Karen, aku ingin resep Krabby Patty bagaimana pun caranya!
Ujar Plankton pada kekasih sekaligus komputernya yang
setia dalam sekuel film kartun pagi Spongebob Squarepant. Itulah si Plankton, tokoh
antagonis mungil tapi punya nyali besar. Keanehan tak berhenti di situ saja, ia punya istri robotik berwujud komputer.
Bagaimana tidak? Ia hidup sendiri, dan satu-satunya yang diajak bicara adalah... komputer. Dulu, adegan ini hanya terasa sebagai lelucon kartun yang absurd. Tapi kini adalah hal yang lumrah! Karen bukan sebagai istri komputer semata, ia seakan berubah menjadi superkomputer yang punya kemampuan analisa yang begitu cerdas dan jadi asisten pribadi si Plankton.
Ia tak hanya membantu Plankton menjalankan bisnisnya,
tapi juga bertindak seperti otak utama di balik semua rencana besar buat
menaklukkan Krusty Krab. Meskipun endingnya selalu gagal karena sikap ceroboh
plankton sendiri.
Wujudnya vintage abis khas komputer tabung era 90-an. Tapi
ia bisa paham akan emosi, mengambil keputusan sendiri, dan bahkan bisa cemburu
serta ngambekan jika merasa tak dihargai. Karen bukan sekadar mesin, tapi
karakter dengan kepribadian, daya analisis, dan tanggapan interaktif.
Kehadirannya di dunia kartun memperkenalkan konsep AI secara ringan dan jenaka,
namun juga menyimpan makna lebih dalam tentang hubungan plankton dengan
teknologi yang mereka ciptakan sendiri.
Dari keduanya, kita bisa melihat cerminan hubungan manusia dan AI di dunia nyata. Manusia seperti Plankton: penuh ide, mimpi besar, dan semangat tinggi, tapi tak selalu punya semua jawaban. Maka hadirnya "Karen" versi modern laptop yang sudah dibenamkan teknologi AI.
Karen seolah jadi bukti bahwa hubungan plankton. Seakan teknologi
bisa sangat personal bukan hanya buat ketik dan klik saja tapi juga sebagai
teman debat, curhat, sampai mengembangkan ide di kepala biar eksekusinya
berhasilnya. Hanya saja Plankton yang terlalu ambisius sehingga misinya
mendapatkan resep kadung gagal di ujung.
Adegan yang bisa masa kecil saya ketawa itu seakan relate
di masa sekarang apalagi urusan teknologi. Kita hidup di masa ketika berbicara
dengan mesin sudah jadi hal biasa, dan kadang, malah lebih jujur dibanding
ngobrol sama manusia.
Karen memang fiksi, tapi ia seakan memberi gambaran:
teknologi yang cerdas bisa sangat membantu, tapi tetap tergantung siapa yang
pegang kendali. Karena sepintar apa pun Karen, kalau yang ngotot tetap
Plankton, ya gagal juga ujung-ujungnya.
Film Fiksi Pagi Minggu yang Kini Beneran Nyata
Jika dipikir-pikir, spesifikasi fiksi dari Karen,
komputer sekaligus istri Plankton di SpongeBob SquarePants, sebenarnya udah
kelewat canggih untuk ukuran kartun anak-anak. Bayangin aja, Karen bisa ngobrol
lancar, bantu menganalisis data dalam hitungan detik, menyusun strategi super
ribet buat nyolong resep Krabby Patty, nyimpen semua memori Plankton, sampai
bisa ngontrol robot bertenaga sendiri secara real-time. Nggak cuma
asisten, dia ini udah kayak CEO divisi R&D Chum Bucket Corp.
Terus kan bikin lebih menarik, Karen juga punya kemampuan
ala-ala AI generatif zaman sekarang. Diam paham bahasa manusia, bisa ambil
keputusan sendiri, dan kadang malah lebih waras dari Plankton yang
meledak-ledak. Karen tuh bukan sekadar monitor di dinding, tapi mitra digital plankton
dikala ia gagal maning. Dulu kita nonton adegan Karen nyindir Plankton sambil
ketawa-ketawa pagi minggu, sekarang malah mikir, “Eh… kok mirip sama AI
zaman sekarang ya?”
Tanpa kita sadari, kartun itu kayak memberi spoiler akan masa
depan terutama dunia komputasi yang bergerak dengan cepat. Dulu kita nonton
Karen sambil menikmati sarapan, sekarang kita ngobrol sama AI sambil bikin
presentasi. Teknologi yang dulu terasa lucu dan terlalu imajinatif, sekarang
udah mulai jadi bagian dari keseharian kita.
Karen memang fiksi, tapi kemampuannya makin terasa
realistis. Mulai dari AI yang bisa bantu nulis artikel, kasih saran desain,
sampai yang bantuin kita mikirin ide konten. Bedanya, AI sekarang nggak
sindiran sarkas kayak Karen. Mana tahu kini sedang dikembangkan bila hasil
karya kita jelek biar ngga malu-maluin bila sudah siap buat diposting.
Terakhir hal paling mind-blowing lagi, semua itu terjadi
hanya dalam waktu dua dekade. Dulu laptop cuma buat ngetik tugas Word, sekarang
udah bisa bantuin mikir strategi konten, meringkas artikel panjang, bahkan
bikin ilustrasi dari prompt tulisan doang. Hal yang dulu kita anggap terlalu “kartun”,
kini benar-benar bisa kita genggam dalam wujud laptop. Bagaimana sudah punya
laptop begituan?
Pengalaman Hidup di Tiga Zona Waktu Perkembangan Laptop
Saya coba bercerita bahwa selama 15 tahun terakhir punya
laptop. Bermula dari tahun 2010 hingga sekarang, ada tiga fase laptop menurut
saya. Dulunya hanya sebatas komputer jinjing yang bisa buat kerja hingga di
masa sekarang menjadi asisten pribadi dengan kemampuan cerdas
Loncatan yang cukup besar dan tentunya saya coba
membagikan pengalaman laptop di masa itu hingga sekarang. Pasti saya yang 15
tahun lalu akan takjub bagaimana laptop bisa berkembang dengan cepat. Begitulah
arah jalan teknologi yang tak terduga-duga.
Pengalaman buat tugas awal mula laptop eksis
Perjalanan awal membuat tugas sekolah di awal 2010-an
adalah kendala terberat. Saat itu saya baru punya laptop saat semester ketiga.
Artinya di dua semester pertama harus kesulitan dalam membuat tugas, semuanya
harus ditulis di buku tulis. Jelas ini sulit dan tidak nyaman, bila ada tugas
hal yang saya lakukan adalah pergi ke warnet terdekat.
Sembari mengambil paket malam yang harganya terjangkau,
kadang 10 ribuan bisa sampai pagi hari. Selain itu internetnya cukup cepat di
waktu-waktu tersebut, awal inilah juga saya mengenal blog yang sudah berdiri
sejak tahun 2010.
Laptop dulu tebalnya di atas 2 cm, dan beratnya bisa sampai 2,5 kg. Pinggang terasa pegal bila dibawa di dalam ransel. Colokan adalah surga yang begitu syahdu, karena baterai yang masih bongkar pasang gampang down hanya dalam hitungan setahun saja. Jadi colokan adalah hal wajib dibawa ke mana saja, ibarat pasien kritis hemodilisa yang sudah rutin cuci darah.
