Thursday, December 31, 2020

Teknologi Tepat Guna dan Cara Memanusiakan Warga Alue Naga

Suasana senja di Alue Naga begitu menarik dengan panorama desir ombak, bak lokasi pelepas penat bagi sebagian orang. Petang itu terlihat jelas berbagai jenis perahu merapat di bibir sungai Krueng Aceh setelah sehari mencari ikan di laut lepas.

 

Denyut nadi kembali hidup, sudah lebih 6 bulan Alue Naga seakan kehilangan para pelancongnya. Ada begitu banyak masyarakat harus rela di rumah saja, mengikuti anjuran pemerintah dalam menekan angka penyebaran COVID. Tak leluasa dan semarak lagi saat melihat senja di Alue Naga, semua penuh dengan ketakutan dan kekhawatiran yang mengada-ada.

 

Pandemi kini mulai mereda, warna-warni denyut kehidupan kembali terasa. Ada banyak kapal nelayan yang tertambat kala petang di sana. Hiasan pohon pinus berjejer di sepanjang jalan, Desa Alue Naga jadi destinasi baru sembari melihat pantai yang indah beradu dengan muara Krueng Raya yang melegenda.

 

Rasa semarak kembali hidup, melihat senja di ujung Pulau Sumatra begitu indah. Di seberang laut sana terlihat samar-samar Pulau Weh. Desir ombak menabrak dan desir angin datang secara semarak. Rasanya pergantian antara siang dan malam begitu syahdu saat berada di sana. Horizon seakan jadi penanda pertukaran petang dan malam.

 

Ada yang begitu akrab dari masyarakat di sana yaitu tradisi melaut, mayoritas masyarakat berprofesi sebagai nelayan dan petani tambak. Para nelayan setelah lepas malah hari mulai melaut, mempersiapkan peralatan alat tangkap yang akan dibawa. Mengarungi kerasnya samudra, keesokan harinya mereka sudah berada di dermaga untuk menjual hasil tangkap.

 

Jadi kesampingkan peran wanita di sana, wanita Alue Naga bukanlah para wanita lemah. Ketangguhan perempuan Aceh sudah harum namanya sejak Laksamana Malahayati berhasil. Kini pun sama, wanita Aceh pesisir rela berpeluh keringat dan bermandikan lumpur dalam memenuhi kebutuhan harian. Kala sang suami melaut dan anak-anak mereka telah berangkat ke sekolah.

 

Bagi mereka hidup itu terus berjalan meskipun ada banyak hal getir yang sudah terjadi sebelumnya. Semangat yang tak pernah padam dari masyarakat pesisir Alue Naga. Tiram adalah salah satu daya tarik yang mampu menghapus getir itu jadi secercah senyum masyarakat di sana.

 

Sebagai gambaran, sejak dulu desa pesisir seperti Alue Naga jadi lokasi sentral produksi tiram di Kota Banda Aceh. Tak dipungkiri bahwa jumlah konsumsi ikan masyarakat Aceh cukup tinggi. Selama ini penggemar kuliner laut pasti tak asing akan makanan laut kaya protein tersebut.

 

Jumlah yang melimpah bisa jadi alternatif saat harga ikan mahal atau nelayan tak pergi melaut. Lezatnya tiram begitu menggugah selera, menawarkan kelezatan tiada tara buat penggemar olahan laut. Tinggal bagaimana mengubah pola mendapatkan dan menghasilkan produk berkualitas untuk bisa mengubah wajah masyarakat sekitar.

 

Kegundahan dan Kepedulian Mengubah Alue Naga

Setiap harinya Ichsan Rusydi bisa dengan jelas melihat Desa Alue Naga dari kejauhan. Dari bingkai kaca mobilnya terlihat Sungai Krueng Aceh yang bermuara ke Desa Alue Naga. Saat sebelum perjalanan tiba ke kampus.

 

Terlihat jelas dari atas jembatan kala air mulai pasang begitu banyak para ibu turun ke air dingin yang menusuk tulang. Lalu sebagian tubuh ke atas harus merasakan panasnya sengatan matahari hanya untuk mengumpulkan butir demi butir cangkang berisikan tiram.

 

Selain itu harga jualnya relatif murah, tak setara dengan usaha dalam mengumpulkan tiram seharian. Para pencari tiram yang mayoritas wanita menghabiskan waktu hingga 4 jam sehari di dalam genangan air, jelas ini tak baik bagi kesehatan pencari tiram. Para wanita pencari tiram bisa terkena berbagai risiko dari kutu air, gangguan reproduksi hingga bisa mengarah ke kanker serviks.

