian masyarakat cukup tinggi terutama
urusan sampah.
Bang Halim juga lebih mudah menjelaskan hal tersebut.
Apalagi selama ini banyak konotasi negatif terkait pengelolaan sampah.
Masyarakat masih menganggap sampah khususnya anorganik dan botol sangat sulit
dijadikan bahan baku. Sehingga berakhir di penampungan sampah. Kapasitas TPA
yang terbatas makin membuat masalah sampai jadi isu tahunan di Kota Bireuen.
Tentunya Bang Halim mengaku bangga, sebab ide beliau
berhasil diterapkan di desa tersebut. Selama ini ada begitu banyak sampah dan
berujung ke TPA. Namun kini dengan lahirnya PST di Blang Asan, mampu mengurangi
jumlah buangan sampah di TPA. Malahan sampah yang dibuang ke TPA adalah sampah
yang tidak bisa diolah dan digunakan kembali.
Untuk mengurangi volume sampah yang dibuang ke TPA, maka
perlu dilakukan pemilahan sampah di tingkat rumah tangga, untuk tahap awal,
pemilahan dapat dilakukan dengan kategori sampah organik, anorganik dan botol.
Tentunya pengelolaan sampah tingkat desa harus mendapat dukungan semua pihak,
sehingga sampah dapat dikelola oleh masyarakat desa.
Konsep Bank Sampah ala Abdul Halim
Konsep Bank Sampah Desa yang diterapkan Bang Halim
dikhususkan pada dua aspek yaitu pengelolaan dan pengolahan sampah. Awal
mulanya digunakan jasa berupa layanan angkut sampah keliling desa yang
dilaksanakan sebanyak dua kali dalam sepekan.
Petugas yang menjalankan tugas tersebut siap mengambil
sampah dengan menggunakan becak. Kendaraan operasional yang digunakan berasal
dari hibah DLHK Kabupaten Bireuen. Nah.. dengan begitu sistem pengumpulan
sampah yang terstruktur dan terjadwal di desa.
Warga desa dari Blang Asan diharapkan untuk memisahkan
sampah menjadi kategori yang sesuai, seperti plastik, kertas, logam, atau bahan
organik. Sampah-sampah tersebut kemudian dikumpulkan oleh petugas bank sampah
dengan menggunakan kendaraan atau tempat pengumpulan yang telah ditentukan.
Setibanya sampah-sampah tersebut di lokasi Bank Sampah Asri yang berlokasi di desa tersebut. Setelahnya kemudian dilakukan proses pemilahan. Sampah yang telah dipilah akan diolah atau dijual ke pihak ketiga yang bisa mendaur ulang sampah menjadi barang jadi bernilai.
Bang Halim juga mengatakan bahwa di Desa Blang Asan juga
dibentuk kader lingkungan hidup dalam proses pendataan sampah warga setempat. Tak
hanya itu saja, Pendapatan ini bisa digunakan untuk membiayai operasional bank
sampah, memberikan insentif atau imbalan kepada masyarakat yang aktif dalam
pengelolaan sampah. Wujudnya dalam bentuk Buku Tabungan Bank Sampah.
Tentunya, dalam proses terbentuk Bank Sampah, ada banyak
pihak yang terlibat langsung. Mulai dari yang berminat berkolaborasi seperti
DLHK Kabupaten Bireuen, perangkat Desa hingga pihak Bank Aceh yang menjadi
mitra dalam pengadaan tong sampah sesuai jenis sampah.
Miskonsepsi dan Penolakan Warga pada TPA
Awal mula memulai ide tentu hadir segudang penolakan.
Saat awal pengusulan ide, ada banyak masyarakat yang skeptis terutama sekali
dengan adanya TPA. Selama ini TPA identik dengan akronim Tempat Pembuangan
Akhir, merujuk pada pembuangan sampah.
Lokasi jalan yang dilalui TPA jelas sangat mengganggu. Ada
puluhan atau ratusan truk lalu-lalang setiap harinya. Membawa begitu banyak
muatan sampah. Ini tidak ingin masyarakat yang desanya dijadikan lalu-lintas
TPA.
