Thursday, April 25, 2019

Krueng Daroy, Wisata Sarat Sejarah di Jantung Koetaradja

Seorang permaisuri nan cantik jelita termenung di depan istana, matanya memandang dari depan teras istana. Pikirannya sedang kalut dan campur aduk, rindu dengan kampung halamannya selalu membuncah di dalam dadanya. Negerinya yang di seberang lautan sudah tunduk di bawah sultan, ia dan sebagian besar rakyatnya harus menjadi bagian negeri Aceh Darussalam.


Si permaisuri yang cantik jelita tersebut bernama Putri Kamaliah Maharani, permaisuri negeri Pahang yang terkenal cantik jelita lagi baik budi. Takluknya Kerajaan Pahang di Semenanjung Utara Melayu oleh Kerajaan Aceh Darussalam tempo hari mengharuskan tradisi Glodong Pengareng-reng (rampasan perang) pada kerajaan yang menang. Salah satunya adalah menyerahkan putri kerajaan sebagai tanda tunduk sekaligus mempererat tali persaudaraan dari invasi penjajah dunia barat.

Sang permaisuri mampu menarik hati sang sultan hingga akhirnya mempersuntingnya, seorang sultan yang takuti dan disegani lawannya, namanya Sultan Iskandar Muda Meukata Alam. Luas wilayah kerajaannya terbentang luas di Selat Malaka, Semenanjung Melayu hingga sebagian Sumatra. Namanya masyhur dan mendapat junjungan di seluruh negeri.

Sang permaisuri pilihan sang sultan bukanlah permaisuri biasa, layaknya permaisuri umumnya yang hanya duduk manis di  atas singgasana kerajaan. Ia jadi ratu yang cerdas dan bijaksana dalam memutuskan persoalan rakyat Aceh sekaligus penasihat sang sultan di istana. Karena kebijakannya pada rakyat Aceh khususnya kaum wanita dan kaum papa, sang ratu mendapatkan julukan Putroe Phang oleh masyarakat Aceh.

Setelah pernikahannya tempo hari, sang sultan melihat gelagat kemurungan wajah sang permaisurinya setelah dipersunting. Ia tahu perasaan sang permaisuri meninggalkan negeri tercinta sungguh berat dan kecamuk di dalam jiwa, hidup di negeri Aceh Darussalam. Begitulah peraturannya berlaku, tak ada maksud hati sang sultan menyakiti permaisuri. Itu semua bertujuan menjaga kerajaan-kerajaan di Selat Malaka dari ancaman imprealisme Bangsa Portugis.

Segenap cara dilakukan Sultan untuk menghilangkan rasa rindu kampung halaman sang permaisuri. Sultan pun menitahkan para pekerja kerajaannya mendirikan sebuah taman bermain untuk sang ratu. Perwujudan perbukitan, telaga, dan taman bunga layaknya negeri sang permaisuri tinggal dulu. Hingga akhirnya lokasinya berhasil ditentukan oleh sang sultan, yakni Krueng Daroy. Sultan menitahkan para pekerja menggali kanal yang tersambung dengan aliran Mata Ie, sebagai lokasi ratu mandi dan para dayang-dayang.

Setelah pembangunan selesai, taman tersebut diberi nama Taman Ghairah. Lokasinya berada di belakang Kompleks Istana Kesultanan Darud Donya. Hingga sisa hidupnya, hari-hari sang permaisuri dihabiskan di Taman Ghairah, bersama para dayang-dayang sering memanjati Gunongan sekaligus lokasi mengeringkan rambut usai mandi di aliran sungai Krueng Daroy. 
Sultan kemudian membangun Gunongan menyerupai perbukitan seperti negeri Pahang. Bentuknya seperti salur-salur kelopak bunga, tanda cinta pada sang permaisuri. Bermaterial batu gamping, pasir, dan kapur perekat. Tangga naik ke atas dibuat sangat sempit, hanya putri yang bisa naikinya, sembari melihat negeri Aceh Darussalam dari atas puncak menara. 