 

Ancaman lain datang dari cemaran Sungai Krueng Aceh yang mengancam konsumen tiram dan kerang. Berdasarkan riset yang telah diteliti, kadar kandungan logam sudah melewat ambang batas. Ini diperparah dengan sifat tiram yang mampu menyaring partikel organik setelah terakumulasi di dasar sungai. Bila konsumen mengonsumsi dalam jumlah banyak dan lama, berdampak pada gangguan kesehatan serius.

 

Konsumen dirugikan oleh tiram yang tercemar sedangkan para pengepul kerang dirugikan akan Kesehatan mereka yang bisa terganggu akibat begitu lama berendam di dalam air. Hingga akhirnya salah seorang Dosen Fakultas Kelautan dan Perikanan Unsyiah, Ichsan Rusydi mencoba terobosan baru dalam mendapatkan tiram dengan mudah higienis.

 

Mata batin berkecamuk dan ide liar seakan menyeruak dalam memajukan potensi kelautan dan perikanan. Tak perlu jauh menatap ke lokasi lainnya yang jauh, Alue Naga punya potensi besar yang bisa diubah. Sekaligus mengaplikasinya segudang ide dan bersosialisasi dengan masyarakat sekitar. 

Hingga akhirnya kesempatan itu tiba, September 2017 permulaan itu dimulai. Dulu hanya sekedar melintas atau membeli tiram di sepanjang jalan menuju Alue Naga, tapi kini bagaimana dengan tiram masyarakat Alue Naga bisa mengubah nasib mereka jadi lebih baik.

 

Hati beliau terketuk sembari pikiran mencari solusi terbaik untuk kedua desa tersebut. Profesi tersebut seakan tak manusiawi, kini beliau coba memanusiakan manusia dengan teknologi kelautan dan perikanan terpadu. Astra datang memberi jalan dan Ichsan Rusydi datang untuk mengeksekusi ide tersebut yang sebelumnya hanya jalan di tempat.

 

Penolakan dan Rasa Acuh, Masyarakat Desa Alue Naga

Rasa apatis dan sinis mata muncul dari raut wajah masyarakat sekitar. Masyarakat sebelumnya sudah akrab dengan uang apalagi saat pasca Tsunami. Ada begitu banyak NGO asing yang datang ke sana. Mulai dari memberikan bantuan pasca Tsunami hingga mempekerjakan masyarakat sekitar.

 

Guyuran uang pasti sangat besar, segala kegiatan kemasyarakatan baru bisa berjalan dengan uang. Sehingga masyarakat enggan dalam ikut acara tanpa ada amplop. Rasanya sia-sia, itu mungkin hanya bualan belaka, ujar beliau saat pertama kali datang.

 

Tantangan ini dihadapi Ichsan Rusydi, balai pertemuan hanya dihadiri segelintir warga saja. Malahan dari aparat desa pun sempat mengecam, menganggap program Astra bisa mendatangkan petaka kelak. Namun saat proses penjelasan terkait berbagai pilar yang diutama dalam membangun negeri, para pejabat desa jadi orang pertama yang mendukung.

“Menawarkan uang tidak menghasilkan apa-apa, menawarkan solusi memberikan

pengharapan nyata tak terduga”

Cara pertama yang Ichsan Rusydi lakukan adalah dengan mengikat anak, persoalan terbesar dari masyarakat pesisir adalah pendidikan. Melalui cara memenuhi kebutuhan anak terkait kebutuhan bersekolah, sudah pasti meringankan beban orang tua. Setiap masuki semester baru, orang tua tidak kesulitan lagi dalam membeli kebutuhan anak.

“Bila anaknya dibantu terlebih dahulu, orang tua menaruh harapan besar akan perubahan

kecil itu buat desa mereka”

Adanya program beasiswa membuat ada banyak anak yang tidak putus sekolah. Mimpi besar mereka tetap terukir meskipun orang tuanya berlatar belakang rendah. Tapi tidak dengan anak mereka, siap jadi orang besar selanjutnya dalam memajukan desa tercinta.

 

Kini saat ada rapat kampung, masyarakat tak perlu lagi berat langkah ke balai desa. Mereka begitu antusias akan program apa yang akan datang keesokan harinya. Setiap ucapan Ichsan Rusydi disimak dengan penuh semangat, karena akan ada kejutan kecil dan berdampak besar kelak.