Hal yang wajib buat laptop dulu tentunya aplikasi office
yang tentu saja bajakan. Baru sebulan pakai sudah muncul kata-kata jimat: Product
Activation Failed. Mana ngga bisa disimpan lagi karena mati dan hasilnya
cari sumber yang harus dicrack. Aplikasi lainnya tentu saja Winamp buat dengar
lagu dan GOM Media Player buat putar video.
Kualitas layarnya pun masih TN yang dilihat ngga tegak
langsung buram. Dulu sempat ada teman yang sudah punya laptop layar IPS. Wah
itu kayak lihat cewek cantik lewat, langka banget dan terbayang-bayang bisa
punya laptop seperti itu.
Itu Cuma angan-angan karena yang sudah diberikan oleh
orang tua sudah dari cukup. Iya.. cukup buat tugas, cukup main game yang kadang
ngos-ngosan sampai harus cabut baterai dan hapus banyak file biar gamenya muat
serta lancar jaya.
Masa Awal Laptop Makin Tipis dan Punya Segmen
Sendiri
Masuk ke pertengahan 2010-an, laptop mulai menunjukkan
jati diri baru. Kalau dulu semua laptop bentuknya sama, kini mulai muncul
segmen-segmen khusus: ada laptop buat gaming, buat kerja kantoran, buat desain,
bahkan buat mahasiswa kere hore yang penting bisa ngetik skripsi. Saya mulai
sadar bahwa laptop bukan lagi barang umum, tapi sudah punya identitas
tergantung siapa pemiliknya.
Bentuknya pun mulai berubah, nggak ada lagi yang tebal-tebal kecuali buat gamming hardcore. Bobotnya turun pelan-pelan, ukuran layar lebih variatif, dan beberapa sudah mulai pakai SSD walau harganya masih sangat muahall. Layar TN masih dominan, tapi versi IPS mulai muncul di pasaran menengah. Dan kalau dulu colokan charger selalu menempel, era ini mulai hadir baterai yang lebih tahan walau belum sampai seharian.
Yang paling kentara? Mulai muncul fitur-fitur modern seperti fingerprint scanner, keyboard
backlit, dan desain tipis ringan yang cocok buat dibawa ke kampus atau kafe.
Saya masih ingat saat beli laptop baru tahun 2016, rasanya seperti naik kasta.
Nggak perlu lagi heran kenapa keyboard panas atau RAM selalu penuh.
Meski belum kenal AI, tapi performanya udah jauh lebih
nyaman dan terasa lebih personal banget. Lalu Masa saat pandemi di sinilah AI
mulai hadir, banyak yang belum tahu sudah diadaptasikan pada laptop. Berbagai
situs yang memberikan layanan berbasis AI bermunculan seperti jamur di musim
hujan. Saat itu orang sangat takjub dengan AI yang dianggap jadi ide
revolusioner. Apakah itu buat perintah dasar, mencari informasi hingga membuat
gambar sederhana.
Kemunculan seperti ChatGPT, Dall-E hingga Midjourney seakan
membuat warna baru dalam dunia konten kreator. Banyak konten kreator takut akan
kehadiran AI bisa mengganggu eksistensinya dan bahkan ada yang tak menggubris.
AI hanyalah gimmick buat sebagian orang kala itu, seakan dengan perlahan makin
sempurna dan jauh lebih baik.
Namun waktu menjawab semuanya. AI bukan lagi sekadar
gimmick, tapi sudah jadi alat tempur utama di dunia digital. Mereka yang
awalnya ragu, kini justru mulai mengandalkannya. Saya sendiri, yang dulu cuma
penonton perkembangan ini, sekarang malah ikut jadi bagian dari gelombangnya.
AI bukan pengganti kreativitas, tapi penguatnya. Tinggal bagaimana kita
menyikapinya. Apakah mau kolaborasi, atau sekadar jadi penonton perubahan
zaman.
Laptop Saat Era saat AI Digdaya
Kini, memasuki tahun 2025, kita benar-benar berada di era
baru. AI bukan lagi sekadar fitur tambahan atau sekadar aplikasi web, tapi
sudah menyatu dalam sistem inti laptop itu sendiri. Bukan hanya wajahnya yang
berubah, tetapi juga otaknya. Laptop saat ini dilengkapi dengan NPU (Neural
Processing Unit), otak ketiga di luar CPU dan GPU, yang dikhususkan untuk
menangani tugas-tugas berbasis kecerdasan buatan.
Internet bukan hal yang terlalu penting lagi sebab proses mencari data sudah bisa dilakukan secara offline berkat teknologi 45+ TOPS. Hasilnya joss banget!!!. Apakah itu urusan terjemahan, menghapus objek di gambar hanya dengan klik, hingga menyarankan peringkasan dokumen panjang. Semua bisa dilakukan langsung dari perangkat, tanpa harus menunggu kirim data ke server luar.
AI kini bukan hanya menjadi alat bantu, tapi telah naik
kasta menjadi mitra berpikir. Ia membantu, menyesuaikan diri, dan belajar dari
pola kerja kita. Tak ubahnya seperti memiliki asisten pribadi yang bekerja maksimal.
Seakan manusia kini ingin lebih privasi saat berurusan dengan data pribadi,
internet dianggap punya celah dalam kejahatan siber.
Jadi penasaran dengan laptop versi sekarang yang sudah
punya NPU dan Teknologi 45+ TOPS. Sudah pasti mengungguli dan kinerjanya. Bagi
saya pribadi, laptop makin canggih akan buat pekerjaan jadi lebih mudah. Seakan
kita punya shortcut di saat orang lain harus melewati tahapan lebih panjang
buat menyiapkan tugas atau karyanya.
Pengalaman Pribadi: Rasanya Buat Tugas Dulu vs Sekarang
Rasanya saya sering berandai-andai, teknologi komputasi
kini sudah saya miliki saat itu rasanya buat tugas begitu gampang. Pengalaman
ini yang saya rasakan sendiri saat membuat tugas kuliah hingga tugas akhir di
medio tahun 2010-an.
Untuk buat tugas yang diberikan oleh dosen hal pertama
kali dilakukan tentu saja mencari di Google. Dulu tak ada ChatGPT atau
Perplexity AI yang bisa mengarahkan apa yang ini kita cari, semuanya manual
dilakukan yaitu ke halaman pencarian Google bahkan hal yang paling asing:
halaman kedua Google dan seterusnya.
Hasilnya kadang ada, kadang nihil hanya untuk membuat
tugas. Bahkan kalau kamu copy-paste bulat-bulat pasti diomelin sama dosen
sampai pada dititik bisa ngulang mata kuliah akibat copas. Sedangkan dulu
Google Scholar belum populer dan masih sedikit tulisan alumni sepuh
se-Indonesia dan dunia bisa ditemukan karena masih hardcopy.
Biar lebih rajin, cara terbaik adalah datang ke pustaka
terdekat dan jadi anggota tetap. Lalu saatnya mencari bahan dengan teliti dan
menuliskannya dalam wujud tugas. Melelahkan memang tapi ini membuat mahasiswa
bisa belajar mencari data itu sulit banget. Itu dalam rentang 15 tahun lalu,
bisa dibayangkan orang tua kita dulu yang masih mengandalkan mesin ketik. Jelas
lebih sulit lagi dan zaman terus berkembang dengan cepat.