Sang sultan bukan hanya membuat kanal air saja, ia juga membangun sebuah pintu gerbang sebagai penghubung antara istana dengan Taman Ghairah. Nama pintu itu dinamakan Pinto Khop, tingginya 2 meter dari kapur perekat dan batu gamping. Hanya kalangan istana yang bisa memasuki gerbang tersebut. Kini sebagian sisa kerajaan saat ini masih ada dan terawat dan menjadi situs cagar budaya khas Kerajaan Aceh Darussalam.
Pinto Khop di tengah telaga Krueng Daroy
Menjejak Sejarah Panjang Krueng Daroy
Menjejaki sejak awal Koetaradja berdiri telah berlangsung 814 tahun, bermula pada masa Sultan Johan Syah menjadi Sultan pertama Kerajaan Aceh Darussalam. Ia mendirikan Koetaradja pada hari Jumat 1 Ramadan 601 H (22 April 1205 M). sejak itulah Koetaradja sudah terkenal sebagai kota dengan akses transportasi air terbaik.

Semuanya karena adanya Krueng Aceh yang jadi jalur perniagaan kapal super sibuk era Kesultanan Aceh Darussalam. Kapal-kapal mancanegara masuk hingga jantung Koetraradja dan menjadi roda ekonomi kerajaan saat itu. Sama hal saat ini, ada banyak kapal nelayan yang ditambatkan di sepanjang Krueng Aceh. Daerah Peunayong jadi daerah yang paling padat dari aktivitas. 
Pemandangan Krueng Aceh kala malam hari
Namun beda halnya dengan Krueng Daroy, hanya aliran mata air pegunungan yakni Mata Ie. Barulah saat masa Kesultanan Iskandar Muda dibangun sedemikian dan diperuntukkan buat kalangan kerajaan. Meski begitu, keindahan dan kesejukan air Krueng Daroy berhasil digambarkan salah satunya dari lantunan lagu Rafly Kande dalam petikan lirik lagunya:

Ie Krueng Daroy jeut keu seujarah
Bak Putroe Kamaliah manoe meu upa
Iskandar Muda geukuh krueng nyan
Tempat meuseunang putroe di raya
Iskandar Muda geukuh krueng nyan
Tempat meuseunang hai raja di raja

Pada masa Kesultanan Aceh Darussalam, proses Sungai Krueng Daroy dibangun menggunakan kanal kokoh. Kelak di sana tempat sang ratu dan dayang-dayang mandi di sana. Mengitari taman yang di dalamnya terdapat Pinto Khop,  gerbang kecil berbentuk kubah terlihat bak bangunan di tengah telaga buatan. Di situlah lokasi sang permaisuri berenang bersama para dayang-dayang, Pinto Khop jadi lokasi beristirahat sembari membasuh rambut dengan wewangian khas Bungong Jeumpa dan Seulanga. 
Kisah cinta Sultan dan Ratu begitu awet dalam lintas masa, kenangan dan kejayaannya tetap harum saat era kejayaan Aceh tempo dulu. Peninggalan kompleks Ratu Putroe Phang masih terawat hingga saat ini, menjadi lokasi sejuk melepas penat perkotaan. Pemkot Banda Aceh menjadikan lokasi ini sebagai Ruang Terbuka Hijau di tengah jantung kota. 
Taman Putro Phang kini jadi Ruang Terbuka Hijau
Luasnya mencapai 2,42 Hektar dengan sebuah danau buatan dan rimbunan pepohonan ada di sana. Ada banyak tempat yang bisa dipilih para pengunjung saat datang ke sana, mulai dari aksi pagelaran seni, lokasi mengabadikan momen hingga lokasi piknik di dalam kota.

Menjernihkan Krueng Daroy Seperti Sediakala
Permasalahan permukiman kumuh berbanding lurus dengan pencemaran lingkungan khusus di sepanjang taman dialiri Krueng Daroy. Airnya tak lagi sejernih dahulu masa kerajaan, sumber Mata Ie sudah banyak bercampur dengan limbah buang rumah tangga. Permukiman kumuh tumbuh subur bantaran kali, sampah dan bau menyengat jadi pemandangan yang lazim terlihat di sepanjang Krueng Daroy.

Kisah cinta romantis dan aliran Krueng Daroy nan jernih tidak tergambar lagi. Bantaran kali tak seperti dulu lagi, ia bukan lagi kompleks kerajaan tapi situs sejarah. Bangunan era Kesultanan Aceh masih berdiri gagah tanpa berubah oleh zaman. Hanya saja bantaran Krueng Daroy kini jadi bantaran kali yang penuh dengan limbah dan sampah. Kadang sesekali terlihat warga membuang sampah tanpa rasa bersalah dan jamban yang mengarah ke sungai.