 

Membangun Floating Culture, Cara Memanusiakan Manusia

“Mengetahui setiap masalah utama di masyarakat: temu ramah dan wawancara adalah kunci awal”

Melihat apa yang hanya terlihat di mata rasanya terlalu dini dalam menyimpulkan hasil. Ichsan Rusydi pun mencoba berdiskusi dengan para pengepul tiram. Mayoritas dari mereka adalah para ibu rumah tangga dan janda tsunami, mencari tiram bisa dibilang pekerjaan yang sudah mereka lakukan sejak tetua melakukannya dulu. 

Rasanya jiwa itu tidak pernah padam di tengah globalisasi zaman. Tiram, air asin, dan sengatan matahari adalah sesuatu yang mereka rasakan. Berpeluh badan di dalam lumpur padat, andai saja tak lincah, tangan bisa saja terluka kena goresan pecahan benthos. Air asin makin menambah pedih itu semua, semua hanya untuk mengepul mug demi mug dalam menyambung hidup.

 

Awal mulanya Ichsan bersama tim melakukan sosialisasi terhadap masyarakat dalam mendapatkan tiram harus di sungai atau pinggiran hutan mangrove. Kebisaan itu sudah turun-temurun dulu, awalnya masyarakat banyak yang merasa tak setuju ide tersebut. Penolakan itu adalah hal wajar karena sebagian masyarakat masih beranggapan jumlah tiram di alam lebih banyak dibandingkan di lokasi budidaya.

 “Petani tiram merasa tak basah dan bergumul di dalam lumpur seharian, bukanlah mencari tiram”

Kemudian Ichsan bersama para tim melakukan edukasi dan pelatihan dilakukan dalam mekanisme budidaya tiram menggunakan penerapan teknologi floating culture. Selain memangkas waktu berendam di dalam air, masyarakat punya lokasi sendiri dalam mengambil tiram dan  mengurangi persaingan antar pencari tiram.

 

Konsep floating culture yang Ichsan tawarkan menggunakan pola kemitraan dengan para petani tiram. Selama ini bantuan barang jadi yang pemerintah berikan, saat rusak masyarakat tidak bertanggung jawab terhadap barang tersebut.

 

Masyarakat tak diberikan barang jadi ataupun uang tunai, melainkan dibuatkan secara bersama-sama. Otomatis cara ini dinilai akan menghidupkan rasa bermasyarakat dan saling memiliki terhadap teknologi yang ditawarkan sehingga bisa digunakan dalam jangka panjang.

 

Solusi Memindahkan Pencari Tiram ke Floating Culture

Berbekal eksper di bidang budidaya perikanan sekaligus dosen di Fakultas Kelautan dan Perikanan Unsyiah, tercetus ide penerapan budidaya tiram dengan menggunakan material ban bekas. Nantinya tujuan akhir adalah menjadikan Desa Alue Naga sebagai Desa Sentra Pembudidayaan Tiram yang ada di ujung daerah ibu pertiwi. 

 Media ban bekas dipilih dalam proses budidaya tiram, selain dinilai aman sebagai lokasi melekatnya tiram dan tahan hingga 5 tahun penggunaan. Inovasi teknologi terpadu tersebut adalah  floating culture atau disebut juga budidaya tiram terapung.

 

Ban bekas disulap menjadi media optimal si tiram hidup dan membangun koloninya secara teratur. Pencari tiram pun tak harus meraba-raba tiram di dasar sungai lagi dan mempersingkat waktu mencari tiram hanya pada satu titik saja.

 

Selama ini floating culture yang digunakan masih mengandalkan material sederhana yaitu penyangga berbahan bambu. Digantikan dengan pipa paralon yang sudah diisi material semen padat, supaya proses penanaman di dasar perairan berlangsung mudah dan pipa tidak bengkok diterjang arus pasang surut di bendungan.

 

Sebagai asumsi awal, bila dalam satu unit floating culture terdapat lebih dari 4.000 unit ban bekas lokasi koloni tiram. Modal yang dikeluarkan setiap ban kisaran Rp10.000 yang berarti 40 jutaan. Setiap harinya dilakukan proses pemasangan 10-15 ban bekas, dalam setahun total ada 4.000 unit ban yang terpasang.

 

Saat musim panen, siklusnya pun berputar karena setiap ban akan panen. Asumsinya bila di dalam satu ban mampu menghasilkan empat kaleng susu (setara 250 gram) dengan harga jual Rp10.000. artinya masyarakat mendapatkan Rp40.000/ban dan itu sudah cukup menguntungkan karena setiap 1.000 ban sudah mampu mengembalikan modal peternak tiram.

