Monday, October 9, 2023

KBA Alue Naga, Komoditi Tiram di Ujung Negeri

 

Ini adalah tahun ke-6 kunjungan saya ke KBA Alue Naga. Sempat tidak berkunjung ke sana selama masa pandemi dan di tahun ini dan lalu kembali ke sana. Melihat perubahan besar yang terjadi di sana. Sebagai KBA paling ujung yang ada di Indonesia, KBA Alue Naga seakan memberikan dimensi berbeda akan potensi besarnya khususnya bidang perikanan.

 

Sore suasana begitu indah, matahari yang mulai turun ke arah barat dan diiringi desiran ombak. Juah dari hiruk pikuk Kota Banda Aceh yang riuh. Terlihat jelas berbagai jenis perahu merapat di bibir sungai Krueng Aceh yang terkenal dengan sejarahnya, kegigihan masyarakat Aceh dalam mengusir penjajah kala itu.

 

Alue Naga punya beragam kisah sejarah dalam perkembangan Aceh hingga saksi bisu Gempa Bumi dan Tsunami yang hampir 19 silam terjadi. Mengubah drastis topografi desa setempat, ada banyak daratan yang berubah menjadi laut hingga tambak terendam air.

 

Kondisi desa jangan ditanyakan, hampir sebagian besar penduduknya jadi korban Tsunami. Butuh beberapa tahun untuk memulihkan Alue Naga. Bahkan bisa dikatakan Alue Naga jadi daerah terisolir dan tertinggal dibandingkan daerah lainnya yang ada di Kotamadya Banda Aceh. Jaraknya yang bahkan sangat dekat dengan sejumlah pusat sentral pendidikan di Aceh.

 

Sebagai seorang ahli kelautan, selama ini masyarakat pesisir sering dikesampingkan khususnya wilayah Pantai tempat mereka tinggal adalah desa nelayan. Acapkali kali desa nelayan identik dengan kemiskinan, pengangguran hingga kualitas pendidikan rendah.

 

Perhatian pemerintah pun kurang, apalagi bila desa tersebut dianggap tidak punya sinar terang yang bisa diberdayakan. Di Alue Naga, harus ada tokoh penggerak yang mampu mendorong mereka bangkit. Tidak menjadi desa miskin yang menjadi target politisi dalam mengumpulkan pundi-pundi suara. Namun menjadi pusat desa perikanan percontohan.

Sebagian besar masyarakat berprofesi sebagai nelayan dan petani tambak. Para nelayan setelah lepas malah hari mulai melaut, mempersiapkan peralatan alat tangkap yang akan dibawa. Mengarungi kerasnya samudra, keesokan harinya mereka sudah berada di dermaga. Hasil tangkap pun beralih ke tokei bangku yang membeli dagangan mereka.

 

Sesuatu yang terkenal miris, desa pesisir di ujung negeri masih tertinggal dan seakan diabaikan sejak lama. Padahal dulunya daerah Alue Naga jadi gerbang menyambut tamu negara saat tiba di Kerajaan Aceh. Warna pudar itu coba kembali dikembalikan, sekaligus mengubah citra Desa Alue Naga sebagai pusat sentra perikanan dan menghidupkan geliat ekonomi.

 

Letak geografis dari Desa Alue Naga menjadi desa paling ujung di Indonesia yang diberdayakan Astra. Program ini dikenal dengan istilah Kampung Berseri Astra (KB). Sudah sejak pertengahan September 2017 Astra memberikan banyak pembinaan di Gampong Alue Naga, jadi desa ke-65 yang berada di bawah naungan Astra.

 

Lokasinya berhadapan langsung dengan Pulau Weh dan berbatasan dengan Desa Kajhu yang sudah masuk dalam teritorial Aceh Besar. Lokasi yang menarik lagi adalah Desa Alue Naga jadi pertemuan Samudera Hindia dengan aliran Sungai Krueng Aceh yang jadi denyut jantung Banda Aceh sejak dulu.

 

Warna Baru Alue Naga setelah Gempa Bumi dan Tsunami

Kini warna-warni denyut kehidupan kembali terasa, ada banyak kapal nelayan yang tertambat kala petang di sana. Hiasan pohon pinus berjejer di sepanjang jalan, Desa Alue Naga dan Tibang jadi destinasi baru sembari melihat pantai yang indah beradu dengan muara Krueng Raya yang melegenda.