Kini mencari tugas jadi lebih gampang, opsi mahasiswa
jadi lebih banyak dan beragam. Bisa mengembangkan informasi dari Prompt
ChatGPT, mencari di berbagai jurnal kompeten di Google Scholar hingga bahkan
berlangganan jurnal digital yang mendukung buat tugas jadi berkualitas.
Saya mencoba menggambarkan dunia saat ini saat AI hadir, manusia jadi lebih bisa kreatif dan punya karya. Hambatan besar masa saya dulu di S1 adalah keterbatasan informasi yang buat sebuah karya jadi butuh waktu lama.
Ibarat seorang tukang masak yang harus melayani
pengunjungnya dari memberikan menu, membuat makanan buatnya dari berbagai macam
hingga bahkan menjadi kasir untuk proses pembayarannya. Sedangkan saat AI
hadir, saya mengibaratkan kita sebagai Kepala Koki di sebuah restoran ternama.
Tugasnya hanya satu: menyuruh para karyawannya yang cukup
andal tersebut buat memasak berbagai menu yang pengunjung inginkan sesuai
arahan dari Kepala Koki. Perannya adalah memberikan prompt pada karyawannya
bagaimana cita rasa hingga akhirnya sampai ke meja pengunjungnya.
Tugas manusia di sini jadi hanya memerintah, ia yang tahu
hasil akhir sebuah karya bukan karena sudah banyak karyawan alias AI tadi kita
langsung terima beres atas apa yang ia masak. Kredibilitas yang kita bangun
bertahun-tahun bisa saja rusak dalam seketika. Ini hal yang sama buat konten
kreator, karena semua serba AI karena malas mikir akhirnya gaya tulisannya
hingga gambar murni 100% AI tanpa ada lagi self-writing dan editing.
Terus apa sih yang harus kita lakukan?
Semuanya adalah tools, kita yang bisa memanfaatkannya
secara optimal terutama sekali urusan Quality Control atas apa yang kita
produksi. Malahan saat tools sudah banyak produktivitas jadi lebih banyak. Dulu
buat menulis di blog butuh waktu cukup lama buat riset panjang hingga
tulisannya jadi. Browsing dan nonton video sebanyak mungkin yang melelahkan,
lalu kemudian dituangkan dalam tulisan.
Ada banyak cangkir kopi hingga sebuah karya dihasilkan
ditambah kouta internet di sana
Saya pribadi mengalami hal serupa, butuh waktu hingga 2
mingguan dirasa cukup proper buat dipost. Setelahnya kemudian apakah bisa
langsung post, jelas tidak. Ada teknik lainnya misalnya pemilihan judul, gambar
yang bagus harus dibuat sedemikian rupa yang bahkan menghabiskan waktu lama.
Lalu akhirnya baru dipost.
Tapi kini jadi lebih gampang, AI sudah hadirkan dan
bahkan tak harus ke Coffe Shop untuk bisa menghasilkan ide. Tak perlu browsing
banyak dan menonton video yang cukup banyak hingga tulisan dianggap cukup kuat.
Semuanya sudah ada dan tinggal kita manfaatkan semaksimal mungkin.
Cukup duduk, buka laptop, dan keluarkan satu-dua kalimat
pembuka. Lalu Copilot+ siap membantu mengembangkan sisanya. Mulai dari ngerangkum
artikel, memperbaiki tata bahasa, nyusun ulang paragraf, bahkan sampai ngasih
saran judul yang lebih menarik. Nggak perlu lagi ngopi lima cangkir cuma buat
satu tulisan yang pas di hati. Sekarang cukup satu laptop AI, seperti ASUS
Zenbook dengan NPU 45+ TOPS, semua jadi lebih cepat, ringan, dan tetap
terasa personal.
Dulu saya menulis pakai hati, sekarang masih pakai hati dan
pikiran karena AI sudah paham luar dalam atas apa yang saya tulis. Hmmm. Kalau
boleh jujur, kalau teknologi sekeren ini sudah ada dari dulu, mungkin
tugas-tugas zaman kuliah bakal lebih sering dikumpulkan tepat waktu. Bahkan
saya jadi paling jago buat memaksimalkannya.
Tugas Baru, Tanggung Jawab Baru dan Alat Kerja Baru
Tahun 2025 adalah tahun yang penuh rasa dan gembira.
Setelah sekian lama mengabdi dalam wujud tenaga kontrak selama 7 tahun.
Akhirnya di awal tahun 2025 saya pun berhasil lulus P3K (Pegawai Pemerintah
dengan Perjanjian Kerja) di daerah saya, Provinsi Aceh.
Rasanya campur aduk dan bisa jadi arah baru dalam karier
saya apalagi kali ini bidang yang saya pilih cocok dengan kualifikasi ijazah
dan keilmuan. Bulan Agustus nanti jadi pelantikan setelah penantian panjang
hampir 8 bulan lamanya, memang ada info yang mengatakan penugasan akan ditunda
sampai April 2026. Tetapi akhirnya bisa terjadi segera dan harus rampung
se-Indonesia sebelum bulan Oktober 2025.
Kabar gembira tentu, pindah ke instansi baru yang mana sebelum saya bekerja di Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Provinsi Aceh. Kini berpindah ke Dinas Pemberdayaan Masyarakat Gampong (DPMG) (mirip kementerian desa). Buat yang belum tahu, Aceh punya sedikit keunikan terutama sekali punya Qanun alias UU yang membolehkan punya lembaga sendiri. Nah DPMG hasil bentukan tersebut yang akan memberdayakan desa (Gampong).
Memasuki babak baru sebagai P3K di bidang Pengembangan
Kawasan, Sumber Daya Alam, dan Teknologi Tepat Guna Gampong, saya mulai bersiap
menghadapi tantangan yang jauh lebih kompleks. Bukan lagi sekadar urusan
administrasi, tapi juga mulai masuk ke ranah analisis kawasan, pelaporan
berbasis data, hingga penerapan teknologi tepat guna yang berdampak langsung ke
masyarakat. Dan semua itu tentu perlu didukung oleh perangkat kerja digital
yang mumpuni.
Aplikasi pertama yang pasti akan sering saya buka di
laptop nantinya tentu saja QGIS atau ArcGIS, dua aplikasi peta digital yang
penting untuk membaca data spasial wilayah gampong. Mulai dari potensi lahan,
titik sumber air, batas wilayah, hingga rencana pengembangan kawasan ekonomi
desa.
Tugas utama saya tentunya melakukan sejumlah survei pada
desa-desa yang ada di Aceh. Jelas sangat banyak desa yang harus dilakukan
survei secara menyeluruh sedangkan jumlah kami terbatas. Cara biar kerja
optimal tentu saja ada perangkat yang mampu menunjang kinerja jadi lebih cepat.
Sebab aplikasi mengharuskan untuk membuka satu layer peta
saja sudah berat, apalagi kalau harus gabungkan dengan data shapefile,
satellite imagery, dan overlay kawasan rawan bencana. Pengolahan
datanya butuh laptop dengan RAM besar dan prosesor kencang agar render tidak
patah-patah.
Lalu urusan laporan?