Menjadi perhatian dan kekesalan saya adalah sampah yang berasal dari hulu Krueng Daroy, meskipun masyarakat sebelumnya di lokasi sudah dilakukan revitalisasi dan sosialisasi terhadap sampah di bantaran kali. Mengakali itu semua, dibuatlah proses penyaringan air supaya aliran sampah tidak sampai masuk ke dalam kompleks Taman Putroe Phang.

Pemkot Banda Aceh memutar otak dan ingin mengubah wajah bantaran sungai, sekaligus menghidupkan destinasi penuh sejarah. Menata kembali menjadi Ruang Terbuka Hijau dan pedestrian di sepanjang Krueng Daroy. Pemkot pun bekerja sama dengan masyarakat dalam membangun aliran sungai yang bersih dan segar seperti dulu kala.

Dalam mewujudkan program tersebut, dilakukan proses penataan ulang. Salah satunya bekerja sama dalam penerapan program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku). Program tersebut didorong secara langsung digandengn oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) bersama pemkot Banda Aceh.

Salah satunya proses revitalisasi dan normalisasi sepanjang bantaran Krueng Daroy, luasnya mencapai 38,26 hektar, terbagi pada lima Gampong/Kelurahan yaitu Neusu Jaya, Neusu Aceh, Sukaramai, Seutui hingga Lamlagang. Program ini akan terus berkelanjutan hingga ke sumber mata air, sekaligus membangun bantaran kali yang bebas limbah dan menghidupkan lokasi wisata baru. 
Kerja keras selama 10 bulan semenjak awal tahun 2018 berbuah hasil, lokasi bantaran disulap menjadi daerah pedestrian modern. Dan di awal tahun 2019 menjadi momen bersejarah tersebut setelah proses revitalisasi dan normalisasi berlangsung. Bukan hanya itu saja, di sepanjang Krueng Daroy akan dilakukan proses pengerukan menghindari pendangkalan. Apalagi debit air dari Krueng Daroy hingga ke Taman Putroe Phang sering kering kala musim kemarau tiba.

Menata Krueng Daroy, Membangkitkan Sejarah Koetaradja
Mungkin stigma kita sering menganggap masyarakat di bantaran kali identik dengan masyarakat ekonomi lemah dan kumuh. Lahirnya pemukiman kumuh jadi masalah di perkotaan kini, melalui pemkot Banda Aceh mencoba dengan mengubah perilaku masyarakat bantaran. Mulai dari mengubah kebiasaan membuang sampah dan limbah ke sungai, solusi ini akan mengubah penampilan baru Krueng Daroy.

Pengalaman saya pertama sekali datang ke Taman pedestrian Krueng Daroy. Dahulunya bantaran sungai tidak punya akses masuk, hanyalah jalan setapak saja. Setahun terakhir pembangunan berlangsung mulai dari Jembatan Taman Putroe Phang di Jalan Nyak Adam Kamil, Peuniti hingga Jembatan Seulawah di Jalan Sultan Alaidin Johansyah, Neusu membuahkan hasil. Proses pembangunan pedestrian dikerjakan sepanjang 1,7 km, termasuk tiga jembatan penyebrangan hidrolik bernuansa klasik. 

Kala itu saya memilih siang hari yang terik, mengingat sore dan malam hari bukan waktu ideal dalam mengabadikan gambar. Melihat segala sarana yang telah ada, lokasi ini jadi lokasi baru favorit para mengabadikan gambar atau berswafoto. Mengabadikan setiap momen bak di negeri dongeng. Daerah dulunya yang jadi lokasi ratu dan dayang-dayang kembali bersolek seperti dulu. Sekaligus mengingatkan kembali sejarah panjang Krueng Daroy.

Mata terpana dengan gerbang beton raksasa menyerupai figura dengan ukiran khas Aceh. Ada banyak batu bulat berukuran besar dicor yang tersusun rapi, memberikan kesan minimalis dan lebih hidup kepada siapa saja yang melihatnya. Dulunya hanya jalan setapak dan belakang perumahan kumuh. Kini disulap menjadi pedestrian indah. Ada banyak Balkon berbahan kayu dengan pagar pembatas bertujuan melindungi para pengunjung. 
Saya pun juga menyempatkan diri kala malam hari untuk datang ke sana. Lokasi yang dulunya sangat angker dan gelap tanpa penerangan sedikit pun. Kini jadi lokasi yang menarik bahkan untuk nongkrong. Kala itu jam sudah menunjukkan dini hari, sembari mengabadikan gambar kala malam hari. Anda tak perlu takut ada orang jahat  atau tindakan kriminal karena lokasi tetap aman dan nyaman kapan pun itu.