 

Perlahan tapi pasti terus berbenah menjadi lebih cantik, aksesnya ke sana pun jadi lebih mudah. Khusus Desa Tibang memberi sensasi bahwa sebelumnya berdiri ratusan hektar lahan mangrove. Pemerintah pun menyulapnya menjadi Taman Hutan Kota dan penyerap buangan karbon dioksida. Termasuk menghidupkan kembali sentra ekonomi masyarakat yang bertopang pada hasil laut.

 

Geliat ekonomi dan semangat masyarakat terlihat jelas. Para kaum lelaki yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan siap menyalakan mesin, mencari gerombolan ikan hingga ujung pulau. Kaum wanita tak mau kalah, mencoba meringankan beban hidup suami mereka dengan mengumpulkan tiram yang ada hilir sungai.

 

Menjual atau mengolahnya menjadi sumber makan kaya protein di dalamnya. Mengembalikan roda ekonomi khas masyarakat pesisir. Bagi mereka hidup itu terus berjalan meskipun ada banyak hal getir yang sudah terjadi sebelumnya. Semangat yang lahir dari masyarakat pesisir.

 

Petang jadi waktu yang begitu ramai, di sepanjang jalan dipenuhi pedagang tiram di setiap kedai kayu. Harganya yang terjangkau menarik perhatian penggemar tiram. Sejak dulu desa pesisir seperti Alue Naga dan Tibang menjadi desa sentral produksi tiram yang ada di Kota Banda Aceh.

 

Tak dipungkiri bahwa jumlah konsumsi ikan masyarakat Aceh cukup tinggi. Selama ini kita mengenai makanan laut kaya protein hanyalah ikan dan mengabaikan tiram. Jumlah yang melimpah bisa jadi alternatif saat harga ikan mahal atau nelayan tak pergi melaut. Bukan hanya itu saja, lezatnya tiram begitu menggugah selera.

 

Tiram menawarkan kelezatan tiada tara, mengandung banyak nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh. Makanan yang selama ini sulit ditolak lezatnya, apalagi kuah tiram berbalut racikan gulee tirom (kari tiram) khas Aceh Besar.

 

Potensi ini jelas membukti Desa Alue Naga bisa bangkit dan menjadi sentra unggulan dengan membina masyarakatnya khususnya di sejumlah aspek. Butuh penggerak yang bisa menginisiasikan Alue Naga berubah menjadi jadi percontohan. Astra pun melihat ini dan tinggal para penggerak yang berani mengimplementasikan idenya dalam mengelola desa.

 

Astra Road Show Aceh, Mempertemukan para Penggagas Apresiasi Negeri

Ada sejumlah tokoh dan kampung berseri yang sudah diangkat. Hampir semuanya harus saya datangi ke sana, membuat janji hingga akhir bisa bertemu dengan tokoh inspirasi hingga menginjakkan kaki ke kampung berseri.

 

Pengalaman berharga ini sempat surut saat COVID19 datang, kondisi yang tak memungkinkan datang ke lokasi dan mengharuskan konsep online meeting. Akhirnya di tahun 2023, Astra melakukan gebrakan dengan kegiatan Roadshow keliling Indonesia.

 

Daerah paling ujung Sumatera, Aceh akhirnya disinggahi Astra pada Roadshow kali ini. Menghadirkan dua tokoh inspirasi dalam membangun negeri. Salah satunya adalah Bang Ichsan Rusydi, salah satu dosen Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Syiah Kuala.

 

Pada Roadshow Anugerah Pewarta Astra tahun 2023, beliau bercerita singkat mengenai inisiasi besarnya dalam memberdayakan desa. Dan Alue Naga adalah desa yang selama in beliau berdaya. Mencoba mengubah wajah desa tersebut dari desa pesisir miskin menjadi desa dalam sentra perikanan khususnya tiram.

 

Mengenal Bang Ichsan Rusydi telah berlangsung 6 tahun lamanya. Tulisan pertama saya mengenai Astra juga berkat wawancara beliau mengenai Desa Alue Naga. Beliau tetap sama, menjelaskan idenya dalam implementasi Kampung Berseri Astra di Alue Naga. Tentunya berawal dari keprihatinan dan tentunya niat dalam memanusiakan manusia.