Sering kali saya harus tarik data dari Om-SPAN,
Siskeudes, dan SIPD Kemendagri, yang semuanya berbasis web dan mengharuskan
buka Chrome atau Edge dengan belasan tab. Itu belum ditambah buka Excel berisi
PivotTable ukuran jumbo, menyunting laporan di Word, dan menyusun presentasi
visual di PowerPoint sebagai pelaporan tugas
Kadang, saya juga diminta membuat bahan sosialisasi
interaktif, jadi pakai Canva Pro, atau bikin video pendek dokumentasi kegiatan
pakai CapCut Desktop. Semua dilakukan secara paralel, dan multitasking berat
kayak gini nggak akan sanggup ditangani oleh laptop biasa.
Di sinilah ASUS Zenbook S14 OLED (UX5406SA) terasa sangat relevan. Dibekali prosesor Snapdragon® X Elite dengan NPU bertenaga 45+ TOPS, laptop ini sanggup menjalankan komputasi AI tanpa internet. Fitur seperti Windows Copilot+, AI Summarization, Live Captions, sampai Speech-to-Text jadi penolong banget saat saya harus mengejar deadline laporan. Bahkan ketika sedang offline di desa terpencil, fitur AI-nya tetap bisa saya manfaatkan karena diproses lokal, bukan lewat cloud.
Hal yang bikin saya betah pakai seharian, layarnya pakai
ASUS Lumina OLED resolusi 3K yang nyaman di mata dan warna tampilannya tajam.
Saat saya bandingkan peta citra satelit di QGIS, detail warna vegetasi dan
kontur lebih kelihatan jelas. Apalagi fitur AI Noise Cancellation dan
kamera dengan AI-enhanced visual, bikin video call tetap lancar meski suasana
lapangan kadang berisik dan pencahayaan kurang.
Bukan cuma performa, Zenbook ini juga ringan banget, cuma
1,2 kg dengan ketebalan 1,1 cm. Cocok dibawa ke lokasi, ke kantor kecamatan, atau
saat harus presentasi ke provinsi. Baterainya pun tahan lama karena efisiensi
daya dari NPU jauh lebih hemat dibanding laptop konvensional yang hanya
mengandalkan CPU/GPU. Buat saya yang harus pindah-pindah tempat kerja, ini
bukan cuma soal gaya, tapi juga soal daya tahan.
Nah... dengan beban kerja yang makin teknis dan butuh
presisi tinggi, saya bersyukur sudah punya laptop yang bisa diandalkan bukan
hanya untuk mengetik, tapi bisa jadi
asisten teknis cerdas dalam berpikir, menganalisis, dan mengeksekusi pekerjaan
dengan cepat. Kalau laptop dulu hanya alat bantu, Zenbook S14 OLED ini rasanya
seperti rekan kerja yang paham ritme dan kebutuhan saya di era kerja modern.
Tonggak Sejarah Baru, Laptop Bukan Lagi Sekadar Pintar,
Tapi Juga Cerdas
Jika Osborne 1 jadi tonggak sejarah munculnya laptop
pertama pada tahun 1981, maka satu dekade terakhir ini adalah titik balik besar
ketika laptop bukan hanya pintar secara komputasi, tapi juga mulai berpikir
secara mandiri. Kita mengenalnya dengan istilah yang kini ramai dibicarakan: AI
PC.
Laptop dulu ibarat tukang bangunan yang kuat, tapi harus terus disuruh dan diawasi. Semua tugas dilakukan secara manual, dari ngetik, edit, sampai bikin presentasi. Tapi sekarang? Laptop sudah lebih cerdas dalam membantu proses bekerja perubahan besar ini terjadi karena satu komponen baru yang revolusioner: NPU (Neural Processing Unit).
Telah ada sebuah chip khusus yang dibenamkan langsung ke
dalam prosesor. Tidak seperti CPU atau GPU yang bekerja secara umum, NPU
diciptakan khusus untuk memproses tugas-tugas berkat AI sehingga hasilnya jadi
cepet dan efisien. NPU bukan sekadar fitur tambahan, melainkan fondasi utama
dalam menciptakan laptop masa depan.
Mengapa harus 45+ TOPS? Karena unit pengolah AI modern kini membutuhkan performa super tinggi
untuk bisa menjalankan berbagai proses secara real-time, termasuk untuk
aplikasi generative AI, fitur visual canggih, hingga asisten pintar yang
adaptif terhadap penggunanya. TOPS (Tera Operations Per Second) adalah
ukuran seberapa banyak operasi AI yang bisa dilakukan setiap detik.
Maka semakin besar angka TOPS, semakin tinggi pula kapabilitas AI laptop tersebut. Dengan 45+ TOPS, laptop mampu mengerjakan jutaan permintaan AI. Nah.. apakah itu urusan menerjemahkan suara ke teks, menghapus objek di gambar, memperbaiki resolusi gambar, hingga membuat ilustrasi baru hanya dari perintah suara atau teks sederhana.
Keunggulan nyata dari laptop ber-NPU 45+ TOPS seperti ASUS
Zenbook S14 OLED juga terletak pada efisiensi daya yang luar biasa. Karena
NPU bekerja lebih hemat dibanding CPU/GPU, pemrosesan AI tidak lagi menguras
baterai. Bahkan, laptop bisa tetap dingin karena panas yang dihasilkan jauh
lebih rendah, sehingga masa pakai baterai pun menjadi lebih panjang. Semua ini
memungkinkan pengguna bekerja lebih lama, lebih tenang, dan lebih fokus,
terutama saat mobile.
Menariknya ASUS menghadirkan sejumlah fitur eksklusif berbasis AI melalui aplikasi seperti StoryCube dan MuseTree, yang dirancang khusus untuk membantu pengelolaan konten kreatif dan media. Tak ketinggalan fitur AI yang sudah terintegrasi dengan Windows Copilot+, seperti AI CoCreator (image generator di Paint), Live Caption (speech-to-text), Studio Effect (kamera pintar), dan Generative Fill (pengeditan gambar berbasis AI). Semua fitur ini hadir secara lokal dan dapat digunakan tanpa internet, berkat NPU berkapasitas tinggi.
ASUS jadi salah satu brand dengan line-up 45+ TOPS paling
lengkap di Indonesia, mulai dari seri Zenbook dan Vivobook untuk pengguna umum,
hingga ProArt series untuk kreator profesional. Kombinasi CPU, GPU, dan NPU
berkinerja tinggi, didukung daya tahan baterai yang efisien dan desain premium,
menjadikan ASUS sebagai pelopor laptop AI yang benar-benar siap menyongsong
masa depan.
Zenbook S14 OLED (UX5406SA): Ringan Dibawa,
Berat di Otak, Siap Hadapi Hidup Serius
Saya sudah hidup cukup lama bersama berbagai
generasi laptop. Dari zaman laptop tebal dan berat di 2010-an, sampai kini di
2025 saat semuanya berubah begitu cepat. Sekarang, saya sudah masuk ke dunia
kerja baru dari sebelumnya bekerja di Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah.
Lalu ganti arah ke di Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Gampong.
Tugas saya bukan cuma seputar administrasi,
tapi juga soal pengembangan kawasan desa, pengelolaan data spasial, dan
teknologi tepat guna yang benar-benar harus teruji, baik di meja kerja maupun
di lapangan. Belum lagi aktivitas saya sebagai blogger, calon mahasiswa
doktoral, sampai konten kreator atas blog saya sendiri.
Di titik inilah saya menyadari:
saya butuh laptop yang bukan cuma cepat, tapi juga cerdas.
ASUS Zenbook S14 OLED (UX5406SA) sangat cocok
untuk menjalankan aplikasi-aplikasi modern yang sudah mendukung teknologi AI.