Sudah ada sebanyak 132 lampu penerangan LED yang berfungsi kala hari gelap yang bekerja secara otomatis. Menggunakan panel surya tersebut mampu menghemat energi beban daya di Kota Banda Aceh. Ini dianggap mengenalkan energi alternatif ramah lingkungan dalam membangun wisata baru di Banda Aceh. 
Pedestrian Krueng Daroy Kala malam hari
Perlu ditekankan adalah kebiasaan membuang sampah sembarangan masih sebuah pekerjaan rumah untuk para pengunjung. Meskipun sudah banyak tong sampah di setiap sudut pedestrian. Masyarakat sekitar bantaran mulai berbenah menjadi lebih modern dan sadar lingkungan. Kini tinggal upaya memberdayakan sebagai lokasi wisata baru yang mampu meningkatkan ekonomi masyarakat sekitar.

Ada banyak hal yang saya dapatkan, mulai dari sejarah masa keemasan kerajaan Aceh, panorama menarik hingga lokasi yang melepas penat kemacetan khas perkotaan. Lokasi juga kini makin diperindah dengan taman menarik yang elok dipandang oleh mata. Ada banyak rak bunga di sepanjang pedestrian, serta beberapa hiasan yang saya temukan seperti replika sepeda.
Ada beragam rak bunga beragam warna yang memanjakan mata, di setiap dinding rumah warga bantaran kali disulap sedemikian rupa menjadi mural. Ada banyak kisah yang diceritakan setiap mural pada dinding rumah warna, mulai dari kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam era Sultan Iskandar Muda. Hingga titah raja pada pekerja kerajaan dalam membangun kanal untuk sang permaisuri. 
Mural di setiap dinding rumah warga
Paling menarik perhatian bagi saya dan pengunjung lainnya adalah kisah cerita sang ratu di bumi Serambi Mekkah, cinta sang sultan hingga bukti cintanya membangun taman khusus buat sang ratu. Setiap mural dibangun dengan sangat detail dan berwarna, memberikan kesan modern tanpa mengesampingkan sejarah di dalamnya. 
Iskandar Muda mewujudkan impian permaisurinya
Kala pagi hari, pedestrian bisa dimanfaatkan sebagai sarana olahraga menguras keringat seperti lokasi jogging. Tak perlu khawatir karena telah tersedia jalanan khusus yang bisa digunakan mulai dari berjalan kaki dan sepeda. Untuk kendaraan roda dua dan empat tidak bisa masuk, antisipasinya dengan membangun beton penghalang di awal masuk pedestrian.

Plang bertulisan Taman Krueng Daroy dengan latar Gunongan, lokasi ini jadi objek yang sangat menarik kala senja dan malam hari tiba. Pemandangan Gunongan yang menjulang dan Kandang terlihat jelas di belakangnya. 
Pemandangan Situs Kandang dan Gunongan dari Krueng Daroy
Seakan saya pikiran saya kembali terbawa ratusan tahun lalu di era Kesultanan Iskandar Muda, melihat dari dekat Taman Ghairah yang dipenuhi para kerajaan. Merawat sejarah dan mengenalkan kembali, bukti bahwa di masa itu Bangsa Aceh begitu disegani di mata dunia.

Semoga saja postingan ini menginspirasi kita semua dan mengenal kembali sejarah. Have a Nice Day guys.
Share:

3 comments:

  1. Mantap Iqbal, narasinya begitu hidup ditambah dengan foto2 yang luar biasa indah.😊

    ReplyDelete
  2. Kami juga ikut sedang dengan dipermaknya wajah Krueng Daroy ini, bisa ajak anak-anak sepedaan di sana. Sukses Iqbal, semoga menang yaaa

    ReplyDelete
  3. Kalau lewat daerah ini aku sering membayangkan puteri2 mandi hihi. Terima kasih Iqbal sudah mengingatkan dengan sejarah KOta Banda Aceh

    ReplyDelete

ROG Phone 8

Kenalan Blogger

My photo
Blogger & Part Time Writer EDM Observer

Part of EcoBlogger Squad

Part of EcoBlogger Squad