 

Menyusuri Potensi Terpendam Tiram di Desa Tibang

Para wanitanya bukanlah para wanita lemah, ketangguhan perempuan Aceh sudah harum namanya sejak Laksamana Malahayati. Seorang wanita yang mampu memimpin pasukan Aceh melawan penjajah dari Portugis. Aura keberanian dan pantang menyerah masih bergelora pada wanita pesisir Aceh.

 

Kini pun sama, wanita Aceh pesisir rela berpeluh keringat dan bermandikan lumpur. Mencari koloni tiram yang mengendap di dalam lumpur, seakan wajah hitam legam dibakar terik matahari. Semua itu sebagai penyambung hidup masyarakat nelayan Desa Alue Naga dan Tibang,  Harga jualnya begitu tinggi dan jadi pekerjaan sampingan para ibu-ibu selepas asar dan ketika para suami pergi melaut.

 

Keesokan harinya, Tiram yang sudah didapatkan kemudian dikupas dan dijual dalam plastik di persimpangan Jembatan Krueng Cut. Lokasinya berada di pintu masuk desa mereka, sangat jarang ada yang membelinya langsung ke desa mereka. Selain itu harga jualnya relatif murah, harga jualnya hanya berkisar dari 7-12 ribu setiap kantongnya. Tidak setara dengan usaha dalam mengumpulkan tiram seharian.

 

Sebagai gambaran, mayoritas wanita menghabiskan waktu hingga 4 jam sehari di dalam genangan air, jelas ini tak baik bagi kesehatan pencari tiram. Para wanita pencari tiram bisa terkena berbagai risiko dari kutu air, gangguan reproduksi hingga bisa mengarah ke kanker serviks.

 

Ancaman lain datang dari cemaran sungai Krueng Aceh yang mengancam konsumen tiram dan kerang. Berdasarkan riset yang telah diteliti, kadar kandungan logam Kadmium sudah melewat ambang batas. sifat filter feeder pada tiram punya mampu menyaring partikel organik setelah terakumulasi di dasar sungai.

 

Bila konsumen mengonsumsi dalam jumlah banyak dan lama, berdampak pada gangguan kesehatan serius seperti stroke bahkan kanker. Kedua pihak dirugikan dalam hal ini pengepul tiram dan konsumen. Harus ada cara yang membuat para pekerja tetap manusiawi dan pelanggan mendapatkan cita rasa tiram terbaik khas Alue Naga

 

Potensi besar ini jadi berkah andai saja dioptimalkan melalui teknologi tepat guna. Hingga akhirnya salah seorang Dosen Fakultas Kelautan dan Perikanan Unsyiah, Ichsan Rusydi mencoba terobosan baru dalam mendapatkan tiram dengan mudah higienis.

 

Solusi Memindahkan Pencari Tiram ke Rumah Tiram

Kehadiran Astra di Desa Alue Naga sejak 2017 seakan memberikan kesempatan terutama dalam memecahkan masalah ada di masyarakat setempat. Sebagai wujud desa, ada banyak pilar yang bisa diwujudkan terutama buat kesejahteraan masyarakat.

 

Ide awal yang tercetus dalam pengembangan Alue Naga tentunya memperbaiki sistem mata pencaharian masyarakat setempat. Seperti yang disinggung penulis di awal, mencari tiram cara sebelumnya sangat tidak aman hingga akhirnya dipilih metode baru berwujud floating culture

 

Inovasi dilakukan dengan teknologi floating culture atau lebih dikenal dengan budidaya tiram secara terapung. Selama ini floating culture yang digunakan masih mengandalkan material sederhana yaitu penyangga berbahan bambu. Digantikan dengan pipa paralon HDPE yang sudah diisi material semen padat, supaya proses penanaman di dasar perairan berlangsung mudah dan pipa tidak bengkok diterjang arus pasang surut di bendungan.

Alhasil setelah proses pemindahan, kandungan ambang batas logam berat pada tiram turun. Tiram yang berhasil panen pertama kali di rumah produksi tiram langsung di uji laboratorium. Hasilnya cukup melegakan, angka Timbal yang sebelumnya ada di angka 0,04 menjadi 0,01 dan Kadmium dari 0,98 turun menjadi 0,01. Angka tersebut sudah berada di batas aman konsumsi dan higienis untuk dikonsumsi konsumen penggemar tiram.