ASUS Zenbook S14 (UX5406SA) sudah diperkuat oleh Intel® Core™ Ultra 7 Processor
258V 32GB 2.2GHz yang memiliki 8 core dan 8 thread. Prosesor tersebut
dilengkapi dengan Intel® Arc™ Graphics serta chip AI berbasis Intel® AI Boost
NPU dengan kecepatan hingga 47 TOPS.
Buat saya yang sering kerja di daerah atau
sedang liputan ke desa-desa yang sinyalnya langka, ini menyelamatkan. Bayangkan,
saya bisa transkrip hasil wawancara dengan perangkat desa pakai fitur Live
Captions, bisa langsung ringkas hasil dokumen dari dinas pakai AI
summarization, bahkan bisa buka Copilot+ langsung dari keyboard. Semua
dijalankan secara lokal oleh NPU, jadi saya nggak perlu khawatir soal koneksi
atau hal berbau data pribadi.
Ini penting banget, terutama buat saya yang
nulis artikel orisinal, dokumen kebijakan, atau bahkan rencana pengembangan
kawasan yang masih bersifat internal. Dulu saya ragu pakai tools online karena
takut data bocor, tapi sekarang saya bisa kerja lebih tenang karena semua AI
diproses langsung di laptop.
Sebagai blogger dan content creator juga, Zenbook S14 OLED ini benar-benar memanjakan sisi kreatif saya. Layarnya pakai panel ASUS Lumina OLED 3K 120Hz, yang bikin warna tampak hidup dan tajam. Layarnya juga sudah lolos sertifikasi Pantone Validated dan TÜV Rheinland, artinya aman untuk mata meski harus begadang semalaman menyelesaikan artikel atau laporan.
Saya termasuk orang yang bisa duduk
berjam-jam di depan layar laptop. Mulai dari ngetik artikel blog, ngulik data
untuk laporan kawasan, bikin ilustrasi visual dengan AI, sampai sekadar nyari
inspirasi nonton video dokumenter. Aktivitas ini kadang bisa berlangsung lebih
dari 8 jam sehari. Tapi saya akui, di balik produktivitas itu, ada satu hal
yang sering jadi musuh diam-diam: mata lelah dan kepala nyut-nyutan.
Di masa lalu, saya pernah pakai laptop dengan
layar standar TN. Warna kusam, sudut pandang sempit, dan cahaya birunya tajam
banget. Rasanya seperti nonton film pakai kacamata minus yang salah resep. Baru
dua jam kerja, mata udah panas, kepala mulai berat. Saya sempat kira ini karena
faktor umur atau kopi yang kurang manis. Ternyata bukan, layar laptop saya
sendiri yang menyiksa retina.
Itu sebabnya, waktu saya tahu ASUS Zenbook S14 OLED punya layar ASUS Lumina OLED yang didesain untuk kerja panjang, saya
langsung tertarik. Bukan cuma tampilan visualnya yang tajam dan indah, tapi
juga dibekali fitur Low Blue Light, anti-flicker, dan color accuracy Delta-E
< 1. Artinya? Mata saya nggak cepat lelah meskipun nulis dari siang sampai
tengah malam. Warna tetap presisi, nggak pudar, dan lebih enak dipandang walau
saya pakai mode gelap di ruangan minim cahaya.
Apalagi buat saya yang juga hobi ngulik
desain visual dan sesekali edit musik, layar seperti ini bukan cuma soal
estetika. Ini soal kenyamanan jangka panjang. Saya bisa kerja lebih fokus,
tanpa perlu jeda sering-sering karena pandangan kabur atau kepala cenat-cenut.
Layar bukan lagi sekadar tempat menyelesaikan
kerjaan, tapi jendela utama yang menentukan seberapa nyaman saya bisa berkarya. ASUS Zenbook S14 OLED berhasil membuktikan bahwa teknologi canggih juga
bisa bersahabat dengan tubuh kita, terutama mata yang selama ini jadi korban.
Soal audio juga nggak main-main. Laptop ini
punya 4 speaker Harman Kardon dan Dolby Atmos, jadi pas saya ngedit video. Hasilnya
kedengaran jauh lebih bersih dan bulat. Kalau saya pakai buat Zoom meeting,
sistem AI noise cancellation bikin suara saya tetap terdengar jelas
walau suasana sekitar berisik. Bahkan fitur webcam-nya sudah AI-based, bisa
blur latar otomatis saat rapat, dan auto-framing saat saya harus berdiri
presentasi di forum publik.
Tapi yang bikin makin nyaman? Desain dan daya tahan. Laptop ini hanya setebal 1,1 cm dan berat 1,2 kg, cocok untuk gaya kerja lapangan yang sering berpindah tempat. Baterainya pun tahan lama hingga 18 jam dalam sekali charge. Dan satu hal yang bikin saya salut: bodinya terbuat dari bahan daur ulang berbasis Ceraluminum dan sudah EPEAT Gold Certified. Semuanya sesuai dengan nilai-nilai pekerjaan saya yang berfokus pada pembangunan berkelanjutan dan teknologi tepat guna untuk masyarakat desa.
Kalau dipikir-pikir, laptop ini benar-benar
menjawab semua kebutuhan saya. Dari pekerjaan serius, hobi kreatif, hingga
kepercayaan bahwa teknologi bisa membantu, bukan menggantikan. Zenbook S14
OLED bukan cuma perangkat kerja, ia jadi partner yang paham cara saya berpikir,
cara saya bergerak, dan cara saya berkarya.
Mau nulis blog, bikin proposal kawasan, atau
presentasi program ke provinsi. Semuanya bisa saya lakukan hanya dengan satu
perangkat. Bukan sekadar ringan dibawa, tapi juga berat dalam performa dan kaya
fitur yang relevan dengan hidup saya. Zenbook S14 OLED bukan cuma soal
spesifikasi, tapi soal bagaimana ia menyatu dengan ritme saya: sebagai ASN,
sebagai blogger, sebagai manusia yang terus bergerak dan berkarya.
Nonton Video Mbak Katerina Langsung dari
Youtube ASUS Indonesia
Seperti biasa di Jumat Sore, ASUS acara yang mengundang berbagai expert terlibat dalam memperkenalkan produk dan ilmu baru. Kebetulan pada Episode ASUS ke 168 tersebut, Mbak Katerina jadi pemateri yang membahas ASUS Zenbook S14 OLED yang sudah punya teknologi baru yaitu performa NPU di atas 45 TOPS.
Tayangannya saya tonton dari awal sampai
habis, dan rasanya seperti ikut kelas singkat tentang bagaimana cara kerja
laptop modern yang tak lagi bergantung pada koneksi internet. Hal yang paling
mencuri perhatian saya adalah bagaimana ASUS kini menyatukan berbagai
keunggulan hardware dalam satu sistem terpadu yang dipandu oleh NPU.
Bukan hanya sekadar laptop dengan prosesor kencang atau layar tajam, tapi perangkat yang benar-benar punya kecerdasan mandiri. Ia bisa mengatur fitur seperti Windows Copilot+, summarization otomatis, noise cancellation, hingga speech-to-text real time. Dan kerennya, semua itu berjalan secara lokal, tanpa harus terhubung ke internet. Fitur ini sangat relevan buat saya yang bekerja di daerah, kadang sinyal hanya jadi pajangan di pojok layar.