Sebelumnya sudah ada lokasi TPA lama yang sudah tutup,
berlokasi di Desa Cot Buket. Kini sudah tutup digantikan dengan yang baru yang
berlokasi di Desa Blang Beururu, Kecamatan Peudada. Desas-desus awal sebelum
penunjukan lokasi jelas membuat masyarakat was-was. Namun nyatanya TPA yang
beliau maksud dalam tempat pemrosesan akhir.
Isu liar itu berkembang sangat besar terutama sekali saat
ide TPA yang dicanangkan oleh Bang Halim bersama KLHK. Namun setelah dijelaskan
secara seksama, akhirnya masyarakat paham dan mengerti bahwa TPA yang dimaksud
adalah Tempat Pemrosesan Akhir.
Namun dari situlah asal mula tercetus ide hingga akhirnya hadirlah ide Bank Sampah. Melalui proses pemilihan sampah dari masing-masing rumah tangga tentunya. Nantinya akan menekan jumlah sampah yang nantinya sampai ke Tempat Pemrosesan Akhir. Ini tugas bersama masyarakat dalam menjaga sampah.
Bang Halim juga bercerita bagaimana, di Kota Bireuen
punya biaya yang cukup besar dalam dana operasional pengolahan sampah. Setiap
tahunnya, pemerintah mengucurkan dana hingga 5 miliar Rupiah khusus untuk biaya
tersebut.
Namun di sini, pengelolaan sampah jadi tanggung jawab
kita bersama. Dana sebesar itu tentunya akan tidak maksimal bila masyarakat
tidak turut serta. Pungkas Bang Halim. Hadirnya Bank Sampah di sejumlah Desa
mampu mendongkrak buangan sampah ke TPA jadi minimal sebab sudah terlebih
dahulu dipilah.
Ekspansi dan Kendala Terbesar Bank Sampah
Implementasi Bank Sampah tentunya coba dikembangkan
kembali. Hingga akhirnya Bang Halim kembali melibatkan desa lainnya yang ada di
Kabupaten Bireuen. Berlokasi di Dusun
Geudong Teungoh, Desa Pulo Ara. Kabupaten Bireuen. pemilihan sampah rumahan.
Para ibu-ibu yang dilibatkan dalam hal ini khususnya para ibu PKK.
Program bank sampah ini adalah langkah konkret yang
diambil oleh ibu-ibu PKK dalam menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan.
Serta tentunya dalam meningkatkan keterampilan dan ekonomi para ibu-ibu dalam
berkreasi dari sampah.
Bang Halim juga mengatakan, mengapa peran-peran ibu
sangat penting dalam pengelolaan sampah. Alasan utama karena para ibu paling
banyak dalam menghasilkan sampah khususnya dari aktivitas rumah tangga.
Tentunya dengan mengajak kaum ibu peduli pada sampah artinya bisa mengurangi
sampah terbuang dan bisa diolah jadi barang jadi.
Pada kegiatan awalnya, sempat ada kendala terutama
setelah peluncuran di tahun 2021, Bank Sampah yang ada di Blang Asan sangat
banyak peminatnya. Hanya saja menjelang akhir 2022, harga dari satuan sampah
mengalami penurunan signifikan. Tentunya ada sejumlah cara yang dilakukan
adalah pemilihan sampah dan mengubah sampah buangan menjadi barang berhasil
yang punya nilai jual tinggi.
Cara lainnya adalah dengan penjualan sampah pada
pengepul, petugas bank sampah bisa mengalokasi dana dari penjualan Untuk
operasional bank sampah secara mandiri, baik sebagai membayar honor petugas
bank sampah, melakukan pengadaan dan perawatan aset bank sampah lainnya.
Mengubah Sampah Menjadi Komoditas Bernilai Ekonomi
Sampah nyatanya mampu menjadi ekonomi khususnya pada
jenis sampah tertentu. Inilah yang berhasil Bang Halim lakukan di Desa Kulu
Kuta, Kecamatan Kuta Blang, Kabupaten Bireuen, Aceh. Berkat kerja samanya
dengan salah seorang pengusaha lokal hingga berdirilah pabrik pengolahan sampah
mandiri.