 

Setelah proyek ini berhasil, masyarakat yang sebelumnya skeptis pun tertarik dengan konsep tersebut. Dinilai lebih efisien terutama menggunakan pipa paralon. Selama ini masih mengandalkan batang bambu yang rentan rusak. Selain konsepnya terlihat futuristik bagi siapa saja yang melintas ke desa mereka.

 

Konsep Modern Rumah Budidaya Tiram di KBA Alue Naga

Selama ini rumah tiram yang berdiri berbahan material bambu. Warna tak lama menguning dan kemudian perlahan rapuh terendam air payau. Awal mula estimasi usia bambu bisa bertahan 2 tahun, nyatanya 6 bulan sudah mulai tak layak. Rumah tiram yang baru saja panen seakan perlahan mulai lapuk karena pendeknya usia bambu.

 

Belum lagi untuk mendapatkan bambu pun tergolong sulit. Harganya pun hingga Rp40.000 setiap batangnya dan masyarakat harus mencarinya hingga ke Blang Bintang, Aceh Besar. Material bambu pun kurang kokoh beban ban yang digantung di atasnya. Pada beberapa sisi mengalami penurunan drastis bahkan cenderung ambruk. Serta serpihan bambu bisa saja menusuk anggota tubuh pencari tiram.

 

Bila dihitung-hitung, biaya menggunakan pipa paralon HDPE tak jauh beda. Biayanya memang lebih mahal, tapi dijamin bisa tahan hingga 5-6 tahun sebelum diganti. Sebelumnya beliau memperlihatkan bagaimana mekanisme pembuatan proyek rumah tiram. Warga pun terperangah dan ingin mencobanya, menggantikan bambu-bambu kusam yang ada di lokasi rumah tiram milik mereka.

 

Proses pembuatannya pun tergolong mudah, terlebih dahulu memilih lokasi pembuatan rumah tiram. Lokasi pilihan ada di bendungan Desa Alue Naga yang berbatasan dengan Desa Tibang. Bendungan tersebut dulunya adalah bekas bendungan Banjir yang dibangun saat masa Banda Aceh sering terjadi banjir.

 

Kini fungsi tidak ada dan hanya sebagai lokasi menambat kapal dan masukan air laut. Lokasinya yang tidak terkoneksi dengan Krueng Aceh membuat lokasi bendung dianggap cukup strategis. Selain terhindar dari pencemaran yang berasal dari hulu, para pengepul tiram lebih mudah dalam proses panen tiram.

 

Melihat Proses Pembuatan Rumah Budidaya Tiram

Awal mulanya pipa paralon yang sudah diangkut menggunakan sampan. Ada sejumlah pekerja dari masyarakat sekitar, pada proses pemasangan membutuhkan 4-5 orang dewasa. Mereka siap menanam pipa beton ke dasar bendungan. Waktu yang dipilih umumnya jelang petang hari. Saat air di bendungan mulai surut dan proses pemasangan relatif mudah.

 

Tugasnya mulai dari menyedot air di sekitar lokasi tiang pancang, memasukkan pipa ke dasar bendungan serta membawa pipa menggunakan sampan. Proses pengerjaan kata beliau memakan waktu hingga dua hari, tergantung hingga fondasi sudah cukup kuat. Lalu tinggal bagaimana menyambungkan antara setiap tiang dengan tiang lainnya. Ini harus cukup kuat dan presisi, nantinya di setiap ruang tiang akan disangkutkan rumah tiram dari ban bekas.

 

Proses menggunakan ban bekas juga dibagi, apakah memakan bagian luar dari ban atau bagian dalam. Media ban nantinya akan melekat koloni tiram. Butuh waktu sampai enam bulan hingga masa panen tiba. Waktu yang cukup lama tapi menurut Ichsan, andai saja ada begitu banyak rumah tiram. Proses panen bisa dilakukan setiap harinya.

 

Warga pun tak perlu lagi mencari tiram di sepanjang Krueng Aceh atau areal lainnya, Cukup dengan naik sampan, tiram bisa langsung diangkat dan dipanen kemudian dibawa pulang ke rumah.

 

Setelah jadi, sesuatu yang sangat diperhatikan oleh Bang Ichsan dalam pengembangan KBA Alue Naga. Asumsinya bila dalam satu unit rumah tiram terdapat lebih dari 4.000 unit ban bekas lokasi koloni tiram. Modal yang dikeluarkan setiap ban kisaran Rp10.000 yang berarti 40 jutaan. Setiap harinya dilakukan proses pemasangan 10-15 ban bekas, dalam setahun total ada 4.000 unit ban yang terpasang.