 

Berita gembira lainnya setelah proses pemindahan ke area floating culture. Hasil uji laboratorium menunjukkan bahwa kandungan ambang batas logam berat timbal dan kadmium pada tiram di Alue Naga turun. Kandungan Timbal yang sebelumnya ada di angka 0,04 menjadi 0,01 dan Kadmium dari 0,98 turun menjadi 0,01. Angka tersebut sudah berada di batas aman konsumsi dan higienis untuk dikonsumsi.

 

Konsep Floating Culture Inovasi ala Ichsan Rusydi

Selama ini rumah tiram tradisional sangat mengandalkan batang bambu sebagai media penambatan. Warna tak lama menguning dan kemudian perlahan rapuh terendam air estuarin. Kini peralihan beralih dengan menggunakan tiang pipa paralon yang lebih kuat, futuristik dan enak dipandang bagi siapa saja yang melintas ke Alue Naga.


Awal mula estimasi usia bambu bisa bertahan 2 tahun, nyatanya 6 bulan sudah mulai tak layak. Belum lagi untuk mendapatkan bambu pun tergolong sulit. Efek berbahayanya adalah serpihan bambu bisa saja menusuk anggota tubuh pencari tiram. Harganya pun hingga Rp40.000 setiap batangnya dan masyarakat harus mencarinya hingga ke Blang Bintang, Aceh Besar.

 

Konsep floating culture modern berbahan pipa paralon yang sudah diisi material beton padat. Biayanya memang lebih mahal, tapi dijamin bisa tahan hingga 5-6 tahun sebelum diganti. Proses pembuatannya pun tergolong mudah, terlebih dahulu memilih lokasi pembuatan rumah tiram. Lokasi pilihan ada di Waduk Desa Alue Naga.

 

Ichsan pun menjelaskan bagaimana mekanisme pembuatannya hingga akhirnya floating culture bisa menghasilkan tiram berkualitas hingga level ekspor ke mancanegara. Awal mulanya pipa paralon yang sudah diangkut menggunakan sampan. Ada sejumlah pekerja dari masyarakat sekitar, pada proses pemasangan membutuhkan 4-5 orang dewasa.

Pekerja siap menanam pipa beton ke dasar bendungan, waktu yang dipilih umumnya jelang petang hari saat air mulai surut dan proses pemasangan relatif mudah. Tugasnya mulai dari menyedot air di sekitar lokasi tiang pancang, memasukkan pipa ke dasar bendungan serta membawa pipa menggunakan sampan.

 

Proses pengerjaan memakan waktu hingga dua hari, tergantung hingga fondasi sudah cukup kuat. Lalu tinggal bagaimana menyambungkan antara setiap tiang dengan tiang lainnya. Pada proses ini harus cukup kuat dan presisi, nantinya di setiap ruang tiang akan diletakkan beban berupa floating culture berbahan dasar ban mobil bekas pakai.

 

Proses menggunakan ban bekas juga dibagi, apakah menggunakan bagian luar atau bagian dalam dari ban. Setelah proses pemasangan selesai, kini waktunya menunggu tiram berkembang biak. Waktu yang dibutuhkan untuk panen pertama adalah durasi enam bulan. Setelah itu, petani bisa memanen tiram mereka setiap harinya.

 

Saat mahakarya floating culture berhasil berdiri, warga pun tak perlu lagi mencari tiram di sepanjang Krueng Aceh. Cukup dengan naik sampan, tiram bisa langsung diangkat dan dipanen kemudian dibawa pulang ke rumah. Bahkan menurut Ichsan, ukuran tiram mampu lebih besar dan tebal hingga 7 cm dan sudah melebihi standar ekspor tiram.

 

Ichsan Rusydi Permata Aceh di SATU Indonesia Award

Berkat floting culture tiram dan eksekusi yang baik dari seorang Ichsan Rusydi berbuah manis. Ide brilian tersebut seakan berdampak besar, bermula dari kegundahan dan pengaplikasian konsep pengembangan budidaya seakan berbuah manis. Ichsan bersama tim berhasil mendapatkan penghargaan tertinggi Semangat Astra Terpadu untuk (SATU) Indonesia Award di tahun 2016.