Selain mendatangkan keuntungan pribadi, pengusaha
tersebut telah mempekerjakan lebih sepuluh karyawan. Pengusaha lokal ini
memanfaatkan botol untuk dijadikan biji plastik bernilai ekonomi. Selain botol,
mereka juga menampung kardus bekas dan besi.
Pengolahan sampah yang dilakukan pengusaha lokal ini
patut mendapat apresiasi. Kehadirannya, secara tidak langsung membantu
pemerintah untuk mengatasi persoalan sampah. Edukasi tentang sampah sebagai
komoditas ekonomi harus dimulai dari tingkat desa, karena mayoritas penduduk
berada di pedesaan.
Bila masyarakat desa sadar, sampah adalah komoditas
ekonomi. Tentunya tidak akan lagi membuang sembarangan tetapi mengumpulkannya
ke Bank Sampah desa yang bisa ditukarkan dengan uang atau bahkan barang.
Buah Hasil Mengabdi pada Desa
Setelah hampir tiga tahun setelah awal bergerak dari
desa-desa. Bang Abdul Halim merasa bahwa dedikasinya masih sangat kecil. Beliau
pun masih sungkan membagikan kegiatannya di sosial media karena murni dedikasi
dan hasil yang beliau berikan masih belum optimal.
Namun begitu, ada banyak perubahan yang sudah terjadi
selama tiga tahun terakhir khususnya program sampah yang terjadi di sejumlah
wilayah di Bireuen. Bekerja dengan semua pihak khususnya dimulai dari desa. Sebab
bagi beliau, desa ibarat akar rumput pertama dalam memutus persoalan sampah.
Bang Halim berpendapat bahwa, pemerintah pusat dan daerah
harus membuka ruang sebesar-besarnya kepada desa, agar dapat mengelola sampah
secara mandiri, mulai dari proses pemilahan dari rumah, pengangkutan, dan
pengolahan di TPS. Terkait sisa sampah yang tidak dapat diolah dan didaur ulang
di TPS, maka pemerintah daerah harus memfasilitasi pengangkutannya menuju TPA.
Tak hanya itu saja, ini membuka peluang kerja bagi masyarakat desa dan
sumber pendapatan asli desa. Melalui sampah, ada begitu banyak dana yang masuk
dari pengelolaan sampah saja. Jelas regulasi ini membuat desa punya peran dalam
mengelola sampah secara mandiri.
Bang Halim juga bercerita bagaimana sejumlah target sudah
berhasil dijalankan secara optimal. Awal dicanangkan ada empat program besar
yang ia jalankan dan sudah sebanyak dua sudah berhasil direalisasikan. Program
yang sudah berhasil dijalankan pertama adalah jasa pengangkutan sampah desa,
menggunakan becak yang beroperasi mengelilingi desa dan mengumpulkan sampah
warga.
Selanjutnya yang kedua adalah Bank Sampah. Kini sudah ada
dua tempat yang sudah berhasil direalisasikan yaitu di Desa Blang Asan dan Pulo
Ara. Di lokasi tersebut juga dilakukan sejumlah program berupa pengelolaan
produk baru misalnya saja kursi, tas, bros hingga bahan Ecobrick.
Sedangkan kedua program lainnya yang masih belum bisa di
antaranya adalah pengolahan minyak
jelantah dan pembuatan bahan pupuk organik. Metode ini sedang dicoba di desa
lainnya agar bisa lahir pengelolaan sampah terpadu yang tak berfokus pada satu
titik.
Bang Halim juga mengatakan, bila program pengelolaan
sampah organik berhasil dijalankan. Tentunya ada budidaya lainnya yang bisa
dilakukan. Menurutnya, budidaya yang bisa dilakukan dalam proses pupuk organik
adalah budidaya maggot.Ini mampu dijual sebagai nutrisi pakan ayam, ikan, dan
juga peliharaan rumah lainnya seperti burung, iguana, hingga tokek.