 

Saat musim panen, siklusnya pun berputar karena setiap ban akan panen. Asumsinya bila di dalam satu ban mampu menghasilkan empat kaleng susu (setara 250 gram) dengan harga jual Rp10.000. artinya masyarakat mendapatkan Rp40.000/ban dan itu sudah cukup menguntungkan karena setiap 1.000 ban sudah mampu mengembalikan modal peternak tiram.

 

Tak berhenti di situ saja, itu baru jalan kecil dalam merajut sentra pengembangan ekonomi tiram melalui Rumah Produksi Tiram. Ini bisa melahirkan sentra unggulan lainnya yang bisa dimajukan seperti pengembangan pusat perikanan tiram, penelitian hingga sentra UKM olahan dari tiram.

 

Astra dan Mimpi Masyarakat KBA Alue Naga

Kehadiran Astra di Alue Naga barulah seumur jagung namun berdampak besar pada perekonomian masyarakat setempat.

 

Kampung Berseri Astra (KBA) punya tujuan mengubah Alue Naga menjadi desa yang asri dari lingkungan, masyarakat yang cerdas, sehat, dan punya sentra ekonomi yang mumpuni. Ada empat pilar yang dibangun dari CSR Astra yaitu sentra pendidikan, UMKM, lingkungan, dan kesehatan. Elemen tersebut akan terus dilakukan semenjak awal mula Astra berpijak di Desa Alue Naga.

 

Dampak pilar yang dirasakan masyarakat setempat saat Astra hadir di Desa Alue Naga. Namun Astra tidak bisa bergerak sendiri karena ada peran banyak pihak di sana. Salah satunya datang dari Kampus Kelautan dan Perikanan yang mewakili Universitas Syiah Kuala.

 

Hadirnya kampus seakan menjadi sarana belajar dan mengabdi pada masyarakat sekitar. Selama ini mahasiswa sering mengadakan kegiatan yang jauh dari kampusnya. Namun sering mengabaikan desa-desa yang bisa saja membutuhkan perhatian lebih.

 

Sebagai desa pesisir, FKP punya andil dalam mengajak mahasiswa dalam Visit Kampung Berseri Astra Alue Naga. Namun pihak kampus juga mengajak pihak fakultas lainnya dalam membagikan ilmu dan pengalamannya dalam peningkatan sejumlah pilar di Alue Naga.

 

Membangun sentra pendidikan di Jantung Alue Naga

Menciptakan Semangat Belajar dan Sentra Pendidikan untuk Anak-anak Alue Naga Desa Alue Naga tertinggal banyak hal dibandingkan desa lainnya yang ada di Kota Banda Aceh. Seakan ada sekat besar yang memisahkan Alue Naga dengan desa lainnya. Sudah letaknya di ujung, lalu terkucil dari dunia luar.

 

Hanya ada sekolah di sana yaitu SDN 72, telah berdiri sejak 1985 dan menjadi saksi bisu terjangan Gempa Bumi dan Tsunami. Sebelumnya namanya adalah SDN 100 dan kini beralih menjadi SDN 72 yang berada di bawah kemendikbud Kotamadya Banda Aceh.

 

Untuk akses sekolah di Desa Alue Naga sangat terbatas, hanya sejumlah sekolah yang tersedia saja. Level jenjang pendidikan hanya dari TK, SD, dan SMP. Sedangkan jenjang lebih tinggi mengharuskan anak-anak untuk sekolah ke desa lain.

 

Namun sekolah itu diisi oleh orang-orang tangguh. Salah satunya Kepala Sekolah SDN 72, Dra. Kasiyem. Beliau menuturkan banyak hal dari kegundahan masyarakat sekitar akan keberadaan sekolah. Banyak anak-anak di desa tersebut harus sekolah dari kampung. Menempuh puluhan kilometer untuk bisa menuntut ilmu. Kehadiran sekolah ini 2 tahun lalu jadi secercah harapan menuntut ilmu menjadi lebih dekat di desa sendiri.