 

Tak berhenti di situ saja, itu baru jalan kecil dalam merajut sentra pengembangan ekonomi tiram melalui Rumah Produksi Tiram yang berada timur Alue Naga. Mendongkrak dan menghapus Alue Naga yang sebelumnya hanya desa pesisir miskin, berubah menjadi desa produktif.

“Teknologi budidaya tepat guna seakan memanusiakan pekerjaan manusia jadi lebih

mudah dan masuk akal”

Pemerintah pun tertarik dengan program tersebut dan memberikan program khusus untuk terus mengembangkan Desa Alue Naga menjadi sentra produksi tiram. Bukan hanya sebatas kelompok usaha tiram saja, tapi segala aspek kampung. Melalui Program Kampung Berseri Astra (KBA) di Alue Naga yang terus berlanjut hingga tahun 2022. 

Ada empat pilar yang dibangun dari CSR Astra yaitu sentra pendidikan, UMKM, lingkungan, dan kesehatan. Elemen tersebut akan terus dilakukan semenjak awal mula program CSR Astra disahkan. Semua itu berhasil diterapkan satu persatu dalam mewujudkan Desa Berseri Astra di Alue Naga.

 

Aksi nyata itu coba dieksekusi satu persatu, kami pun terkesima dengan hasil yang sudah dilakukan selama ini. Bukti nyata itu kami coba jabarkan bahwa Ichsan Rusydi sudah bekerja dengan sangat baik. Apakah itu merangkul masyarakat, mengajak akademisi, pejabat publik hingga kepercayaan penuh Astra pada beliau.

 

Menciptakan Semangat Belajar dan Sentra Pendidikan untuk Anak-anak Alue Naga

Desa Alue Naga tertinggal banyak hal dibandingkan desa lainnya yang ada di Kota Banda Aceh. Seakan ada sekat besar yang memisahkan Alue Naga dengan desa lainnya. Sudah letaknya di ujung, lalu terkucil dari dunia luar. Perlakuan yang coba diubah perlahan, menghapus tembok pembatas akan pendidikan tersebut.

 

Berkunjung ke Alue Naga seakan Anda kembali ke masa lalu, seakan memutar waktu 50 tahun dari sekarang. Minim fasilitas publik, rumah yang masih semi permanen, hingga terbatasnya penting dalam menunjang masyarakat.

 

Untuk akses sekolah di Desa Alue Naga sangat terbatas, hanya sejumlah sekolah yang tersedia saja. Level jenjang pendidikan hanya dari TK, SD, dan SMP. Sedangkan jenjang lebih tinggi mengharuskan anak-anak untuk sekolah ke desa lain.

 

Salah satu kunjungan kami dari semua sekolah tersebut adalah ke SDN 72 yang berada di sisi timur Desa Alue Naga. Kami disambut dengan ramah oleh Dra. Kasiyem selaku Kepala sekolah, saat kami datang sekolah sedang tidak ada aktivitas karena masih menerapkan belajar dari rumah.

Hanya ada proses pengambilan Rapor yang dilakukan di sekolah oleh orang tua wali. Bangku sekolah dan meja belajar sudah lama berdebu. Tak ada suara anak-anak lagi dan hanya terlihat beberapa guru saja yang bertugas sibuk di hari itu.

“Pandemi COVID seakan semua pihak merindukan suara anak-anak di ruang kelas,
kata Bu Kasiyem”

Dulunya Desa Astra terhubung oleh jembatan sebagai akses penyebrangan. Sejak Tsunami 16 tahun silam, tak ada lagi rencana membuat jembatan tersebut termasuk memudahkan akses masyarakat ke sisi lainnya yang memisahkan Alue Naga.

 

Sekolah tersebut tersebar di bagian barat dan timur dari Desa Alue Naga. Bila salah satu masyarakat ingin bersekolah ke sekolah di seberang sungai. Mereka harus memutar sangat jauh, melewati jembatan Krueng Cut. Artinya waktu tempuh jadi lebih jauh dan lama, mengakibatkan orang tua lebih memilih menyekolahkan anaknya ke desa sebelah.

 

Beliau menuturkan banyak hal dari kegundahan masyarakat sekitar akan keberadaan sekolah. Banyak anak-anak di desa tersebut harus sekolah jauh dari kampungnya. Menempuh puluhan kilometer untuk bisa menuntut ilmu. Berjalan kaki atau pun mengayuh sepeda untuk bisa sampai ke sekolah.

 

Lalu jauh di seberang sana kami menemukan sekolah tahfidz Quran. Ada puluhan santri yang tersebar di seluruh Aceh tinggal di sana, menghafal Quran dan mentadabburi setiap ayat setiap pagi dan petang. Pesantren tersebut diberi nama: Dayah Mini Alue Naga.