Dari live bareng ASUS tersebut, saya juga
dapat satu hal penting: bahwa ASUS tak sekadar menjual laptop, tapi membawa
filosofi kerja baru. Semuanya jadi lebih cepat, lebih cerdas, dan tetap aman.
Sebagai blogger dan mentor, saya sangat menghargai betapa pentingnya keamanan
data.
Dulu saya sempat khawatir setiap kali harus menggunakan AI berbasis cloud, takut ide-ide orisinal saya tersimpan di tempat yang tidak saya kendalikan. Tapi dengan Zenbook S14 OLED, semua pemrosesan AI dilakukan langsung di perangkat. Data saya tetap di tangan saya. Dan itu priceless.
Di akhir video, Mbak Rina juga menyinggung
adanya lomba blog yang kembali digelar oleh ASUS. Rasanya seperti sinyal
semesta buat saya kembali menulis panjang lebar soal teknologi. Tentu saja
dengan sudut pandang personal yang tidak sekadar review, tapi pengalaman pribadi
saja bertahun-tahun yang tumbuh bersama laptop, dari era tugas offline hingga
kini di zaman AI. Kan mana tahu, dari tulisan ini bisa jadi salah satu bentuk
apresiasi saya terhadap apa yang sudah dibawa ASUS ke meja kerja saya hari ini.
Andai Punya Zenbook: Menulis Tak Lagi Sendirian
Saya membayangkan bagaimana kesepiannya Plankton di Chum
Bucket, tapi dia tak sendirian ada Karen si istri komputer yang menemaninya.
Seperti itulah gambaran saya tapi bukan dalam kehidupan tapi dalam bekerja. Menjadi blogger, ASN, dan calon mahasiswa doktoral tentu bukan pekerjaan ringan. Hidup saya penuh dengan tumpukan ide, tab yang tak kunjung ditutup, file referensi yang berderet, serta catatan suara yang kadang tercecer.
Dulu (dan masih sampai sekarang), saya harus buka banyak
aplikasi hanya untuk mengerjakan satu tulisan. Browsing untuk riset, buka
dokumen Word, pindah ke aplikasi catatan, terus edit gambar pakai software
terpisah. Belum lagi kalau bikin konten gambar dan video yang bejibun
banyaknya. Capek sendiri ngebayanginnya.
Lalu saya lihat Zenbook S14 OLED dari ASUS. Dan saya mulai membayangkan… andai saja saya sudah punya laptop ini sekarang, pasti semuanya bakal jauh lebih sederhana. Bukan cuma karena bentuknya yang tipis dan ringan, tapi karena laptop ini sudah dibekali kecerdasan buatan dalam wujud NPU 45+ TOPS. Otak canggih yang bisa menjalankan berbagai fitur AI secara lokal, tanpa butuh internet.
Sebagai orang yang sering kerja hingga ke pelosok daerah
buat melakukan survei ke desa-desa. Laptop ini buat saya ibarat anugerah
digital yang sangat dibutuhkan. Bayangkan, saat saya stuck menulis, ada
Copilot+ yang bisa bantu menyusun ulang paragraf, merapikan alur, bahkan kasih
insight dari catatan yang saya kumpulkan. Termasuk laporan yang harus siap
segera dan atasan minta segera disiapkan.
Kalau butuh gambar ilustrasi? Cukup dengan Cocreator, tinggal tulis prompt, dan boom, muncul gambar yang
sesuai untuk melengkapi tulisan blog saya. Semuanya diproses langsung di
laptop. Tak perlu online, tak perlu khawatir sinyal hilang. Saya pun bisa tetap
fokus tanpa distraksi koneksi yang bikin kita candu dengan sosial media.
Apalagi semua konten sifatnya Brain Rot.
Lalu kalau harus bikin video? Zenbook ini punya fitur Studio Effects seperti background blur, eye contact
correction, dan auto framing. Bikin proses rekaman jadi lebih clean tanpa harus
diedit lagi. Bahkan suara bising dari tetangga pun bisa diredam otomatis berkat
AI noise cancellation. Buat blogger yang kadang harus kerja di rumah,
perpustakaan, bahkan kafe pinggir jalan, ini jelas solusi yang nggak bisa
dianggap remeh.
Fitur yang bikin saya benar-benar ngiler tentu saja Speech-to-text
dan text summarization. Saat ide meluncur deras tapi tangan lagi malas
ngetik, tinggal ngomong, dan laptop akan ubah jadi teks. Referensi yang panjang
bisa langsung diringkas jadi poin-poin penting.
Bayangkan betapa banyak waktu yang bisa saya hemat, dan
betapa menyenangkannya bisa fokus ke kualitas tulisan, bukan ribet teknis. Zenbook
S14 OLED ini terasa seperti tim kecil digital yang duduk di sebelah saya. Tak
menggurui, tapi membantu. Tak menggantikan kreativitas, tapi mempercepat
prosesnya.
Meski belum memilikinya, saya bisa membayangkan bagaimana ASUS Zenbook S14 OLED jadi mitra kerja ideal dalam hidup digital saya. Dengan fitur AI lokal seperti Copilot+, Cocreator, dan speech-to-text, laptop ini bukan sekadar alat, tapi asisten pribadi yang tahu ritme saya berpikir dan berkarya. Ia hadir saat ide muncul tengah malam, saat sinyal hilang di pelosok, hingga saat saya harus multitasking antara riset, laporan kerja, dan menulis blog.
Saya ingin menjadikannya bagian dari langkah besar saya:
menyelesaikan studi doktoral, bekerja lebih efisien di instansi baru, dan terus
produktif sebagai blogger. Teknologi terbaik bukan yang menggantikan kita, tapi
yang bisa mengikuti cara kita berpikir dan bekerja. Zenbook ini, sejauh yang
saya lihat, adalah bentuk nyata dari harapan itu.
Menjadi Lebih Terdepan dalam Mempersiapkan Studi dengan
ASUS Zenbook S14 OLED
Selain tahun ini pindah ke kantor baru, saya pun sedang
mempersiapkan penelitian terkait studi doktoral yang akan dimulai di tahun
depan. Ada banyak tantangan yang harus dipersiapkan dan deadline harus selesai
di akhir bulan Juli tahun ini. Jelas dag-dig dug karena waktunya mepet dengan
sejumlah deadline lainnya.
Jelas dalam membuat proposal disertasi harus
mempersiapkan banyak referensi ilmiah yang relevan, merumuskan latar belakang
yang kuat, menyusun kerangka berpikir yang logis, hingga menyiapkan metodologi
riset yang matang. Semua ini tak bisa dilakukan secara asal-asalan, apalagi
jika hanya mengandalkan perangkat yang lambat atau tidak responsif.
Di sinilah kehadiran ASUS Zenbook S14 OLED menjadi juru selamat penyelamat akan performanya berkat prosesor Snapdragon® X Series dan dukungan NPU 45+ TOPS terutama urusan penulisan proposal riset dan analisa data. Ada juga fitur summarization berbasis AI sangat membantu saya dalam merangkum puluhan jurnal yang relevan, speech-to-text mempercepat proses mencatat wawancara atau ide mendadak yang muncul.