 

Sekolah tersebut tersebar di bagian barat dan timur dari Desa Alue Naga. Bila salah satu masyarakat ingin bersekolah ke sekolah di seberang sungai. Mereka harus memutar sangat jauh, melewati jembatan Krueng Cut. Artinya waktu tempuh jadi lebih jauh dan lama, mengakibatkan orang tua lebih memilih menyekolahkan anaknya ke desa sebelah.

 

Namun semangat tidaklah padam. Berkat dukungan CSR Astra pada KBA Alue Naga. Hadirnya beasiswa setiap semester kepada anak-anak setempat. Beasiswa ditujukan kepada anak yang kurang mampu serta yatim piatu. Bantuan peralatan sekolah juga mendukung aktivitas belajar mereka. Berbagai peringatan hari besar turut serta dalam kegiatan Astra, misalnya saja memperingati hari kemerdekaan RI.

 

Bantuan peralatan sekolah juga mendukung aktivitas belajar mereka, jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun ini ada sebanyak siswa yang mendapatkan bantuan tersebut, dan orang tua wali adalah orang paling senang dan antusias dalam sesi penyerahan bantuan tersebut.

 

Bukan hanya sekolah saja, ada sejumlah balai pengajian berdiri di Alue Naga. Supaya anak-anak desa setempat bisa membangun nilai religiusnya, supaya tahu arah agama dan buta huruf Al-Quran, Pengajian biasa dilangsungkan di balai pengajian setelah lepas salat Magrib. Alunan bacaan Al-Quran terdengar sangat syahdu di Desa Alue Naga.

 

Lalu jauh di seberang sana kami menemukan sekolah tahfidz Quran. Ada puluhan santri yang tersebar di seluruh Aceh tinggal di sana, menghafal Quran dan mentadabburi setiap ayat setiap pagi dan petang. Pesantren tersebut diberi nama: Dayah Mini Alue Naga. Secara kasat mata, dayah tersebut jauh dari kata cukup.

 

Ada banyak calon penghafal Quran potensial yang bisa lahir dari sana, umumnya mereka adalah anak yatim piatu. Astra coba hadir di sana, salah satnya membangun konsep Bioflok terutama budidaya ikan.

Sekaligus membantu juga beramal, hasil panen ikan tersebut bisa dijadikan lauk buat para santri di sana.

 

Mempersiapkan kemandirian warga dalam balut UMKM

Pendidikan yang baik akan merangsang masyarakat berpikir lebih jeli dalam membangun ekonomi. Harapan ini adalah dengan mengembangkan UMKM masyarakat yang berkelanjutan. Salah satu pilihan tersebut ada pada pengembangan tiram.

 

Bila dahulunya para wanita di Desa Alue Naga harus turun ke tambak atau bahkan lahan mangrove. Terik matahari, serpihan pecahan cangkang tiram yang menusuk tangan dan kaki hingga tubuh yang mati rasa terendam lama di air asin.

 

Kini mereka tak perlu lagi harus menyusuri Sungai Krueng Aceh untuk bisa mendapatkan tiram. Sudah ada rumah produksi tiram yang terbuat dari ban bekas memudahkan para pengepul dalam memanen tiram. Lebih hemat waktu dan tenaga serta terpenting membuat mayoritas pengepul tiram yang berasal dari kaum ibu aman dari rendaman air muara.

 

Dalam meningkat daya dan mutu, tiram yang dijual saat ini harus melalui proses pengolahan lebih. Selain harga jualnya lebih mahal, ini juga merangsang kreativitas dan inovasi atas produk unggulan tiram. Selain itu tiram yang dijual jadi harganya murah dan mudah sekali rusak karena terpapar dengan lingkungan sekitar.

 

Kini saatnya membenahi hasil tangkap tiram menjadi sentra ekonomi yang menguntungkan. Mengolahnya menjadi berbagai pangan dan makanan bernilai tinggi. Salah satunya menjadi keripik tiram, nugget tiram, jamur tiram hingga beragam olahan. Ini tentu saja meningkat kualitas dan daya saing produk.

 

Saya pribadi yang bekerja sebagai pendamping UKM merasakan dampak tersebut dalam pengembangan UMKM di Alue Naga. Ada banyak nama besar yang telah berkembang dalam merintis usaha tiram. Mulai dari Kak Maryati yang terkenal dengan kerupuk tiramnya.

 

Kerupuk tiram Kak Mar sudah memiliki branding dan kemasan yang sangat baik. Seakan tidak menggambarkan itu adalah usaha rumahan yang dibuat secara kecil-kecilan. Kini beliau ingin memperluas pangsa pasarnya ke supermarket yang ada di Kota Banda Aceh.