 

Secara kasat mata, dayah tersebut jauh dari kata cukup. Ada banyak calon penghafal Quran potensial yang bisa lahir dari sana, umumnya mereka adalah anak yatim piatu. Astra coba hadir di sana, salah satnya membangun konsep Bioflok terutama budidaya ikan.

 

Halaman belakang dari Dayah tersebut dibangun fondasi bioflok tersebut, dalam hal ini Ichsan Rusydi mengajak mahasiswa beliau. Sekaligus aplikasi dalam pembuatan bioflok untuk masyarakat. Sekaligus membantu juga beramal, hasil panen ikan tersebut bisa dijadikan lauk buat para santri di sana.

 

Lalu Astra selaku pun melakukan banyak hal dari sektor pendidikan untuk anak-anak sekitar. Salah satunya adalah pemberian beasiswa setiap semester kepada anak-anak setempat. Beasiswa ditujukan kepada anak yang kurang mampu serta yatim piatu.

 

Bantuan peralatan sekolah juga mendukung aktivitas belajar mereka, jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun ini ada sebanyak siswa yang mendapatkan bantuan tersebut, dan orang tua wali adalah orang paling senang dan antusias dalam sesi penyerahan bantuan tersebut.

 

Menaikkan Taraf Mencari Tiram menjadi Entrepeneur Tiram

Kala itu hari mulai petang, saya pun menyempatkan waktu datang ke lokasi rumah produksi tiram. Matahari mungkin ingin kembali ke peraduannya. Mata saya pun tertuju pada beberapa petani tiram yang berhasil ditemui. Salah satunya pasangan suami istri, Asnawi dan Mulyana.

Saat saya datang, Pak Asnawi sedang mencari kerang hijau yang kemudian ia letakkan di rumah produksi tiram miliknya. Ia bercerita panjang lebar setelah naik darat, saat ini omzet dari mencari tiram meningkat drastis terutama konsep floating culture.

 

Sebelumnya harga tiram hanya dihargai Rp10.000 – Rp15.000 setelah seharian berendam di dalam air. Kini harga tiram diharga lebih tinggi hingga Rp20.000. Jumlah yang dihasilkan lebih banyak dan waktu mengambilnya lebih mudah dan menghemat waktu. Dalam sehari, minimal ada empat mug tiram yang didapat. Sedangkan sebelumnya hanya 3 mug dengan waktu mencari yang memakan waktu lebih lama dan melelahkan.

 

Lalu berita gembira datang dari Ibu Mulyana, beliau termasuk dalam 106 peserta pelatihan mengenai budidaya tiram menggunakan ban. Pihak yang terlibat terdiri dari 60 petani tiram, 16 nelayan, dan 30 santri dayah. Para peserta nantinya akan diberikan sertifikat bahwasanya mereka sudah kompeten dalam proses budidaya tiram tersebut.

 

Apalagi sudah berdiri Rumah Produksi tiram yang bisa menampung jiwa para pencari tiram menjadi calon entrepreneur tiram sukses kelak. Kata Ibu Mulyana, di Rumah Produksi Tiram masyarakat diajarkan berbagai keterampilan pengolahan tiram menjadi makanan olahan seperti nugget, kerupuk tiram, dan dimsum.

Bahan baku untuk membuat kerupuk pun sangat sederhana yaitu tepung terigu, garam, dan jeruk nipis jadi pendukung keripik tiramnya. Setelah proses itu, saatnya Kak Mar membentuk hasil olahan tiram menjadi ukuran bundar. Sebelum akhirnya dijemur di terik matahari, hingga menghasilkan kerupuk yang renyah saat digoreng. Tinggal mengemasnya dan menciptakan branding sendiri dengan nilai jual lebih tinggi.

 

Salah satu kisah sukses dalam pengolahan tiram datang dari Kak Maryati, beliau jadi orang pertama yang mencoba varian kerupuk tiram sebagai UKM rumahan. Kerupuk tiram Kak Mar sudah memiliki branding dan kemasan yang sangat baik. Seakan tidak menggambarkan itu adalah usaha rumahan yang dibuat secara kecil-kecilan.