Saya yang sudah lama menggunakan Copilot+ sobat buat brainstorming ide. Terutama sekali saat saya buntu menentukan arah tulisan. Ia bisa jadi teman diskusi terutama pada topik-topik berat dan pengembangan ide. Menyiapkan studi doktoral bukan sekadar soal menyusun kata demi kata di proposal disertasi. Ada beban akademik, target waktu, dan tuntutan kualitas yang tak bisa ditawar. Apalagi penelitian saya yang berbasis sains butuh banyak analisis yang sangat kompleks sehingga butuh pemahaman mendalaman. Saya pribadi pun akan fokus dalam penelitian lobster di ujung Indonesia yaitu tepatnya di Sabang, Pulau Weh.
Bila berhasil, laptop jadi nilai investasi yang sangat
besar terutama sekali benda mempermudah pekerjaan. Toh uang yang kita keluarkan
akan sebanding dengan kinerja yang didapatkan. Makanya saya memilih ASUS
Zenbook S14 OLED sebagai alat tempur.
Punya pembacaan cepat data berkat sudah pakai SSD Gen 4
yang super cepat, membuka puluhan jurnal dan dataset tak lagi bikin frustrasi. Jadi
proses pindah dan kopi jurnal jadi gampang saja termasuk sejumlah aplikasi
berat yang makan waktu lama.
Fitur noise canceling-nya juga jadi penyelamat
saat saya harus mereview rekaman wawancara atau mengikuti diskusi online dari
tempat yang tak selalu ideal. Tak perlu tunggu malam hari demi suasana sunyi. Siang
pun bisa tetap fokus karena gangguan suara sekitar langsung disaring.
Mempersiapkan studi doktoral memang bukan perkara mudah
dan menguras banyak pikiran, tapi kini saya tidak lagi bekerja sendirian. Zenbook S14 OLED hadir sebagai rekan kerja digital yang sigap, cerdas, dan
tangguh di segala tantangan akademik. Toh deadline yang menipis bukan jadi
masalah utama, karena hasil dari proposal bisa selesai tepat waktu.
Hobi Terselubung: Studio Musik Mini di Balik Layar Laptop
Kalau ada satu hal yang jarang saya ceritakan dalam
tulisan-tulisan saya, mungkin ini: saya punya hobi terselubung yang sudah saya
tekuni sejak lama yaitu mengedit musik EDM (Electronic Dance Music)
dengan menggunakan FL Studio. Apalagi anak milenial seperti saya, musik
begituan ibarat penyemat dalam tumpukan kerja dan hobi ini sudah lama sejak
kuliah. Seru juga buat memainkan berbagai sound, beat, dan layering suara.
Banyak orang mungkin tak menyangka, di balik tumpukan
dokumen dan aktivitas menulis blog, saya punya hobi terselubung yang cukup
intens: mengedit musik EDM. Buat saya, nge-mix musik itu seperti membangun
puzzle digital terutama lagu-lagu EDM yang hits banget. Rasanya bisa
ngeremixnya seakan tahu seberapa sulit DJ Produser buat bisa menghasilkan satu
karya saja.
Sayangnya, hobi ini bukan tanpa tantangan. FL Studio
bukan aplikasi ringan. Ia butuh banyak sumber daya. Apakah itu urusan CPU, RAM,
maupun kemampuan grafis dan audio processing. Apalagi kalau sudah mulai
memasukkan banyak synth, VST plugin, real-time effects, hingga layering vokal
dan bass drop.
Di titik ini, laptop saya yang sekarang mulai megap-megap
buat bekerja maksimal. Kipas berbunyi seperti sedang pesawat mau take-off, suhu
mendadak naik drastis, dan suara yang dihasilkan malah delay. Belum lagi saat
render lagu ke file MP3 atau WAV bisa makan waktu lama. Sering kali hasil
akhirnya pun glitchy karena processing yang dipaksa.
Alhasil di laptop sekarang saya lebih sering untuk menahan
diri untuk tidak bisa eksplorasi secara maksimal karena keterbatasan performa.
Kadang ide sudah mengalir deras, tapi harus tertunda hanya karena laptop
ngadat, atau malah harus merestart ulang project karena aplikasi tiba-tiba
crash.
Ini bikin mood turun dan energi kreatif jadi keburu
hilang. Padahal dalam proses produksi musik, flow dan inspirasi itu penting
banget. Saya jadi sadar, bahwa untuk menjalani hobi ini secara serius, saya
butuh perangkat yang benar-benar bisa diandalkan, bukan sekadar "cukup
nyala".
Tak berhenti di situ, daya baterai pun jadi korban. FL
Studio memang berat, dan ketika saya buka bersamaan dengan software lain
seperti browser untuk mencari sample, atau OBS untuk rekam tutorial, laptop
langsung panas dan baterai cepat habis.
Saya bahkan pernah merekam mixing lagu selama 30 menit
dan laptop tiba-tiba shutdown karena overheat. Momen kayak gitu langsung bikin
mood turun. Hobi yang seharusnya menyenangkan malah jadi beban karena
keterbatasan alat.
Itulah kenapa saya mulai membayangkan, bagaimana jika
saya punya laptop yang bukan hanya tangguh untuk kerja kantor dan nulis blog,
tapi juga mumpuni untuk dunia musik digital? ASUS Zenbook S14 OLED (UX5406SA)
langsung masuk radar saya. Bukan hanya karena desainnya tipis dan ringan, tapi
karena fitur-fitur yang beyond expectation.
Terpenting tentu saja urusan sistem pendingin vapor
chamber-nya bikin laptop tetap adem bahkan saat menjalankan proyek audio besar.
Ini krusial banget buat musisi digital seperti saya yang kadang bisa berjam-jam
men-tweak suara hanya demi mencari tone yang pas.
Tak kalah penting juga, baterainya tahan lama. Saya bisa
mixing sambil nongkrong di kedai kopi tanpa takut cari colokan tiap satu jam
sekali. Kombinasi layar OLED dengan akurasi warna tinggi juga bikin tampilan FL
Studio jadi lebih enak dipandang. Kelihatan dengan jelas semua elemen UI
terlihat jernih dan detail.
Multitasking Sejati Ciri Khas ASUS Zenbook S14 OLED (UX5406SA)
Baiklah.. dari segala kegiatan saya yang banyak ini,
apakah itu dari menyusun laporan kerja, memantau perkembangan kawasan desa, menulis
blog dan membuat aransemen musik. Sudah pasti harus buka banyak sekali tab,
kadang bisa lebih dari 10 tab browser, satu dokumen Word, FL Studio di latar,
dan sesekali membuka Copilot+ untuk brainstorming ide.
Di laptop lama, kombinasi seperti ini bisa jadi mimpi
buruk buat performanya. Laptop mendadak langsung lambat, panas, dan rentan
crash. Kalau dipaksakan ia menyerah karena kapasitas RAM-nya hanya 8GB. Hadirnya
ASUS Zenbook S14 OLED (UX5406SA) menjawab tantangan multitasking apa pun
sesuai kebutuhannya.
Alasan utama tentu saja dengan dapur pacu prosesor
Snapdragon® X dan sistem pendingin vapor chamber, performanya tetap stabil
bahkan ketika digunakan untuk beban kerja berat sekaligus. Dukungan RAM LPDDR5X
32GB dan SSD Gen4 bikin semua proses tetap mulus dari loading cepat hingga
menyimpan data besar dalam hitungan detik.