Mencoba Kembali dan Mengajukan Diri pada Astra
Kegagalan di tahun 2019 akhirnya coba dibalaskan, di tahun 2021 Bang Halim
akhirnya kembali memberanikan diri untuk mendaftarkan diri ke Astra Satu
Indonesia Award. Tentunya kini pihak Astra melihat dedikasi beliau yang telah
lakukan selama ini.
Akhirnya berbuah manis dengan ganjaran Apresiasi Astra
Tingkat Provinsi Aceh tahun 2021. Tentunya ini baru permulaan dan beliau
bertekat lebih baik lagi dalam hal pengelolaan sampah. Masih ada banyak PR yang
belum diselesaikan dan kendala sampah masih menjadi isu pelik di Kota Juang.
Melakukan gebrakan di bidang lingkungan dan kepedulian
alam yang awal mulanya diragukan berhasil dan berkembang mengingat Bireuen
sejak dulu akrab dengan kebiasaan buang sampah sembarang. Nyatanya sejumlah
program sudah berhasil dijalankan dan bahkan mendapatkan apresiasi dari Bupati
setempat.
Ini baru langkah awal dan ada langkah lanjutan lainnya
yang siap beliau impikan. Bank Sampah siap menjangkau setiap desa yang ada di
Kota Juang Bireuen. Akhir pertemuan Zoom pun kami berfoto bersama dan berharap
ada banyak kisah lainnya dari pemuda-pemudi Aceh dalam mengabdi pada negeri.
Semoga tulisan ini menginspirasi kita semua akan
kepedulian kita pada lingkungan. Menjaga lingkungan artinya menjaga kota kita
tetap asri dan enak dipandang.
Mimpi Besar Bank Sampah dan Abdul Halim pada Negeri
Tak terasa waktu dengan berbincang-bincang dengan Bang Halim via Zoom yang dilaksanakan oleh Penakita sudah selesai. Waktu pun menunjukkan pukul 18:00 WIB, Banyak rasa penasaran yang belum berhasil digali, namun ada banyak pelajaran yang kami petik setelah dari Penerima Apresiasi Indonesia Award Tingkat Provinsi tahun 2021 tersebut.
Namun di akhir perbincangan, beliau memberikan closing
statement yang tentunya berguna bagi kelangsungan lingkungan. Program Bank
Sampah hanya satu dari seribu cara dalam mengatasi permasalahan sampah yang ada
di masyarakat.
Satu kalimat yang beliau ucapkan adalah : Saya berharap, Pengelolaan sampah berbasis desa yang telah dilaksanakan di Blang Asan dapat diwujudkan ke desa lain di Kabupaten Bireuen, agar upaya pengurangan timbunan sampah di TPA dapat dicapai. Saya juga berharap Kepada para pihak, terutama pemerintah agar dapat mendukung Pengelolaan sampah berbasis desa untuk mendorong lahirnya peluang kerja dan pendapatan ekonomi keluarga pada kegiatan pemilahan sampah dari rumah pungkasnya Bang Halim.
Astra pun tak salah memilih putra-putri terbaik negeri
dalam menyebarkan semangat Astra dalam menginspirasi negeri. Bang Halim sudah membuktikan asal daerah
bukanlah halangan, bersaing bersama penerima apresiasi lainnya yang ada di
Provinsi Aceh. Melakukan gebrakan di bidang lingkungan yang awal mulanya ditentang
oleh masyarakat setempat hingga bisa berhasil dan berkembang.
Ini baru langkah awal dan ada langkah lanjutan lainnya yang siap beliau impikan. Bank Sampah di Kabupaten Bireuen bisa menjadi contoh kabupaten atau bahkan desa lainnya yang ada di Aceh dan bahkan di Indonesia.
Akhir pertemuan pun kami berfoto bersama di Meeting Zoom dan
siap melakukan hal serupa sesuai bidangnya layaknya apa yang Bang Halim lakukan.
Semoga tulisan ini menginspirasi kita semua. Tinggal bagaimana nantinya semesta
akan membalas semua lelah kita menjadi secercah harapan besar.
#SemangatUntukHariIniDanMasaDepanIndonesia
#KitaSATUIndonesia
0 komentar:
Post a Comment