“Kak Mar adalah salah satu contoh wanita Alue Naga yang berhasil mengubah peluang tiram menjadi bisnis UKM menjanjikan”

Kak Maryati jadi salah satu contoh wanita Alue Naga yang berhasil mengubah peluang tiram menjadi bisnis UMKM menjanjikan. Tiram yang kaya gizi kini bisa dikenal luar dan jadi sentra unggulan di Desa Alue Naga. 

Potensi Alue Naga juga datang dari kuliner, terlihat mulai lahirnya geliat cafe dengan konsep modern di sana. Pemandangan matahari terbenam di ujung pantai Alue Naga menarik hati banyak pengunjung dalam menghabiskan waktu sorenya, masyarakat sadar ini adalah peluang bisnis yang menjanjikan.

 

Berdirinya cafe dan warung dengan konsep mengarah ke muara sungai sedang marak. Sekaligus membuka peluang objek wisata baru yang Desa Alue Naga tawarkan. Investor pun tak ragu melihat potensi tersebut seperti mendirikan restoran atau cafe dengan menu olahan tiram milik masyarakat. Sudah pasti akan hadir outlet makanan berupa tiram hingga bahkan kerajinan tangan buatan masyarakat Alue Naga.

 

Kesehatan, Kebutuhan yang Sering diabaikan di Masyarakat Pesisir

Masyarakat pesisir sering dianggap tidak memperhatikan aspek kesehatan. Apalagi di era pandemi, masyarakat yang punya imun lemah dan tidak mendapatkan vaksin akan gampang terserang penyakit. Bila tidak mampu dicegah, akan menghasilkan klaster desa pesisir.

 

Alasan itulah masyarakat pesisir diajarkan berbagai cara penanganan COVID dan berbagai penyakit lainnya. Mulai dari biasakan mencuci tangan, menggunakan masker, dan jaga jarak. Terutama sekali buat para petani tiram, mencuci tangan bisa menghindarkan kulit dari penyakit kulit. Sesuatu penyakit yang sering menimpa mereka.

 

Alasan tersebutlah yang mendorong pengurus KBA Alue Naga bekerja sama dengan berbagai pihak. Di Desa Alue Naga telah tersedia puskesmas dan posyandu dalam melayani masyarakat sekitar. Kegiatan yang sudah menjadi agenda wajib adalah imunisasi kepala balita yang dilangsungkan setiap hari senin.

 

Pada proses sosialisasi tersebut melibatkan pihak dinas terkait yang berasal dari Kota Banda Aceh. Sehingga bisa melindungi masyarakat dari penyakit, salah satunya dari pihak Astra yang membantu berbagai peralatan pendukung yang ada di puskesmas.

 

Kegiatan posyandu rutin dilaksanakan dengan agenda penimbangan berat badan balita, pengukuran lingkar kepala dan pemberian vitamin. Diadakan juga penyuluhan kesehatan seperti bagaimana cara mencegah demam berdarah dan lainnya. Astra memberi bantuan berupa alat kesehatan pada Posyandu.

 

Di tahun ini ada program masker gratis yang dibagikan ke masyarakat. Saat pandemi sedang ganasnya, masyarakat Alue Naga termasuk masyarakat paling aman dari COVID. Hidup mereka yang dianggap terkucilkan ternyata menjadi berkah jauh dari pandemi.

 

Mengembalikan Warna Hijau di Tanah Alue Naga

Sebelum Tsunami tahun 2004 memorak-porandakan Kota Band Aceh dulu, Desa Alue Naga adalah desa yang begitu asri. Hamparan pepohonan mangrove tumbuh bebas di sekitar tambak warga. Pohon itu ibarat tembok alam dalam menghalau abrasi pantai yang begitu ganas, saat angin laut datang.

 

Di bibir pantai, berbagai pepohonan kelapa menjulang tinggi, menekuk ke darat saat ingin laut tiba dan menekuk ke arah laut saat angin darat datang. Menjadi penanda para nelayan untuk pergi ke laut, saat kapal motor masih begitu asing buat mereka kala itu.

 

Kini Alue Naga masihlah gersang setelah sekian lama, siang hari terik di sana siap-siap saja kulit terbakar hebat. Para pencari tiram pun merasakan hal yang sama, mereka mengakali dengan menggunakan baju panjang hingga topi pelindung panas. Bila tidak, siap-siap saja pulang dari kondisi kulit gosong.

 

Kini program lingkungan jadi program prioritas yang didengungkan oleh Astra, menghijaukan Alue Naga seperti sedia kala. Bukan hanya sebatas permukiman warga saja, tapi setiap lahan kosong menjadi zona hijau.