Nah.. yang bikin saya takjub, dengan semua itu, laptop ini tetap tipis dan ringan. Beratnya hanya 1,2 kg dan ketebalannya cuma 1,1 cm. Namun bisa menampung seluruh ekosistem digital saya, baik untuk kerja formal maupun kreasi personal. Ini bukan sekadar mobilitas, tapi kemampuan penuh dalam bentuk paling praktis. Untuk saya yang sering bekerja berpindah tempat, fitur ini benar-benar menyelamatkan.
Dari sisi audio, empat speaker bersertifikasi Harman
Kardon dan teknologi Dolby Atmos® menghadirkan suara jernih, bertenaga, dan
immersif. Sangat cocok untuk mendengarkan rekaman wawancara, menikmati lagu EDM
yang Anda edit di FL Studio, atau menyusun video presentasi untuk laporan desa
binaan. Bahkan saat digunakan tanpa headphone, suara laptop ini tetap jelas dan
bertenaga.
Tidak hanya menambah kenyamanan hiburan, keunggulan audio
visual ini juga memberi nilai lebih bagi aktivitas profesional Anda. Saat
presentasi ke tim atau mitra kerja, tampilan visual dan suara yang berkualitas
membuat pesan Anda tersampaikan lebih efektif dan impresif. Ini bukan hanya
tentang gaya, tapi juga tentang efektivitas komunikasi yang semakin
ditingkatkan berkat perangkat yang andal.
Betapa Pentingnya Privasi Keamanan dan AI di Laptop
Adalah Jawabannya
Dulu saat AI baru saja mulai dikenal, saya sempat ragu
untuk menggunakannya secara aktif. Alasannya sederhana: takut ide bocor dan
hanya gimmick semata. Sebagai blogger, saya percaya bahwa ide adalah aset
utama, dan nggak semua ide yang saya ketik di layar siap dipublikasikan.
Beberapa masih setengah matang, beberapa lain mungkin baru berupa konsep yang belum layak dibagikan. Semuanya akan tersimpan di server mereka yang harus diakses dengan internet. Hampir semuanya AI menggunakan basis cloud. Artinya apa yang saya ketik, kirim, atau uji coba harus dikirim ke server luar untuk diproses. Rasanya seperti lagi diskusi kreatif sambil disadap diam-diam.
Nggak nyaman, apalagi ada banyak pencarian yang sifatnya
sensitif dan rawan sekali kebocoran data. Kasus beginian bikin parno apalagi
buat orang yang takut data pribadinya bisa diotak-atik begitu saja. Memang saya
pernah mencoba menginstal AI yang sifatnya offline di laptop, kedengarannya
keren sebab bisa kita kontrol terutama sekali saat bertanya hal yang sifatnya
sensitif. Tapi punya kekurangan yaitu kapasitasnya sangat besar dan memakan
banyak ruang, malah bikin laptop jadi lambat. Yah... sama saja hasilnya, kurang
optimal buat diajak kerja.
Terbesit di dalam pikiran, andai ada AI lokal yang
ringan, cepat, tidak butuh internet, tapi tetap bisa bertenaga buat pekerjaan kreatif
dan produktif harian. Saat itu hanya bisa saya bayangkan, sampai akhirnya saya
kenal dengan ASUS Zenbook S14 OLED (UX5406SA) merupakan salah satu laptop AI dengan performa NPU
Jelas sangat memungkinkan
semua proses AI berjalan tanpa dukungan internte dan mengirim data ke server
luar. Fitur-fitur seperti summarization, speech-to-text, hingga AI image
creator bisa dipakai kapan saja tanpa gangguan. Nggak ada lagi kekhawatiran
soal ide bocor atau browser yang tiba-tiba crash. Semua terasa aman, stabil,
dan bikin kerja jadi jauh lebih tenang.
Apa yang saya tulis, edit, atau uji coba lewat Copilot+
tetap aman di dalam sistem laptop saya. Rasanya seperti punya asisten pribadi
yang sepenuhnya bisa dipercaya. Apa pun yang saya kerjakan, apakah itu tulis artikel blog, buat draft kerja sama, hingga
ide-ide sensitif. Semuanya diproses secara lokal tanpa harus khawatir bocor ke
luar. Tidak ada proses upload ke server asing, tidak ada jejak digital yang
tercecer sembarangan yang bisa diambil oleh peretas.
Di tengah isu global soal pengelolaan data dan makin
banyaknya kebijakan platform luar negeri yang mengakses informasi pengguna dan
bahkan negara lain. Saya justru merasa lebih tenang, berkat AI lokal dari ASUS
Zenbook S14 OLED (UX5406SA) buat semua data berkaitan sama pekerjaan, riset,
dan kebiasaan digital tetap berada di tangan saya sendiri.
Di era keterbukaan digital, menjaga privasi bukan lagi
pilihan, tapi kebutuhan. ASUS Zenbook S14 OLED (UX5406SA) ini membuat saya
tetap produktif tanpa harus mengorbankan rasa aman.
Kesimpulan Akhir
Bicara urusan teknologi, seakan saya ingat
akan kartun di minggu pagi Spongebob Squarepants. Di sana ada antagonis Plankton
dan Istri Komputernya Karen, punya segudang ambisi besar bisa memiliki resep
Kredit Patty yang melegenda, berbagai cara ia lakukan. Tugas plankton terasa
mudah karena ia punya komputer berkemampuan AI, sesuatu yang sulit dibayangkan
kala itu. Kini menjadi kenyataan.
Sebagai orang yang sudah dua dekade berada di
era perkembangan laptop, dari laptop berat di awal 2010-an. Hingga menjadi
perangkat super canggih yang bisa berbagi ide dan mengembangkan ide secara
mandiri. Saya pribadi cukup takjub dengan perkembangan ini, jelas saya harus
adaptasi dan tentu saja merasa pekerjaan jadi lebih mudah dan multitasking.
Di tengah tugas sebagai ASN, kesibukan
sebagai blogger, dan persiapan studi doktoral, saya butuh perangkat yang bukan
hanya cepat, tapi juga cerdas, adaptif, dan bisa dipercaya. Jawabannya adalah
ASUS Zenbook S14 OLED (UX5406SA).
Kehadiran dari NPU 45+ TOPS seakan membawa
teknologi mutakhir laptop yang tak bergantung pada internet. Kita juga tak
perlu takut akan bocornya data, dan tanpa perlu membuka puluhan tab untuk
menyelesaikan satu tugas. ASUS Zenbook S14 OLED bukan sekadar alat bantu, ia adalah mitra sejati dalam
berpikir, menulis, menganalisis, dan berkarya. Ia adalah "Karen"
versi nyata, tapi lebih sabar dan bertenaga.
Jika dulu saya harus menyeruput tiga cangkir kopi untuk menyelesaikan satu artikel blog, kini satu Zenbook sudah cukup. Di dunia yang terus bergerak cepat, ASUS Zenbook S14 OLED hadir sebagai pengingat bahwa teknologi tidak harus rumit, asal ia bekerja dengan kita, bukan menggantikan kita. Di balik desain tipisnya, ada kekuatan besar yang siap mendampingi siapa pun yang ingin serius dalam hidup, bekerja, dan berkarya.
Semoga tulisan saya ini menginspirasi kita
semua. Akhir kata Have a Nice Days. Artikel ini diikutsertakan pada Lomba
Blog ASUS 45+ TOPS Advanced AI Laptop yang diadakan oleh Travelerien
Berikut ini spesifikasi lengkap dari ASUS Zenbook S14 OLED (UX5406SA).
0 komentar:
Post a Comment