 

Kini ada pemain baru yang berhasil merintis sukses seperti halnya Kak Mar. mereka datang dari kalangan mahasiswa yang melihat potensi besar serupa. Hadir dengan beragam produk tak kalah menarik mulai dari kerupuk tiram, nugget tiram, nasi bakar tiram, pepes tiram, kari tiram, dan tiram mentah.

 

Memiliki branding yaitu Kiboy Food. UKM Kiboy Food bekerja sama dengan pengepul tiram setempat dalam hal pengadaan stok tiram. Tentunya hadirnya produk unggulan mampu meningkat taraf hidup masyarakat setempat.

 

Selain itu kini, di Alue Naga sudah berdiri Rumah Pengolahan Tiram, diresmikan di awal tahun 2020. Tentunya kehadiran dari Rumah Pengolahan Tiram mampu mengajarkan ibu-ibu setempat. Tiram yang kaya gizi kini bisa dikenal luar dan jadi sentra unggulan di Desa Alue Naga. Apalagi dengan adanya tempat pengolahan, ini membuat para pengepul bisa mengolah tiram menjadi olahan yang lebih berharga dan tahan lama.

 

Astra pun juga meningkat sejumlah pengaruh pada pilar kewirausahaan. Tahap pertama adalah dengan melakukan proses penguatan kapasitas BUMDes setempat dan Penyusunan laporan keuangan. Ini berguna dalam para nelayan bisa melaksanakan tata kelola keuangan yang baik. Melibatkan sejumlah mahasiswa dalam membantu para nelayan dalam peningkatan kapasitas.

 

Tak berhenti di situ saja, gebrakan lanjutan hadir dengan peningkatan kualitas produk. Hadirnya Rumah Pengolahan Tiram dirasa mendukung dalam peningkatan kemasan yang baik. Para masyarakat setempat dilatih dalam proses pengemasan yang baik agar produk bisa bertahan lama.

 

Potensi Wisata Alam dalam Menciptakan Lingkungan Asri

Dulunya saat terbesit daerah pantai sekitar Kota Banda Aceh, langsung terbesit dengan menjulangnya pepohonan mangrove. Ada beragam spesies yang menutupi setiap rawa asin itu, menjadikan sebuah habitat bagi makhluk yang hidup di sana. Masyarakat memanfaatkannya dengan membuat tambak yang menghasilkan sentra perikanan.

 

Musibah tsunami seakan merusak itu semua, seakan menyisakan tanah gersang yang panas. Hembusan angin laut kadang sampai ke jantung kota. tak ada lagi penangkal seperti dulu dari pohon mangrove. Tapi kini gersang itu mulai memudar, lahan yang menjadi lokasi hutan mangrove mulai ditanami pohon mangrove dari beragam spesies.

 

Aksi mahasiswa dan solidaritas pecinta lingkungan cukup banyak andil dalam aksi tersebut. Paling baru adalah aksi penanaman mangrove dari pihak Astra yang melibatkan mahasiswa Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Syiah Kuala.

 

Peran mangrove dianggap begitu sentra, selain sebagai tembok alam dari cuaca buruk, ia punya peran menyerap begitu banyak karbon yang dihasilkan kota. Mengubah kandungan karbon menjadi oksigen sekaligus menjaga suhu kota tetap stabil.

 

Di masa depan, mangrove yang beranjak besar bisa menjadi lokasi objek wisata. Ada banyak biota khas Hutan Mangrove yang hidup di sana. Jelas ada peluang wisata yang bisa dihadirkan pengelolaan Hutan Mangrove.

 

Tak berhenti di situ saja, Alue Naga terkenal dengan masyarakat nelayan. Lokasi mereka seakan terisolir dengan masyarakat nelayan lainnya. Ini seakan menghadirkan keunikan dari hal mempelajari kebiasaan masyarakat nelayan seperti tradisi melaut bagi kaum bapak dan tradisi mengumpulkan tiram bagi kaum ibu.

 

Kesehatan, Kebutuhan yang Sering diabaikan di Masyarakat Pesisir

Masyarakat pesisir sering dianggap tidak memperhatikan aspek kesehatan. Terutama sekali buat para petani tiram, mencuci tangan bisa menghindarkan kulit dari penyakit kulit. Sesuatu penyakit yang sering menimpa mereka.