 

Ichsan pun sadar bahwa menciptakan lokasi yang asri tak bisa seorang diri. Butuh penggerak untuk memulai dari sebatang pohon hingga ribuan pohon lainnya. Untuk itulah beliau mengajak para mahasiswa dalam mensosialisasikan dengan green area di Alue Naga.

 

Sebagai daerah terdepan dari laut, pohon punya peran sentra dalam menghalau abrasi pantai, angin kencang dan meningkatkan jumlah oksigen. Bisa dibilang Alue Naga punya peran sentra dalam menangkap karbon yang dihasilkan Kota Banda Aceh supaya tidak bermuara ke laut.

 

Salah satu tumbuh yang efektif adalah dengan menanami pohon mangrove di sepanjang pesisir Alue Naga. Lahan yang sebelumnya tumbuh lebat Mangrove harus tercabut tanpa sisa saat Tsunami datang. Kini perlahan dari anakan mangrove, siap mengganti penerusnya dulu. Menghijaukan Alue Naga yang sudah lama gersang.

 

Efek adanya Mangrove juga berdampak pada meningkatkan berbagai biota yang hidup di sana termasuk jumlah tiram yang meningkat. Itu belum termasuk dengan kemampuan mangrove yang menangkap berbagai buat karbon Kota Banda Aceh.

 

Beliau juga pun ide lainnya, bukan hanya menanam tapi kita juga menjaga lingkungan. Mengajak semua elemen masyarakat dan anak didik mahasiswa dalam menjaga laut. Program yang lahir diberi nama Peugleh Pasie yang berarti membersihkan pantai.

 

Ada begitu banyak pelancong yang datang ke Alue Naga setiap harinya, mulai dari sekedar lewat hingga menikmati desir ombak di petang hari. Ini mendatangkan berbagai pedagang makanan untuk berjualan di sana. Sudah pasti ada begitu banyak sampah yang dihasilkan terlebih banyak pengunjung tak tertib.

 

Sampah plastik, lidi tusuk hingga sedotan berhamburan di mana-mana. Menjadi pemandangan yang tak sedap di mata, belum lagi dampaknya pada hewan-hewan di dalam air. Mereka harus menangkap akibat ulah manusia yang tak sadar akan kebersihan.

 

Sampah itu bisa dengan mudah hanyut ke lautan lepas dan bisa saja tertelan di dalam lambung hewan laut. Nah... lahirnya inisiasi Peugleh Pasie seakan bisa menghilangkan masalah sampah di Alue Naga. Bahkan mampu menginisiasikan daerah lainnya melakukan tindakan serupa.

 

Pantai yang bebas sampah sudah pasti idaman siapa saja, itu termasuk dengan menambah jumlah tong sampah dan peringatan buat para pedagang agar mau menjaga lingkungan tetap Asri sesuai dengan Astra Berseri di awal nama Alue Naga.

 

Desa Alue Naga pun naik kelas, dari sebelumnya hanya desa pesisir tertinggal. Kini menjadi tujuan wisata akan pesonanya. Tiram yang lezat menggugah selera, panorama senja hingga kehidupan masyarakat nelayan nan bersahaja. Pejabat publik kini menanggap Alue Naga sudah berubah, kunjungan demi kunjungan datang. Bahkan di masa depan giliran investor yang datang, mengubah tatanan Desa Alue Naga jadi desa modern dalam pengembangan tiram.

 

Kini segala cita-cita yang selama ini Ichsan Rusydi seakan mulai terwujud, berawal dari kegundahan berbuah jadi inovasi untuk masyarakat sekitar. Astra pun tak salah memilih putra-putri terbaik negeri dalam menyebarkan semangat Astra dalam menginspirasi negeri.

Mewujudkan empat pilar utama membangun negeri, Ichsan Rusydi jadi garda paling barat Indonesia membangun Desa Alue Naga melalui teknologi tiram tepat guna. Senyum kini merekah dari wajah para masyarakat yang ada di sana. Harus diketahui, bahwa kita semua adalah #SemangatMajukanIndonesia #KitaSATUIndonesia

 

Semoga tulisan ini menginspirasi kita semua akan kepedulian pada masyarakat, nantinya semesta akan membalas semua lelah kita menjadi secercah harapan besar. Semoga tulisan ini menginspirasi


Share:

0 komentar:

Post a Comment

ROG Phone 8

Kenalan Blogger

My photo
Blogger & Part Time Writer EDM Observer

Part of EcoBlogger Squad

Part of EcoBlogger Squad