 

Alasan tersebutlah yang mendorong pengurus KBA Alue Naga bekerja sama dengan berbagai pihak. Di

Desa Alue Naga telah tersedia puskesmas dan posyandu dalam melayani masyarakat sekitar. Kegiatan yang sudah menjadi agenda wajib adalah imunisasi kepala balita yang dilangsungkan setiap hari Senin. Pada proses sosialisasi tersebut melibatkan pihak dinas terkait yang berasal dari Kota Banda Aceh.

 

Posyandu dianggap punya peran penting dalam menciptakan generasi bebas Stunting. Selama ini, Stunting identik dengan masyarakat kelas bawah. Apalagi masyarakat yang datang dari desa nelayan pesisir, potensi Stunting cukup besar. Hadirnya posyandu menjadi titik kontrol setiap para ibu dan anak mendapatkan gizi yang cukup. Serta meningkatkan kualitas SDM di masa depan.

 

Pada proses ini Astra yang membantu berbagai peralatan pendukung yang ada di puskesmas. Kegiatan posyandu rutin dilaksanakan dengan agenda penimbangan berat badan balita, pengukuran lingkar kepala dan pemberian vitamin. Diadakan juga penyuluhan kesehatan seperti bagaimana cara mencegah demam berdarah dan lainnya.

 

Astra juga peduli pada lansia yang ada di KBA Alue Naga, wujudnya kegiatan yang melibatkan mahasiswa keperawatan USK. Kegiatan dalam pemantauan para lansia terutama pemeriksaan kesehatan rutin. Beragam penyakit diperiksa salah satunya Diabetes Mellitus, ini bertujuan agar para lansia bisa peduli mengontrol gula.

 

Program serupa hadir juga ke sekolah, salah satunya Gebrakan POPABES (Pondok Pesantren Bebas Scabies). Ponpes identik dengan penyakit ini, hal serupa dilakukan khususnya dalam edukasi pada para santri di Dayah Mini Aceh.

 

Edukasi hidup sehat dan bersih bertugas para santri yang jauh dari para orang tua bisa terhindar dari Scabies. Serta program ini membuat para pemilik Ponpes peduli dalam sanitasi yang melibatkan puluhan hingga ratusan santri. Proses belajar nantinya berjalan optimal bila semua santri sehat dan kuat.

 

Alue Naga, Kepedulian Astra pada Desa di Ujung Negeri

Astra pun tak salah memilih Alue Naga menjadi kampung berseri. Setelah lama bermesra sejak 2017, ada banyak pilar yang dibangun. Bermula dari peningkatan SDM masyarakat, berlanjut pada pengembangan Rumah produksi tiram. Tahap produksi hingga kini sudah beranjak pada sejumlah aspek lainnya.

 

Waktu yang sudah berjalan hampir 6 tahun berjalan sangat singkat. Kini ada banyak perubahan di Alue Naga. Bermula hanya sebuah desa pesisir di Ujung Banda. Kini ia mencoba mengubah jati dirinya menjadi lokasi sentra perikanan unggulan.

 

Salut dengan para pejuang di belakang layar yang mampu mengangkat citra Alue Naga. Waktu dan tenaga mereka sisihkan. Serta menjadikan Alue Naga jadi Kampung Asri percontohan yang ada di Aceh. Setelahnya lahir KBA lainnya di sejumlah wilayah, pemicunya hanya satu: Komitmen orang di belakang layar seperti Bapak Ichsan Rusydi, Tgk Jamaika, hingga pihak kampus.USK.

 

Astra tidak salah menunjukkan mereka dan hasil jerih payahnya terbayar sekarang. Alue Naga dulu tidaklah sama. Kini ia punya Asri di depan namanya seperti tumbuhan cemara yang teduh saat pergi ke sana.

 

Semoga tulisan ini menginspirasi kita semua akan kepedulian pada desa lainnya yang ada di tanah ibu pertiwi. Alue Naga hanya satu dari ribuan desa lainnya yang layak diberdayakan.

 

#SemangatUntukHariIniDanMasaDepanIndonesia #KitaSATUIndonesia

Share:

0 komentar:

Post a Comment

Kenalan Blogger

My photo
Blogger & Part Time Writer EDM Observer

Part of EcoBlogger Squad

Part of EcoBlogger Squad